Sudah seharusnya bahwa orang yang melakukan perniagaan atau perdagangan adalah untuk mencari keuntungan atau laba. Baik mereka yang berdagang dengan skala besar maupun kecil. Bahkan ada yang punya prinsip modal sekecil-kecilnya dengan untung sebesar-besarnya. Tapi pernah gak sih beli suatu barang yang harganya mahal dan setelah itu kita tahu bahwa keuntungan yang diambil 2 bahkan 10 kali lipat dari harga modalnya? Kemudian sebagian dari kita ada yang menganggap bahwa harga barang yang ditawarkan itu tidak wajar bahkan ada yang akhirnya tidak terima. Hanya saja sebagai kaum muslim kita mesti harus tahu hukumnya, sebenarnya boleh gak sih menjual barang dengan keuntungan 100% atau lebih? Mari kita bahas.
- Pengertian Laba / Keuntungan Dalam Islam
Secara definisi keuntungan atau “laba” (ar ribhu, profit) adalah tambahan dana yang diperoleh sebagai kelebihan dari beban biaya produksi atau modal.[1] Secara khusus “laba” dalam perdagangan (jual beli) adalah tambahan yang merupakan perbedaan antara harga pembelian barang dengan harga jualnya.[2] Keuntungan yang dihasilkan dari bisnis atau usaha biasanya dihitung dari pendapatan total dikurangi total biaya (biaya operasi, produksi, dan lain-lain).
- Batasan Mengambil Keuntungan Dalam Islam
Menurut Siddiq Al Jawi tidak ada batasan laba maksimal yang ditetapkan syariah Islam bagi seorang penjual, selama aktivitas perdagangannya tidak disertai dengan hal-hal yang haram. Seperti ghaban fahisy (menjual dengan harga jauh lebih tinggi atau jauh lebih rendah dari harga pasar), ihtikar (menimbun), ghisy (menipu), dharar (menimbulkan bahaya), tadlis(menyembunyikan cacat barang dagangan), dan sebagainya. [3]
Dalil tidak adanya batasan laba maksimal yang tertentu, adalah dalil-dalil tentang perdagangan yang bermakna mutlak, yaitu tanpa ada ketentuan batas maksimal laba yang tak boleh dilampaui. Misalnya firman Allah SWT (artinya) : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan (tijarah) yang berlaku dengan suka sama suka (saling ridha) di antara kamu.” (TQS An Nisaa` [4] : 29).
Ayat tersebut menunjukkan bolehnya perdagangan, yang sekaligus menunjukkan juga bolehnya mencari laba. Sebab pengertian perdagangan adalah aktivitas jual beli dengan tujuan memperoleh laba. [4] Bolehnya mencari laba berdasarkan ayat di atas, dari segi berapa besarnya laba, bersifat mutlak. Artinya, tidak ada batas maksimal laba yang ditetapkan syariah. Sebab tidak ada dalil syar’i yang membatasi kemutlakan ayat tersebut. Dalam hal ini kaidah ushul fikih menetapkan : dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya pembatasan. [5]
Sebagian ulama mazhab Maliki, seperti Ibnu Wahab, mengatakan bahwa maksimal laba dalam perdagangan adalah sepertiga (tsuluts), dengan dalil sabda Rasulullah SAW bahwa batas maksimal harta yang dapat diwasiatkan adalah sepertiga (tsuluts). [6]
Pendapat ini tidak dapat diterima, dengan dua alasan. Pertama, sabda Rasulullah SAW yang menyebut batas maksimal sepertiga (tsuluts) tersebut tidak dapat menjadi taqyid (pembatasan) terhadap kemutlakan ayat di atas (QS An Nisaa` : 29). Sebab sabda Rasulullah SAW itu topiknya terkait dengan wasiat, sementara ayat di atas topiknya terkait dengan perdagangan. Jadi konteksnya berbeda.
Kedua, penetapan batas maksimal laba sepertiga (tsuluts) bertentangan dengan nash-nash syariah yang membolehkan laba lebih dari sepertiga. Dari ’Urwah RA, bahwa Nabi SAW pernah memberikan kepadanya uang 1 dinar untuk membelikan seekor kambing untuk Nabi SAW. Kemudian Urwah membeli dua ekor kambing dengan uang itu, lalu Urwah menjual salah satu dari dua ekor kambing itu seharga 1 dinar. Urwah kemudian datang kepada Nabi SAW dengan membawa 1 ekor kambing dan uang 1 dinar, Nabi SAW pun mendoakan keberkahan bagi Urwah. (HR Bukhari, no 3642). Hadits ini membolehkan laba 100 persen, karena Urwah awalnya membeli 1 kambing dengan harga ½ (setengah) dinar, lalu menjualnya kembali dengan harga 1 dinar. [7]
Kesimpulannya, tidak ada batasan laba maksimal yang ditetapkan syariah Islam bagi seorang penjual, selama aktivitas perdagangannya tidak disertai dengan hal-hal yang haram. Wallahu a’lam.
Referensi:
[1] Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha`[2] Yusuf Qaradhawi, Hal li Ar Ribhi Had A’la?[3] Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam
[4] Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah; Rawwas Qal’ah Jie,Mu’jam Lughah Al Fuqaha[5] Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami[6] Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir[7] Yusuf Qaradhawi, Hal li Ar Ribhi Had A’la?