Bagaimana Solusi Sistem Ekonomi Islam Dalam Mencegah Krisis Ekonomi?

Ekonomi Islam memiliki solusi yang sangat luar biasa dalam menghadapi permasalahan-permasalahan ekonomi modern ini, salah satunya adalah krisis. Di dalam Ekonomi Islam, telah ditunjukkan bagaimana kaum muslimin mengatur ekonomi. Dalam ekonomi islam segalanya diawali dengan bagaimana mengelola pembagian kepemilikan harta, kemudian bagaimana membuat kebijakan agar sektor riil ekonomi masyarakat tumbuh, dan selanjutnya memastikan distribusi harta berjalan sesuai dengan hukum syariat islam.

Dari tiga hal dasar itulah islam akan mampu memberikan solusi terbaik nya dalam mencegah krisis yang mungkin akan terjadi. Oleh karena itu, berikut kami sajikan penjelasan mengenai 3 hal mendasar solusi sistem ekonomi islam dalam mencegah krisis ekonomi.

1. Pembagian Kepemilikan

Di dalam Sistem Ekonomi Islam, tahapan pembagian kepemilikan harta sangat-sangat penting, pembagian kepemilikan ekonomi ini dilakukan agar tidak terjadi adanya hegemoni dari pihak yang kuat (pemilik modal), dengan pihak yang lemah. Sebagaimana yang terjadi saat ini, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin bertambah banyak.

Hegemoni ini dapat terjadi, disebabkan karena pengambilalihan kepemilikan pada sektor kepemilikan umum oleh pihak swasta. Seperti pengambilalihan pihak swasta pada sektor tambang, minyak bumi, gas, kehutanan, sumber daya air, jalan umum, bandara, dan lain sebagainya. Sehingga kekayaan-kekayaan ekonomi hanya dinikmati oleh pihak swasta tersebut, yang mengakibatkan ketimpangan sosial antara pihak kaya dan pihak yang miskin semakin tinggi.

Padahal dalam sistem ekonomi islam pembagian kepemilikan harta  itu sangatlah penting agar dapat menjadi batasan mengenai harta mana saja yang boleh dimiliki individu atau tidak boleh. Memang, harta kekayaan pada hakikatnya merupakan milik Allah SWT, maka hanya Dia pula yang berhak dan memiliki otoritas penuh menyerahkan kekayaan tersebut kepada siapa yang dikehendaki-Nya, siapapun yang telah mendapatkan izin dari Allah SWT untuk memiliki suatu harta, berarti dia adalah pemilik sah harta tersebut, sebaliknya siapapun yang tidak mendapatkan izin dari-Nya untuk memiliki suatu harta, dia bukan sebagai pemilik sah tersebut, sekalipun secara fakta harta itu berada ditangannya atau dibawah kekuasaannya dengan demikian, sebuah kepemilikan atas harta kekayaan oleh manusia baru dapat dipandang sah manakala telah mendapatkan izin dari Allah SWT untuk memilikinya.

Hanya saja meski status kepemilikan harta ada pada seseorang, ketentuan syariah tetap mengikuti orang tersebut dalam memanfaatkan harta itu serta memberikan implikasi hukum atas pelanggaran yang dilakukan. Untuk mencegah pelanggaran yang pasti akan menimbulkan dampak buruk terhadap yang bersangkutan dan mungkin juga orang lain, negara akan mengawasi pelaksanaan pemanfaatan harta oleh warga negara. Negara berhak mencegah pemanfaatan harta yang tidak sesuai syari’ah, bahkan berhak mengambil kembali wewenang pemanfaatan atas harta seseorang jika terbukti terdapat pelanggaran dalam cara memiliki dan memanfaatkannya.

Allah berfirman:

وَءَاتُوهُم مِّن مَّالِ ٱللَّهِ ٱلَّذِىٓ ءَاتَىٰكُمْ ۚ…. ٣٣ “….

Dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu….” (QS. An-Nur: 33). 

