Akad Ijarah

Tentang Akad Ijarah

Akad Ijarah ada dua jenis:

  1. Akad Ijarah = akad sewa menyewa barang
  2. Akad Ijarah = akad bekerja dengan upah atau akad jasa.

Misalnya akad antara dokter dan pasien. Dokter memberikan manfaat berupa diagnosa, pemberian resep, pemeriksaan, pemberian rekomendasi kesehatan (makanan dan minuman yang dipantang atau dianjurkan), dan lain-lain. Karena manfaat yang pasien terima itulah, pasien perlu memberikan imbalan kepada dokter.

Menurut istilah syariat, akad ijarah adalah akad atas manfaat dengan pengganti/kompensasi (‘iwadh). [1] Jadi, akad ijarah adalah tukar menukar antara manfaat dengan ‘iwadh (imbalan).

‘Iwadh atau imbalan bisa berupa uang, bisa juga berupa barang. Jika imbalannya adalah uang atau upah, maka istilah syariahnya adalah ujrah. Jika imbalannya adalah barang, maka istilah syariahnya disebut ‘ain. Imbalan bisa juga berupa manfaat dari pekerjaan manusia.

Apakah jasa bisa dibayar dengan manfaat dari barang?

Contoh kasus: Misalnya, ada dokter di Papua yang tidak dibayar dengan uang, tapi dibayar menggunakan hasil perkebunan. Apakah boleh? Jawabannya adalah boleh.

Kasus lainnya, jika dokter itu tidak dibayar dengan uang atau benda, tapi dibayar dengan jasa kembali? Jawabannya, boleh dan bisa juga, Jadi, ‘Iwadhnya berupa manfaat jasa dari kerja manusia. Contohnya, ada pasien yang tidak bisa membayar dokter, tapi dia menawarkan jasa sebagai pembantu rumah tangga sebagai seminggu sebagai imbalan untuk dokter. Ini dibolehkan. Ini juga termasuk ‘Iwadh.

Pengertian Manfaat

Manfaat adalah kemampuan dari sesuatu (dari benda atau dari pekerjaan manusia) untuk memuaskan atau memenuhi kebutuhan manusia.[2]

Contoh: Manfaat dari sepeda motor adalah kemampuan sepeda motor untuk memenuhi kebutuhan kita untuk berpindah tempat. Jika suatu saat sepeda motor itu rusak, maka dapat disebut bahwa pada saat itu, motor itu manfaatnya berkurang atau hilang. Begitu motornya sudah disservice dan kembali normal, maka motor itu kembali memberi manfaat.

Manfaat juga bisa diperoleh dari pekerjaan manusia. Misal manfaat dari pekerjaan dokter adalah pengobatan. Ingat bahwa dokter tidak bisa memberikan kesembuhan, tapi dokter bisa memberikan pengobatan. Kenapa? Karena kesembuhan itu hanya dari Allah. Dalam kitab-kitab fiqih, pengobatan dan kesembuhan menggunakan kosa kata yang berbeda. Pengobatan bahasa arabnya “at-tadawi atau al mudawah”, tetapi ksembuhan bahasa arabnya “al-burqu”.

Macam-Macam Akad Ijarah Berdasarkan Jenis Manfaat

(1) Akad ijarah untuk manfaat dari benda atau barang, yang biasa disebut dengan penyewaan.

Misal: penyewaan (rental) mobil, penyewaan rumah, dan penyewaan barang-barang bayi.

(2) Akad ijarah untuk manfaat dari perbuatan/pekerjaan/keahlian seseorang, misal: jasa dokter, jasa arsitek, jasa bimbingan belajar, jasa kursus.

(3) Akad ijarah untuk manfaat yang diperoleh dari orangnya, bukan dari keahliannya. Misal: jasa pembantu rumah tangga dan jasa buruh. Biasanya akad ijarah jenis ini untuk pekerjaan yang bisa dilakukan oleh hampir seluruh orang dan tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi atau kejuruan. Pekerjaan yang masuk kategori ini contohnya adalah akad menyapu, membersihkan rumah dan mencuci.

Dalil tentang akad ijarah

Berikut ini dalil pertama tentang akad ijarah:

اَهُمْ يَقْسِمُوْنَ رَحْمَتَ رَبِّكَۗ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَّعِيْشَتَهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۙ وَرَفَعْنَا

بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجٰتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗوَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (QS Az Zukhruf : 32).

