Dewasa ini hutang bagaikan sebuah pisau bermata dua. Disatu sisi hutang dapat menolong seseorang atau badan usaha lepas dari kesulitan modal namun di sisi yang lain hutang juga dapat menjerat dan menyusahkan seseorang ataupun membangkrutkan sebuah badan usaha karena lilitan hutang. Pengelolaan hutang yang tepat sangat dibutuhkan agar seseorang atau sebuah badan usaha dapat terbebas dari hutang. Lalu, bagaimanakah perspektif hutang dalam pandangan barat dan islam?
Hutang dalam perspektif barat adalah sebuah “manfaat” dengan memanfaatkan hutang untuk mencapai keuntungan yang maksimal, lalu mengharapkan keuntungan yang diperoleh lebih besar daripada bunga yang harus dibayarkan. Namun, ketika dihadapkan dengan ketidakmampuan dalam membayar hutang maka kebangkrutanlah yang harus dihadapi. Cara berfikir mengenai hutang bisa juga bermula dari sebagian masyarakat ada beranggapan dengan “saya memiliki barang-barang yang menjadi keinginan saya dan banyak dari lingkungan ingin dapatkan maka saya akan mendapatkan pengakuan dari sekitar”. Padahal itu semua dilakukan diluar dari kemampuan finansialnya.
Hutang piutang secara etimologi dalam bahasa arab adalah diambil dari kata yang berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat, ‘ariyah berasal dari kata عاوؐ ت َال ر ُ ُ yang sama artinya dengan saling menukar atau mengganti, yakni dalam tradisi pinjam meminjam. Sedangkan secara terminologi syara’, ulama fiqh berbeda pendapat dalam mendefinisikannya
- Menurut Hanafiyah, hutang piutang adalah memiliki manfaat secara cuma-cuma.
- Menurut Malikiyah, hutang piutang adalah memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan.
- Menurut Syafi‟iyah, utang piutang adalah kebolehan mengambil manfaat dari seseorang yang membebaskannya, apa yang mungkin untuk dimanfaatkan serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.
- Menurut Hanabilah Hutang piutang adalah kebolehan mengambil manfaat suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya.
- Menurut Ibnu Rif‟ah Hutang piutang adalah kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya supaya dapat dikembalikan.
- Menurut Al-Mawardi Hutang piutang adalah memberikan manfaat-manfaat.
Lalu, bagaimanakah hukum hutang dalam islam? Hutang piutang dalam islam mengikuti hukum taklifi, yang terkadang dihukumi boleh, makruh, wajib, dan terkadang bahkan haram. Hukum dari pemberian hutang yang awalnya hanya dibolehkan/mubah yang bisa menjadi suatu hal yang diwajibkan jika diberikan kepada orang yang sangat membutuhkan. Hukumnya boleh jika untuk menambah modal usahanya karena akan mendapatkan keuntungan. Akan menjadi haram hukumnya jika meminjamkan uang untuk maksiat atau perbuatan makruh, misalnya untuk membeli narkoba, berjudi. Sedangkan diharam bagi pemberi hutang mensyaratkan tambahan pada waktu akan dikembalikannya hutang (riba’). Kelebihan karena kebaikan bagi si pemberi hutang, hukumnya boleh diterima. Karena ini terhitung sebagai al-husnul al-qada’ (membayar hutang dengan baik).
Beberapa akibat atau dampak yang akan ditimbulkan dari berhutang diantaranya:
- Membahayakan akhlak
Seseorang yang melakukan transaksi hutang piutang dapat memicu munculnya perilaku buruk hal tersebut mulai dari sifat berbohong, ingkar janji, dan hal buruk lainnya. Rasulullah SAW bersabda ” sesungguhnya apabila seseorang berhutang, maka orang tersebut lantas akan berbohong dan akan mengingkari janji”. (HR. Al-Bukhari)
- Tidak disholatkan Jenazahnya
Rasul SAW menahan diri untuk tidak mensholatkan janazah bagi seseorang yang telah meninggal karena dua dinar, sampai Abu Qatadah berjanji untuk melunasinya. Ketika dia melihat Rasulullah pada hari berikutnya dia berkata, “Saya telah melunasinya.” Nabi berkata: “Sekarang kulitnya telah menjadi dingin baginya.”(HR Ahmad – hasan). Oleh sebab itu alangkah lebih baik jika kita menahan diri dari berhutang kecuali memang berada pada suatu keadaan yang sangat darurat.
- Pemicu ketidak tenangan hidup dan menimbulkan stres
Ketika hutang sudah jatuh tempo maka seseorang yang berhutang akan gelisah apalagi jika belum mampu memenuhi tanggung jawabnya untuk membayar hutang. Malam yang ia lalui akan terasa lebih panjang, hari-harinya juga akan lebih suram. Ketika mengalami tekanan yang berat dalam persoalan hutang piutang akan membuat beban hidup menjadi lebih berat.
Berhutang memang terkadang dihukumi boleh dalam islam, namun alangkah lebih bijaknya jika kita terhindar dari berhutang apalagi hutang ribawi. Maka dari itu, yuk kita pahami kebutuhan dan kemampuan finansial kita.
Referensi:
Muhammad Asy-Syarbini, Mugni Al-Muhtaj, Juz II, h.263.
Muhammad Syafe‟i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani, 2001), h.132.