Ini dia Rambu untuk Wanita Karir, Agar Tetap Syar’i

Sekarang ini jadi wanita karir kayaknya makin lumrah dan bahkan jadi impian banyak orang. Punya penghasilan sendiri, bisa berkarya, bisa bantu suami, ya siapa sih yang nggak kepengen?

Memang sih dalam Islam, istri bekerja itu hukumnya mubah. Boleh dan jelas nggak dosa. Tapi, walaupun boleh bukan berarti bebas tanpa aturan.

Justru di sinilah ujiannya dimulai. Banyak yang niat awalnya tulus untuk bantu suami, mau nambah amal, atau sekadar ingin berkembang, tapi karena nggak dibekali ilmu yang cukup (aqliyah islamiyyah), akhirnya malah bablas 

Nggak cuma amanah, pokoknya sebagai Ummun wa Rabbah al-Bayt jadi terbengkalai, bahkan nggak sedikit yang rambu-rambu syariahnya malah tertabrak-tabrak.

Padahal ada kaidah penting, kalo yang mubah bisa jadi haram jika bikin kita ninggalin kewajiban.

Maka pertanyaannya sekarang, “Bisa nggak sih jadi wanita karir yang tetap syar’i, tetap tenang, tetap berkah?”

Jawabannya: bisa banget.  Gimana caranya? yuk kita bahas..

Fondasi Awal, Lurus Niat dan Izin Suami

Sebelum kita semangat melangkah keluar rumah buat bekerja, dua hal ini harus beres terlebih dulu. Karena, kalau pondasinya goyah, bangunannya pasti rubuh, sebagus apa pun kelihatannya dari luar.

Niat yang Lurus, Kunci Sukses Bangunan Takwa

Sebelum kita masuk dunia kerja, coba tanya diri sendiri pelan-pelan “Sebagai istri kerja ini buat apa sih?”

Buat bantu suami? Buat sedekah lillah? Buat dapat pengalaman?

Atau sekedar ngikutin tren biar dianggap produktif”? Atau biar bisa lebih banak check out keranjang belanjaan tanpa takut keuangan terganggu?

Nggak apa-apa jujur sama diri sendiri. Niat itu hal yang seolah kecil tapi akan menentukan arah. Kalau niatnya udah nggak karena Allah ﷻ, nanti yang didapet cuma capeknya aja, tapi pahalanya nggak ada, atau bahkan minus alias dosa yang nambah.

Rasulullah ﷺ udah ngingetin kita dari awal banget lewat hadis paling populer tentang niat.

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya.” (Hadits Riwayat Al-Bukhari, No. 1)

Niat yang lurus juga bikin kita lebih jernih melihat hidup. Kita jadi paham mana yang wajib dijaga dan mana yang cuma pelengkap. Mana yang harus diprioritaskan dan mana yang bisa ditunda. Mana yang bikin kita makin dekat ke Allah ﷻ, dan mana yang diam-diam menjauhkan.

Karena pada akhirnya, niat itulah yang membedakan apakah langkah kita jadi ibadah yang naik ke langit, atau cuma rutinitas dunia yang habis begitu aja.

“Niat adalah ruh amal. Tanpanya, amal cuma jadi tubuh tanpa kehidupan.”

Izin Suami, Tiket Resmi Kegiatan Istri

Dalam Islam, izin suami itu bukan karena istri nggak dipercaya. Bukan juga karena suami mau mengatur tapi justru kebalikannya, karena Allah ﷻ menetapkan suami sebagai qawwam, penjaga dan penanggung jawab keluarga. Dan amanah sebagai penjaga ini nggak cuma soal ngasih nafkah atau memastikan rumah aman secara fisik, tapi juga menjaga istrinya dari hal-hal yang bisa nyeret pelan-pelan menuju dosa.

Allah ﷻ sudah wanti-wanti:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka…” (Quran Surat At-Talaq 66:6)

Ayat ini ngajarin kita bahwa suami punya tanggung jawab berat buat memastiin keluarganya nggak mengarah ke maksiat termasuk hal-hal yang kelihatannya kecil, kayak istri keluar rumah tanpa izin, yang sering jadi pintu gesekan, fitnah, atau pelanggaran syariat kalau dibiarkan.