Dalil ini membolehkan akad ijarah, di mana satu orang mengambil manfaat dari orang lain dan lalu memberi upah. Derajat manusia diciptakan berbeda-beda agar sebagian manusia dapat mempekerjakan sebagian yang lain, sehinga seluruh jenis pekerjaan di dunia ini dapat menjadi sumber penghasilan bagi banyak orang. Perbedaan keahlian dan perbedaan pendidikan, misal perbedaan lulusan SD, SMP, SMA, S1, S2 S3 dan lain-lain ini memiliki hikmah. Hikmahnya adalah sebagian yang satu dapat merekrut dan mempekerjakan sebagian yang lain untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan umum.

Dalil lainnya, adalah sebagai berikut:  

اَسْكِنُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُّجْدِكُمْ وَلَا تُضَاۤرُّوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوْا عَلَيْهِنَّۗ وَاِنْ كُنَّ اُولَاتِ حَمْلٍ فَاَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ حَتّٰى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّۚ فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۚ وَأْتَمِرُوْا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوْفٍۚ وَاِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهٗٓ اُخْرٰىۗ

“Kemudian jika mereka (mantan istri yang sudah diceraikan) menyusukan (anak-anak)-mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS At Thalaq: 6).

Pada jaman Rasulullah ﷺ, ada para ibu-ibu yang berprofesi menyusukan bayi orang lain. Ibu-ibu tersebut dibayar untuk memberikan ASI kepada bayi-bayi yang membutuhkannya. Inilah salah satu dalil yang membolehkan akad ijarah, yaitu akad memberikan imbalan atas manfaat penyusuan bayi.

“Diriwayatkan dari Aisyah RA, Rasulullah SAW dan Abu Bakar Ash- Shiddiq pernah mempekerjakan seorang laki-laki dari Bani Ad-Dil,kemudian dari Bani Abdi bin Adi, sebagai penunjuk jalan, yaitu saat keduanya hijrah.” (HR Bukhari)

Pada masa Rasulullah ﷺ ada juga orang yang berprofesi sebagai penunjuk jalan. Mereka bertugas menunjukkan mana jalan yang boleh dilalui, mana jalan yang tidak boleh dilalui.  Atas jasa tersebut, mereka berhak diberikan imbalan.

Rukun-rukun Akad Ijarah

Berikut ini rukun-rukun dari akad ijarah:

1) Al-‘Aqidani (dua pihak yang berakad), yaitu yang menyewa (musta`jir) dan yang disewa / dipekerjakan (muajjir / ajiir).

2) Al-Ma’qud ‘alaihi (objek akad), yaitu manfaat dan upah.

 3) Shighat, yaitu apa saja yang menunjukkan Ijab dan Kabul, perkataan maupun perbuatan.

Syarat-Syarat Rukun Ijarah

Syarat pada rukun pertama (kedua pihak yang berakad atau Al-‘Aqidani) ada tiga, yaitu kedua pihak wajib: 

1) Berakal (Aqil), 

2) Mumayyiz, 

3) Ikhtiyar (tidak dipaksa).

Syarat pada rukun kedua (manfaat) ada enam, yaitu:

  1. Manfaat harus mubah,
  2. Manfaat harus ma’lum (diketahui dengan jelas) 
  3. Manfaat harus dapat diserahterimakan (taslim)
  4. Manfaat tak boleh menghilangkan zat sumber manfaat. Misal, tidak boleh menyewakan lilin, karena lilin jika digunakan akan habis. Oleh karena itu lilin lebih baik diperjualbelikan, jangan disewakan.
  5. Manfaat harus mempunyai nilai (mutaqawwam)
  6. Manfaat harus dapat dinikmati yang menyewa (musta’jir)

Misalnya, tidak boleh orang membayar orang lain untuk sholat atas nama yang membayar. Ini tidak bisa karena manfaat sholat hanya memberi manfaat bagi yang mengerjakannya. Yang boleh: Upah atas menyalurkan zakat, dan menyembelih hewan kurban. [3]

Sedangkan syarat untuk upah (ujrah) ada enam, yaitu[4]:

1) berupa harta (maal) yang mubah

2) berupa harta suci (thahir),

3) diketahui dengan jelas (ma’luum)

4) dapat dimanfaatkan. (muntafa’an bihi)

5) dapat diserahterimakan (maqduur ‘ala tasliimiha).

6) hak milik yang menyewakan (musta`jir). 

