“Kaligrafi islami ayat suci, tapi niatnya duniawi.
Indah di dinding, tapi kosong di hati.”
Pernah nggak sih kita masuk ke sebuah toko, terus di atas pintunya ada tulisan “Bismillāhirrahmānirrahīm” yang besar dan indah?
Kaligrafi islami bersinar, dibingkai rapi, bahkan mungkin diberi lampu khusus biar tampak lebih berwibawa. Tapi kalau ditanya ke pemiliknya, kadang jawabannya jujur tapi nyelekit:
“Biar toko saya laris. Biar rezeki ngalir.”
Padahal, niat sekecil itu bisa mengubah makna besar. Kalimat yang sejatinya zikir, malah berubah fungsi jadi semacam “jimat Islami”. Indah di mata, tapi kehilangan ruh di hati.
Amal Shalih yang Tersisa Cangkangnya
Kita semua tahu, niat itu hal kecil yang nilainya besar. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan. (Hadis Riwayat Bukhari no. 1, Muslim no. 1907)
Kaligrafi islami itu indah. Menulis ayat suci itu berpahala. Tapi kalau niatnya bergeser dari ibadah jadi “penglaris dagangan”, di situlah masalahnya. Amal shalih jadi seperti tubuh tanpa ruh yang kelihatan hidup, tapi sebenarnya kosong.
Orang kadang berpikir, “Yang penting niatnya baik.” Tapi baik menurut siapa? Kalau niatnya bukan karena Allah ﷻ, tapi karena takut sepi pelanggan, bukankah itu bentuk tawakal yang salah arah?
Kita menggantungkan harapan bukan pada Rabb, tapi pada benda yang tak punya daya.
Dalam tafsirnya, Al-Qurthubi menjelaskan bahwa niat adalah mīzān al-a‘māl timbangan amal. Amal sebesar gunung bisa jadi ringan kalau niatnya salah. Dan sebaliknya, amal kecil bisa jadi berat kalau niatnya lurus.
Jadi, bukan seberapa besar kaligrafi islami yang kita pajang, tapi seberapa dalam makna yang kita tanam.
Baca juga: Ini Alasan Kenapa Peluang dan Investasi Islami Jadi Sumber Pendapatan Tambahan
Ketika Simbol Jadi Pengganti Iman
Fenomena ini bukan hal baru. Di zaman jahiliyyah dulu, orang menggantungkan jimat dari tulang, kain, atau huruf-huruf yang mereka anggap sakral. Sekarang, bentuknya berganti, dari jimat jadi “hiasan Islami”. Tapi akar masalahnya sama, yaitu keyakinan yang salah tempat.
Allah ﷻ mengingatkan dalam Al-Qur’an:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُم بِاللَّهِ إِلَّا وَهُم مُّشْرِكُونَ
“Dan kebanyakan dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan-Nya.” (Qur’an Surah Yusuf [12]: 106)
Ayat ini bukan hanya bicara tentang penyembahan berhala, tapi juga tentang hati yang menggantungkan pada selain Allah ﷻ.
Padahal kita diajari, La haula wa la quwwata illa billāh tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah.
Jadi, kalau niatnya supaya toko ramai karena kaligrafi islami, itu artinya kita sedang memindahkan harapan dari Allah ke benda.Padahal benda itu hanya ciptaan, bukan sumber keberkahan.
Bayangkan kalau ayat-ayat itu bisa berbicara. Mungkin mereka akan berkata:
“Aku diturunkan untuk dibaca, dihayati, diamalkan bukan sekadar dipajang demi penjualan.”
Baca juga: Ini Kebiasaan dan Kepribadian Islam dalam Pengembangan Bisnis
Mengembalikan Ruh pada Amal
Bukan berarti kita nggak boleh memajang kaligrafi islami, ya. Justru, kalau niatnya benar, kaligrafi islami bisa jadi pengingat yang lembut. Melihatnya bisa menenangkan hati, mengingatkan kita pada Allah ﷻ setiap kali mata menatap.
Kuncinya cuma satu: niat.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah pernah menulis:
“Niat itu seperti ruh bagi amal. Jika niat itu lurus, maka amalnya hidup. Tapi jika niatnya rusak, maka amalnya mati.” (Zādu al-Ma‘ād, 2/441)
Jadi, yang perlu kita rawat bukan cuma bingkai kaligrafinya, tapi makna di baliknya. Kalau benar ingin usaha diberkahi, gantilah “penglaris” dengan memaknai setiap aktivitas dengan takwa kepada Allah ﷻ. Karena keberkahan bukan datang dari tulisan di dinding, tapi dari hati yang yakin pada Rabb yang Maha Memberi.
Allah ﷻ berfirman:
وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًۭا، وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (Qur’an Surah At-Talaq [65]: 2–3)
Ketakwaan itu jauh lebih kuat dari jimat mana pun. Karena janji Allah ﷻ bukan hiasan, ia adalah kepastian.
Baca juga: Ini Hikmah Kisah Umar bin Khattab: Melepas Kebun Kurma, demi Menjaga Shalat
Penutup: Dari Pajangan ke Penghayatan
Kita hidup di zaman simbol, di mana hal-hal apapun sering dijadikan dekorasi. Tapi hati yang beriman nggak puas dengan simbol; ia mencari makna.
Jadi, kalau kita pajang kaligrafi islami di toko atau rumah, semoga bukan karena “biar hoki”, tapi karena ingin terus diingatkan untuk berdzikir. Kalo kita menulis Bismillah di spanduk usaha, semoga bukan sekadar formalitas, tapi bentuk syukur dan doa sebelum berjuang.
Karena niat itu hal sepele yang menentukan segalanya. Kalo niatnya karena Allah ﷻ, bahkan pekerjaan kecil pun bisa jadi ibadah. Tapi kalo niatnya karena dunia, bahkan ayat suci pun bisa kehilangan maknanya.
“Hati yang bersih tidak butuh jimat untuk menarik rezeki, cukup yakin pada Allah ﷻ yang Maha Menjamin.”
Yuk jaga hati kita agar senantiasa terpelihara dan tumbuh rasa cukup serta keyakinan penuh hanya kepada Allah ﷻ dan bukan kepada selainnya.
Baca juga: Begini Cara Memanage Keuangan untuk Kesuksesan Finansial
Yuk Mulai Investasi Halal di Nabitu.
Referensi:
Al-Qur’an. Al-Karim
Al-Bukhari. Sahih al-Bukhari, Hadis no. 1. Diakses dari: https://sunnah.com/bukhari:1
Muslim. Sahih Muslim, Hadis no. 1907. Diakses dari: https://sunnah.com/muslim:1907
Ibnul Qayyim al-Jawziyyah. Zādu al-Ma‘ād fī Hadyi Khayr al-‘Ibād, Juz 2, hal. 441. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1421 H / 2000 M.
Al-Qurthubi, Abu Abdullah Muhammad ibn Ahmad. Tafsir al-Qurthubi (Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an), Juz 1. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1422 H / 2001 M.