Nabi ﷺ juga menegaskan amanah besar seorang istri:

وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ
“Seorang istri adalah penjaga atas rumah suaminya dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka.” (Hadits Riwayat Bukhari 7138)

Hadis ini mengingatkan dengan halus bahwa ketika istri keluar tanpa izin suami, amanah besarnya di rumah bisa aja jadi terbengkalai. 

Maka, kalau harus minta izin suami sebelum istri beraktivitas di luar, itu bukan bentuk penghalangan. Justru itu tanda ia sedang menjalankan kewajibannya untuk melindungi orang yang paling ia cintai dari bahaya, dosa, dan hal-hal yang bisa ngikis keharmonisan rumah tangga sedikit demi sedikit.

Jadi, izin suami bukan pagar pembatas. Ia lebih mirip payung perlindungan yang Allah ﷻ syariatkan supaya langkah istri tetap aman, terhormat, dan bernilai ibadah.

Baca juga: Ketakwaan sebagai Kunci Terkuat di Tengah Persaingan Bisnis

Rambu Publik untuk Wanita Karir

Kalau niat udah benar dan izin suami aman, tinggal jaga syariat di ruang publik. Ini penting buat memastikan langkah kedepannya tetap syar’i.

Jaga Aurat, Sesuai Standar Syar’i

Bagi wanita karir, ini salah satu ujian paling kerasa di dunia kerja modern. Terkadang standar kantor membuat perempuan merasa baju longgar itu nggak rapi, atau kerudung lebar itu terlihat kurang profesional.

Padahal perintah Allah ﷻ itu nggak berubah hanya karena manusia suka nggak suka.

Allah ﷻ berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, putri-putrimu, dan perempuan kaum mukminin agar mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh…” (Quran Surat Al-Ahzab: 59)

Dan:

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan khimar ke dada mereka…” (Quran Surat An-Nur: 31)

Ayat-ayat ini tidak punya catatan kecil bertuliskan “kecuali kalau dress code kantor beda ya.” Syariat itu tetap, bahkan ketika selera manusia berubah.

Bahkan soal wewangian pun ada aturannya. Rasulullah ﷺ bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ تَعَطَّرَتْ فَمَرَّتْ بِقَوْمٍ لِيَجِدُوا رِيحَهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ
“Wanita mana saja yang memakai parfum lalu melewati sekelompok orang agar mereka mencium aromanya, maka ia seperti seorang pezina.” (Hadits Riwayat An-Nasa’i)

Menjaga aurat dan menahan diri dari parfum bukan berarti mematikan gaya, tapi memuliakan diri dengan standar langit. Karena pada akhirnya, yang kita cari bukan sekadar terlihat rapi di mata kantor, tapi diakui mulia di hadapan Allah ﷻ dengan takwa.

Interaksi Seperlunya, Jaga Batasannya

Di kantor pasti ketemu lawan jenis. Itu wajar. Yang nggak wajar itu kalau interaksinya kelewat bebas.

Ikhtilath itu bukan cuma soal ketemu. Tapi campur baur tanpa batas.

Contohnya bercanda kelewat akrab, curhat lewat chat, makan berduaan, meeting berdua di ruangan tertutup, atau nebeng pulang bareng rekan kerja laki-laki.

Kita boleh ramah, boleh profesional, tapi tetap ada garis yang harus dijaga. Jaga jarak secukupnya, bicara seperlunya, dan segera pulang begitu urusan selesai. Ingat, baper di kantor itu jebakan paling halus.

Baca juga: Mengaku Bertauhid, Tapi Masih Khawatir Soal Rezeki?

Rambu Pamungkas, Pekerjaan yang Dilarang

Di tahap ini, kita bicara tentang memilih pekerjaan yang tepat.

Filter Pekerjaan, Jangan Sampai Feminitas Jadi Komoditas

Islam itu sangat menjaga kehormatan wanita. Makanya, pekerjaan yang mengeksploitasi keperempuanan, dilarang.