Ada kaidah fiqih yang menyebutkan:

لا تجوز إجارة الأجٌر فٌما منفعته محرحة

“Laa tajuuzu ijaratul ajiiri fiimaa manfa’atuhu muharromah”

Artinya: “Tidak boleh ijaratul ajiir [mempekerjakan pegawai] pada segala manfaat (jasa) yang telah diharamkan syariah[5].”

Misal, membayar seseorang untuk mendistribusi khamr, untuk memeras alcohol, mengangkut babi atau bangkai; ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang tidak diperbolehkan, baik kita sebagai pihak yang mempekerjakan atau sebagai pihak yang dipekerjakan.

IJARAH PADA MANFAAT YANG HARAM

Contoh ijarah pada manfaat (jasa) yang diharamkan syariah adalah sebagai berikut[6]:

1) Bekerja sebagai karyawan untuk mengangkut khamr kepada pembelinya, 

2) Bekerja sebagai karyawan untuk memeras khamr 

3) Bekerja sebagai karyawan untuk mengangkut babi atau bangkai

HUKUM BEKERJA DI BANK

Bekerja di bank, hukumnya adalah sebagai berikut:

Jika pekerjaannya terkait dengan riba baik langsung maupun tidak langsung, seperti pimpinan bank, akuntan bank, auditor bank, dan sejenisnya, maka hukumnya haram. Jika pekerjaannya di bank tidak terkait dengan riba, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti satpam bank, pegawai cleaning service, office boy, maka hukumnya boleh[7].

Bekerja di perusahaan yang akadnya tidak sempurna atau batil seperti PT yang hanya berupa syirkah dari pemilik modal atau syirkah musahamah; asuransi, atau koperasi, maka:

  1. Jika pekerjaannya diharamkan syariat dan mendukung akad perusahaan yang batil, seperti pencatat akad asuransi, karyawan pembagi SHU koperasi, karyawan yang tugasnya menjual saham PT maka hukumnya haram.
  2. Jika pekerjaannya tidak diharamkan syariat, atau tidak melaksanakan dan mendukung akad yang batil, seperti menjadi satpam bagi koperasi atau asuransi, maka hukumnya boleh.

Ada kaidah fiqih yang berbunyi sebagai berikut:

ما حرم المٌام به حرم أن ٌإجر فٌه أو أن ٌكون أجٌرا  فٌه

“Apa saja yang haram dikerjakan, haram pula mempekerjakan orang lain untuk mengerjakannya atau menjadi karyawan untuk mengerjakannya.[8]” 

Misalnya, membuat patung. Tidak boleh membayar orang lain untuk melakukannya. Tidak boleh pula dibayar orang lain untuk melakukannya.

IJARAH DALAM IBADAH

Ijarah dalam ibadah hukumnya dirinci sebagai berikut:

1) Jika manfaat ibadah itu hanya untuk pelakunya saja, seperti wudhu, sholat fardhu dan shaum, maka hukumnya tidak boleh.

2) Jika manfaat ibadah itu tidak hanya untuk pelakunya, maka hukumnya boleh. Contoh ibadah seperti ini adalah adzan, imamah, haji untuk mayyit (badal haji), membayarkan zakat, menyembelih qurban[9].  

MENDAPAT UPAH DARI MENGAJARKAN AL-QUR’AN

Mengajarkan Qur’an dengan upah, hukumnya adalah makruh. Sebab, terdapat dalil yang mencela mencari makan dengan Al Qur’an, yaitu sabda Rasulullah ﷺ

: الرءوا المرآن ، ولا تؤكلوا به 

“Bacalah Al Qur’an tapi janganlah kamu mencari makan dengan Al Qur`an.”

(HR Ahmad, Baihaqi, & Thabrani, hadis sahih)

Akan tetapi celaan Nabi ﷺ tersebut tidak bersifat tegas (ghairu jazim)[10] sehingga hukumnya tidak haram, melainkan makruh, karena terdapat qarinah (petunjuk) yang membolehkan mencari upah dengan Al Qur`an, yaitu sabda Rasulullah ﷺ:

أحك ما أخذتم علٌه أجرا كتاب الله

“Sesuatu yang paling berhak kamu ambil upahnya adalah Al Qur`an.”

(HR Bukhari).

Solusi dari hal ini adalah mengajar tanpa menentukan harga.

Mengumandangkan adzan dengan upah juga hukumnya makruh. Sebab, terdapat dalil yang mencela mengumandangkan adzan dengan upah, tapi celaan tersebut tidak tegas (ghairu jazim)[11].

