4 Etika Negosiasi Bagi Hasil dalam Islam

Bagi hasil biasanya dianggap sebagai proses tawar-menawar angka dalam praktik bisnis. Siapa yang menyetor modal, berapa modal yang disetor, dan berapa keuntungan yang diperoleh biasanya merupakan hal terpenting dalam proses negosiasi bagi hasil. Sebaliknya, negosiasi bagi hasil dalam Islam mencakup bukan hanya hasil akhir tetapi juga metode untuk mencapai kesepakatan itu sendiri.

Niat, nilai dan moral kita dalam bermuamalah tercermin dalam cara kita menegosiasikan kesepakatan bisnis. Sejak awal, Islam menegaskan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan harta benda tidak boleh dilakukan secara tidak adil atau dengan cara yang menguntungkan. Allah جل جلاله berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil, kecuali dengan perdagangan yang dilakukan atas dasar saling ridha.”
(QS. An-Nisā’: 29)

Setelah melihat ayat di atas kita berpikir “bagaimana syariat Islam mengatur etika negosiasi bagi hasil?”. Artikel ini akan membahas bagaimana Islam mengatur etika kita dalam berbagi hasil.

1. Jelaskan Ketentuan Bagi Hasil di Depan

Tidak jelasnya ketentuan bagi hasil dalam bisnis biasanya menjadi awal keributan dan sengketa. Kata-kata seperti “nanti kita bahas”, “ntarlah gampang”, dan “ikut mas aja” itu sering kita dengar ketika membahas bisnis di awal. Masalahnya fleksibel pada awalnya sering berubah menjadi keributan pada akhirnya.

Contoh:
“dua orang setuju untuk mendirikan bisnis. Satu bertanggung jawab atas pengelolaan operasional yang lain menyetor modal. Mereka mencapai konsensus bahwa hasil nanti akan adil dan proporsional tanpa ada angka yang jelas. Saat bisnis berhasil dan menghasilkan keuntungan seseorang tiba-tiba meminta bagian lebih karena ia lebih banyak bekerja”.

Untuk menghindari hal seperti ini, sejak awal persetujuan harus dicapai mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan pembagian hasil termasuk berapa persen yang akan diberikan, berdasarkan apa dan kapan diberikan. Bahkan jika perlu, kita mendokumentasikan perjanjian itu dalam bentuk tertulis. Bukan karena tidak percaya tetapi karena kepercayaan harus dipertahankan sampai akhir.

Baca juga: Bagaimana Arus Kas yang Buruk Mempengaruhi Bagi Hasil Mudharabah 

2. Selalu Memperhitungkan Kontribusi Pekerjaan dalam Pembagian Bagi Hasil

Kontribusi yang menentukan bagi hasil tidak selalu ditetapkan hanya dengan jumlah modal, namun juga ditentukan dari tenaga, waktu, pikiran dan tanggung jawab. Islam mengajarkan keadilan dan keadilan diantaranya berarti memberikan bagian sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan seseorang.

Terkadang ketika satu pihak hanya menanam modal dan menunggu laporan, pihak lain harus langsung ke lapangan, mengurus karyawan, bernegosiasi dengan pelanggan dan memikirkan rencana setiap hari. Rasa tidak adil akan muncul jika pembagian hasil usaha mengabaikan bagian ini.

3. Jujur dalam Pencatatan dan Jangan Memanipulasi Laporan

Kejujuran pencatatan keuangan adalah urusan akhlak dalam Islam bukan hanya sekedar masalah teknis. Fondasi kerja sama akan hancur jika ada laporan keuangan yang dimanipulasi, penjualan yang disembunyikan atau pengeluaran yang dibesarkan.

Salah satu contoh yang sering terjadi adalah ketika penjualan sebenarnya tinggi namun dilaporkan lebih rendah untuk mengurangi porsi hasil yang diterima partner. Mungkin manipulasi seperti ini terlihat aman awalnya, namun ketika ketahuan, manipulasi seperti ini akan merusak kepercayaan dan membubarkan kerjasama bisnis. Islam menekankan pentingnya menjaga harta dengan amanah dan dalam konteks bisnis, pencatatan yang jujur dan transparan adalah kuncinya.

Baca juga: Bagi Hasil atau Riba? Kenali Bedanya dari Awal

4. Jangan Mengubah Aturan Secara Sepihak dan Tetaplah pada Aturan yang Telah Disepakati

Kesepakatan usaha dalam Islam bukan sekedar formalitas, Ia adalah komitmen yang berkonsekuensi di dunia dan akhirat. Mengubah kesepakatan bagi hasil atau usaha tanpa perundingan di tengah jalan bukanlah tindakan yang diperbolehkan dalam Islam. Ini tidak berarti kesepakatan awal tidak bisa dievaluasi ulang. Meskipun evaluasi dapat dilakukan persetujuan bersama harus dicapai melalui diskusi terbuka.

Contoh jika kita sebagai pengelola usaha ingin menaikkan porsi bagi hasil kita dai 50% menjadi 60%, maka hal ini harus diketahui dan disetujui oleh partner kita bukan hanya sekedar pemaksaan sepihak.

Baca juga: Bagi Hasil Mudharabah & Musyarakah: Bolehkah Meski Usaha Merugi?

Penutup

Dalam Islam, memperhatikan etika dalam negosiasi bagi hasil merupakan hal yang sangat penting. Bersikap fair, jujur, dan amanah dalam kerjasama bisnis adalah nilai yang sangat penting dalam Islam. Dalam konteks kesepakatan kerjasama, hal ini dilakukan dengan keterbukaan dan kesepakatan detail bagi hasil di awal, memperhatikan pekerjaan sebagaimana porsi modal dalam menentukan nisbah, jujur dan tidak memanipulasi laporan finansial, dan tidak adanya perubahan kondisi secara sepihak. Semoga Allah جل جلاله memberikan kita bisnis partner yang jujur dan kerjasama yang langgeng.

Wallāhu a‘lam.
Barakallāhu fīkum.

4 Etika Bernegoisasi dalam menawarkan Akad Mudharabah

Penulis:
Devin Halim Wijaya
Independent Sharia Consultant

Referensi

  1. Inilah Kita. (2025). Pengambilan keputusan dan negosiasi dalam bisnis syariah: Strategi untuk kesepakatan berkah. https://inilahkita.com/pengambilan-keputusan-dan-negosiasi-dalam-bisnis-syariah-strategi-untuk-kesepakatan-berkah/
  2. NU Online. (2025). Ini 5 etika kemitraan dalam Islam yang bikin bisnis berkah. https://islam.nu.or.id/tasawuf-akhlak/ini-5-etika-kemitraan-dalam-islam-yang-bikin-bisnis-berkah-mb77Y
  3. Kupas Tuntas Bagi Hasil dalam Islam, Cuan Halal Tanpa Drama Riba! | LBS Urun Dana. (2025). Www.lbs.id. https://www.lbs.id/publication/artikel/cengli-kupas-tuntas-bagi-hasil-dalam-islam-cuan-halal-tanpa-drama-riba
Exit mobile version