Ini bukan aturan baru. Rasulullah ﷺ sudah memberi batasan yang tegas. Diriwayatkan dari Râfi‘ ibn Rifâ‘ah, ia menuturkan:

نَهَانَا رَسُولُ اللهِ ﷺ عَنْ كَسْبِ الأَمَةِ إِلَّا مَا عَمِلَتْ بِيَدَيْهَا ,وَقَالَ: هَكَذَا وَنَقَرَ بِأَصَابِعِهِ، يَعْنِي: الخَبْزَ، وَالغَزْلَ، وَالنَّسْجَ.

“Nabi telah melarang kami dari pekerjaan seorang pelayan wanita (kasb al-amah) kecuali yang dikerjakan dengan kedua tangannya. Beliau bersabda, “Begini (dia kerjakan) dengan jari-jarinya seperti membuat roti, memintal, atau menenun.” (Hadits Riwayat Ahmad)

Artinya jelas, yang dilarang itu pekerjaan yang menjadikan wanita sebagai pemanis, bukan yang mengandalkan skill.

Karena itu, wanita dilarang bekerja di posisi yang memakai kecantikannya buat menarik pelanggan (SPG, BA, dll), menjadi pelayan pribadi (sekretaris pribadi), pekerjaan yang menjual daya tarik feminin semisal pramugari, bahkan posisi diplomatik yang memanfaatkan pesona wanita buat negosiasi.

Ingat, kehormatan wanita terlalu mahal buat dipasarkan begitu saja.

Jangan Sampai yang Wajib Kalah sama yang Mubah

Ini inti dari semuanya. Bahwa bekerja itu mubah. Tapi menjadi Ummu Rabbah al-Bayt itu wajib.

Kalau pekerjaan bikin rumah suami nggak kejaga, anak kekurangan perhatian, suami terabaikan, atau kita pulang ke rumah hanya membawa sisa tenaga, berarti ada sesuatu yang harus dikaji ulang.

Syariah itu simple kok, “Kalau yang wajib tumbang gara-gara yang mubah, maka yang mubah harus disisihkan.”

Baca juga: Hati-hati Syirik! Jimat Berkedok Kaligrafi Islam

Penutup, Karier Itu Bonus, Amanah Itu Inti

Jadi wanita karir syar’i itu mungkin. Cuma perlu ilmu, niat yang bener, dan keberanian buat jaga prinsip di tengah arus zaman.

Karier itu hadiah tambahan. Tapi amanah sebagai istri dan ibu itu inti hidup sebagai wanita yang dirindukan surga.

“Kemuliaan wanita bukan di tingginya jabatan, tapi di kokohnya amanah ketakwaan. Karier boleh jadi bonus, tapi jangan pernah dipakai buat menukar kewajiban.”

Semoga Allah ﷻ menjaga langkah-langkah para wanita, di rumah maupun di luar rumah, dan menjadikan setiap langkah itu sebagai jalan menuju keberkahan dunia dan keindahan Akhirat.

Baca juga: Takut Hari Sial Salah Satu Bentuk Syirik Masa Kini

Tertarik untuk Mulai Berinvestasi?
Yuk Mulai Investasi Halalmu di Nabitu.

Penulis: Redha Sindarotama

Referensi:

Al-Qur’an. Al-Karim. Diakses dari: https://quran.com/
Al-Bukhari. Shahih Al-Bukhari, Hadis No. 1. Diakses dari https://sunnah.com/bukhari:1
Al-Bukhari. Shahih Al-Bukhari, Hadis No. 7138. Diakses dari https://sunnah.com/bukhari:7138
An-Nabhani, Taqiyuddin. Sistem Pergaulan Dalam Islam (An-Nizhâm Al-Ijtimâ’î fi Al-Islam). Jakarta: Pustaka Fikrul Islam.
An-Nabhani, Taqiyuddin). Syakhsiyah Islamiyah (Kepribadian Islam) Jilid I. Jakarta: Pustaka Fikrul Islam.
An-Nasa’i. Sunan An-Nasa’i, Hadis No. 5126. Diakses dari https://sunnah.com/nasai:5126

Exit mobile version