Dari Utsman bin Abi Al Aash dia berkata:

“Sesungguhnya di antara hal terakhir yang dipesankan Nabi SAW kepadaku, adalah agar aku mengangkat muadzin yang tidak mengambil upah atas adzannya.” (HR Tirmidzi).

IJARAH PADA NON MUSLIM

Boleh hukumnya mempekerjakan non-muslim, berdasarkan As-Sunnah dan Ijma’ Shahabat. Rasulullah ﷺ pernah mempekerjakan orang Yahudi untuk menjadi penulis (sekretaris) dan penerjemah. Adapun jika suatu aktivitas haram hukumnya, maka tidak boleh mempekerjakan orang lain, baik pekerja itu muslim atau non-muslim[12].

Boleh hukumnya seorang muslim menjadi pekerja bagi non-muslim. Ali bin Abi Thalib pernah menjadi pekerja bagi orang Yahudi, dengan pekerjaan mengairi tanaman dan upahnya adalah sebutir kurma untuk satu timba air.

Adapun jika suatu aktivitas ibadah disyaratkan pelakunya muslim, seperti adzan, imamah (menjadi imam), menyembelih Qurban, haji, membayar zakat, mengajarkan Qur`an, maka tidak boleh mempekerjakan non-muslim[13].

IJARAH BARANG (Sewa Menyewa Barang)

Ijarah pada objek manfaat dari barang (‘ain) disebut dalam bahasa Arab dengan istilah “isti`jaar al a’yaan”. Yang menjadi objek akad dari akad isti`jaar al a’yaan ini adalah: manfaat al ‘ain atau manfaat dari benda. Contoh: menyewakan mobil, menyewakan rumah, dll.

Apa bedanya dengan akad jual beli? Dalam akad jual beli, objek akadnya adalah al ‘ain atau zat bendanya, sedangkan dalam ijarah barang, objek akadnya adalah manfaat al ‘ain, yaitu manfaat zat bendanya, bukan zat bendanya itu sendiri.

Jika seseorang menyewa suatu barang, misal rumah, maka dia berhak memanfaatkan rumah itu, yaitu berhak dia sendiri yang menempati rumah itu, atau berhak pula dia menempatkan orang lain sebagai wakilnya untuk menempati rumah itu[14].

Jika seseorang menyewa sebuah rumah, dia boleh menyewakan lagi rumah itu kepada orang lain (penyewa kedua), dengan ongkos sewa yang sama, atau lebih banyak atau lebih sedikit, dengan 3 (tiga) syarat sebagai berikut[15]:

Pertama, telah terjadi serah terima rumah (qabdhu al ‘ain) dari pemilik rumah kepada penyewa pertama.  Jika belum terjadi serah terima rumah (qabdhu al ‘ain) tidak boleh penyewa pertama menyewakan lagi kepada penyewa kedua. 

Kedua, masa sewa penyewaan yang kedua, terjadi di dalam jangka waktu masa penyewaan yang pertama. Misal masa sewa penyewaan pertama adalah 1 tahun, kemudia penyewa pertama menyewakan lagi kepada penyewa kedua dalam jangka waktu 10 bulan (kurang dari 1 tahun).

Ketiga, tidak boleh risiko (dharar) penyewaan yang kedua lebih besar dari risiko (dharar) penyewaan yang pertama. Misal, penyewa pertama menyewa rumah untuk ditinggali, lalu disewakan kepada penyewa kedua untuk keperluan bengkel las, yang risikonya lebih besar dari risiko penyewaan pertama (hanya untuk ditinggali). Penyewaan yang kedua ini tidak boleh.


REFERENSI

[1] Taqiyuddin An-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, 2/317

[2] Taqiyuddin An-Nabhani, al-Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 55

[3] Shalah al Shawi & Abdullah Muslih, Maa Laa Yasa’u At Tajir Jahluhu, hlm. 186-187

[4] Shalah al Shawi & Abdullah Muslih, Maa Laa Yasa’u At Tajir Jahluhu, hlm. 188

[5] Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fil Islam, hal. 93

[6] Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fil Islam, hal.93

[7] Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fil Islam, hal. 94

[8] Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fil Islam, hlm. 94-95

[9] Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fil Islam, hlm. 97

[10] Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fil Islam, hlm. 97

[11] Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fil Islam, hlm. 97

[12] Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fil Islam, hlm. 95

[13] Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fil Islam, hlm. 95

[14] Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah, Juz II, hlm. 330

[15] Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz II, hlm. 325-326

Exit mobile version