Dari penjelasan diatas, bahwa hak milik atau kepemilikan terhadap kekayaan seluruhnya adalah milik Allah SWT. Allah-lah yang memiliki hak penuh bukan manusia. Hanya saja Allah telah memberikan hak kepemilikan tersebut kepada manusia dalam bentuk penguasaan (istikhlaf) terhadap zat atau manfaat harta kekayaan tersebut, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya dalam surah Al Hadid ayat 7: 

ءَامِنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَأَنفِقُوا۟ مِمَّا جَعَلَكُم مُّسْتَخْلَفِينَ فِيهِ ۖ فَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَأَنفَقُوا۟ لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ

Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar. (QS. Al-Hadid: 7) 

Penguasa (istikhlaf) ini umum bagi semua manusia. Semua manusia mempunyai hak pemilikan, tetapi bukan pemilikan aktual (yang sebenarnya). Mereka diberi kekuasaan dalam hak pemilikan. Adapun pemilikan aktual bagi individu tertentu, maka Islam mensyaratkan adanya izin dari Allah SWT. Bagi individu itu untuk memilikinya. Oleh sebab itu, harta dimiliki secara aktual berdasarkan izin dari pembuat syara’ untuk memilikinya. Oleh karena itu Islam membagi kepemilikan berdasarkan izin dari pembuat syara’ menjadi tiga, yaitu (1) kepemilikan individu (private property/milkiyyah fardhiyah,) (2) kepemilikan umum (collective property/milkiyyah ‘amma) dan (3) kepemilikan negara (state property/milkiyyah daulah).


Baca : https://blog.nabitu.id/konsep-pembagian-kepemilikan-harta-dalam-perspektif-ekonomi-islam/

2. Pembangunan Sektor Riil

Setelah pembagian kepemilikan selesai, sistem ekonomi islam dalam menanggulangi krisis maka harus fokus mengatur bagaimana pembangunan  ekonomi yang benar dan tepat, yaitu bertumpu pada pembangunan pada sektor riil, yang sejatinya sektor riil lah yang menjadi penopang krisis ekonomi. Dimana sektor riil merupakan sektor yang memproduksi barang dan jasa. Seperti  pertanian, perdagangan, industri, pariwisata, dan jasa.

Di dalam perekonomian Islam, sektor riil menjadi konsentrasi utama kebijakan, khususnya sektor perdagangan. Penghapusan sistem bunga dan penerapan loss profit sharing (LPS) disisi lain merupakan built in system yang akan menciptakan pertumbuhan ekonomi berada di sektor riil. Sehingga dengan menitikberatkan pembangunan ekonomi pada sektor riil akan membantu ummat untuk terus berkarya dan terus menghasilkan barang ataupun jasa yang akan menyedot uang yang ada pada orang-orang tertentu untuk berputar kepada ummat.

3. Distribusi Harta

Kemudian yang ketiga bagaimana islam menanggulangi krisi adalah dengan mengatur bagaimana distribusi harta tetap sehat di masyarakat. Didalam sistem ekonomi Islam, persoalan distribusi harta menjadi salah satu pilar dari konsep ekonomi Islam. Prinsip mendasar dalam konsep distribusi ekonomi Islam adalah peningkatan dan pembagian hasil dari kekayaan, agar sirkulasi harta tidak beredar diantara golongan tertentu saja. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al -Hasyr ayat 7.

Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.( QS. Al-Hasyr : 7)

Selain itu, posisi distribusi harta dalam aktivitas ekonomi suatu negara sangatlah penting, dikarenakan distribusi harta itu sendiri merupakan tujuan dari kebijakan fiskal dalam suatu negara. Sehingga faktor krisis itu sendiri dapat ditanggulangi dengan kebijakan ini.

Wallahu A’lam

Referensi:

Nunung Nurlela, “Mekanisme Distribusi Harta Secara Ekonomis dan Nonekonomis Dalam Sistem Ekonomi Islam”, Vol. 7 Jurnal Ekonomi Islam, Desember 2017, hal.176.

Taqiyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 60

M. Ismail Yusanto dan M. Arif Yunus, Pengantar Ekonomi Islam, (Bogor: Al-Azhar Press, 2012), h. 147.

Exit mobile version