Bekerja Pada Sektor Usaha Tidak Halal, Bagaimana Pandangan Fiqih?

Dalam pemenuhan kebutuhan hidup dan sebagai ajang aktualisasi bekerja menjadi hal yang lumrah dilakukan oleh manusia. Baik itu sebagai pengusaha, pengajar ataupun sebagai pegawai di sebuah perusahaan dan bidang usaha lainya. Namun, sudahkan kita memastikan tempat kita mencari nafkah dan mengais rezeki sudah halal?

Jika kita merujuk pada Fatwa DSN-MUI yang memberikan penjelasan mengenai jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah yaitu, seperti lembaga keuangan konvensional, perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang terlarang. Adapun terkait dengan produsen, konsumen, distributor dan perdagangan makanan, minuman yang haram serta penyedia barang dan jasa yang merusak moral.  

Contoh nyata seperti bekerja pada sektor usaha yang tidak halal dimana proses industri yang menghasilkan produk haram baik itu berupa haram karena fisik (seperti babi dan khamr) maupun non-fisik. Misal saja, bekerja di tempat cafe yang menjual minuman haram dan asusila, distribusi dan produksi narkoba, sektor jasa keuangan konvensional, usaha pencucian uang dan sejenisnya.   

Lalu, bagaimana hukumnya secara fiqih jika seseorang bekerja di sektor industri yang tidak halal?

Jika kita merujuk pada sebuah hadis, Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, penyetor riba, penulis transaksi riba dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba., “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim, no. 1598).

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ada penegasan haramnya menjadi pencatat transaksi riba dan menjadi saksi transaksi tersebut. Juga ada faedah haramnya tolong-menolong dalam kebatilan.” (Syarah Shahih Muslim, 11: 23).


Jadi sudah bisa di pastikan keharamannya bekerja di sektor ribawi. Baik kita berperan sebagai pekerjanya, nasabah atau pengguna jasa hal ini sama-sama berdosa. Begitu pula dalam bidang lain, Allah tidak hanya mengharamkan pelaku atau pekerjanya tetapi juga pelaku  tidak langsung atau bukan pekerjanya melainkan nasabah dll. 

Pekerja yang di dalamnya terlibat aktivitas suap-menyuap baik itu pemberi atau penerimanya juga akan di laknat oleh Allah SWT . Maka sudah dipastikan keharamannya.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي

Dari Abdullah bin ‘Amr, dia berkata: Rasûlullâh SAW bersabda, “Laknat Allâh kepada pemberi suap dan penerima suap”. [HR. Ahmad, no. 6984; Ibnu Majah, no. 2313).

Terdapat sebuah kaidah fiqih yang berbunyi “Jika ada dana halal dan haram bercampur, maka menjadi dana haram.”

Sesuai dengan kaidah fiqih diatas, jika dana halal bercampur dengan dan haram, maka hukum haram lebih di unggulkan dan menjadi hukum keseluruhan dana tersebut. (as-Suyuthi, al-Asybah wa an-nadzair, dan al-Mausu’ah al-fiqhiyah, 8/76)

Dengan demikian, bisa kita tarik kesimpulan bahwa bekerja di perusahaan yang sektor bisnisnya tidak halal tidak diperkenankan dalam hukum islam. 


Maka berikhtiarlah dan berdoa untuk mencari nafkah di sektor yang halal agar Allah berkahi kehidupan keluarga kita.  

اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

Ya Allah, anugerahkanlah padaku yang halal dan jauhkanlah aku dari yang  haram dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari selain-Mu. (HR. Tirmidzi no. 3563, hasan).

Referensi:

Sahroni, Oni. (2021). Fiqih Muamalah Kontemporer Jilid 2. Jakarta: Penerbit Republika.

https://www.republika.co.id/berita/q9lr77458/allah-melaknat-pemberi-dan-penerima-suap

Exit mobile version