Ngomongin soal istri bekerja dalam Islam itu sering bikin bingung ya?
Soalnya, di dunia nyata kita ketemu dua kubu ekstrem.
Di satu sisi, dunia modern (terutama peradaban Barat) seolah-olah nyindir kita. Katanya, wanita produktif itu yang berkarier, punya jabatan, dan punya gaji sendiri. Identitas sebagai perempuan yang bekerja dianggap lebih keren.
Di sisi lain, kadang kita ketemu paham kolot yang bilang wanita haram keluar rumah sama sekali, titik.
Akibatnya, kita jadi bingung. Yang benar yang mana? Kalau istri bekerja, apa itu dosa? Kalau istri di rumah, apa berarti dia menyia-nyiakan potensi?
Padahal, Islam punya petunjuk yang adil dan sangat memuliakan wanita. Aturannya nggak kaku, tapi jelas. Mari kita luruskan mindset (pola pikir) kita soal ini, biar hati tenang langkah jadi berkah.
Peran Pokok Wanita: Amanah Sesuai Fitrah
Sebelum kita ngomongin soal bolehkah wanita bekerja, kita harus sepakat dulu soal peran pokok-nya.
Amanah Sesuai Fitrah & Fisik
Dalam islam, peran pokok dan paling mulia bagi seorang wanita adalah sebagai Ummun wa Rabbah al-Bayt (Ibu dan Manajer Rumah Tangga).
Kenapa harus wanita? Apa ini nggak adil?
Justru di sinilah letak keadilan Islam. Peran ini diberikan kepada wanita karena paling sesuai dengan fitrah dan bawaan fisik-nya.
Secara fitrah, wanita dibekali gharizah nau’ (naluri keibuan) yang jauh lebih kuat dibanding pria. Rasa kasih sayang, kelembutan, dan ketelatenan buat mendidik itu adalah mode standar seorang wanita.
Secara fisik, wanita punya spesialisasi yang nggak dimiliki pria yaitu, bisa mengandung, melahirkan, dan menyusui. Ini bukan amanah yang enteng, ini adalah tugas fisik dan mental yang luar biasa berat.
Karena fitrah keibuan & spesialisasi fisik ini, wanita adalah sosok terbaik buat jadi ummun wa rabbah al-bayt (ibu dan manajer rumah tangga), yang bertugas menjaga ketenangan (sakinah), dan sekolah pertama bagi generasi penerus peradaban.
Risiko Peradaban Jika Peran Ini Ditinggalkan
Nah, di sinilah letak kekuatan sekaligus risiko-nya.
Peran ini sangat strategis. Kalau sekolah pertama ini berhasil, ia akan melahirkan generasi yang punya syakhsiyah (kepribadian) Islam yang kokoh.
Tapi, kalau peran mendidik anak difase awal ini ditinggalkan atau gagal, karena si ibu terpaksa fokus ke hal lain, risikonya bukan cuma personal. Risikonya bisa sampai terjadi kerusakan peradaban (fasad).
Kita akan kehilangan satu generasi. Kita akan melihat generasi muda yang aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap)-nya rusak, jauh dari standar Islam. Ini adalah taruhan yang terlalu besar.
Kemuliaan yang Dibebaskan dari Kewajiban Nafkah
Karena peran pokok wanita begitu berat, strategis, dan berdampak besar, syariah justru memuliakannya dengan satu kemudahan besar.
Wanita tidak diwajibkan mencari nafkah.
Kenapa?
Karena Allah ﷻ udah bebankan amanah nafkah itu sepenuhnya pada suami, sebagai qawwam (pemimpin dan penanggung jawab keluarga).
Allah ﷻ berfirman:
ٱلرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ
“Kaum laki-laki itu adalah qawwam (pemimpin dan penanggung jawab) atas kaum wanita… karena mereka menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (Quran Surat An-Nisa [4]: 34)
Dan ditegaskan lagi dalam ayat lain:
وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.” (Quran Surat Al-Baqarah [2]: 233)
Islam tidak pernah membebani wanita dengan dua amanah besar sekaligus. Amanah membangun generasi, dan amanah mencari nafkah.
Allah ﷻ menetapkan pembagian peran bukan untuk mengekang, tapi untuk menjaga keseimbangan keluarga dan kelangsungan peradaban.
Baca juga: Mengaku Bertauhid, Tapi Masih Khawatir Soal Rezeki?
Hukum Istri Bekerja dalam Islam
Nah, sekarang kita bahas pertanyaan utamanya: “Kalau begitu, istri boleh bekerja nggak sih?”
Jawabannya: Boleh. Status hukumnya mubah.
Mubah, Bukan Wajib atau Haram
Sejak zaman Rasulullah ﷺ, banyak sahabiyah yang juga bekerja atau memiliki pekerjaan.
Ada Ibunda Khadijah r.a. sebagai pebisnis ulung. Zainab binti Jahsy r.a. bekerja mengolah kulit dan hasilnya banyak disedekahkan. Asy-Syifa binti Abdullah r.a. pernah ditugasi Umar bin Khattab r.a. sebagai pengawas pasar.
Jadi kalau ada yang bilang wanita haram kerja, itu terlalu menyempitkan syariat. Kalau ada yang bilang wanita wajib kerja demi kemandirian, itu juga menyalahi syariat.
Islam sudah berikan porsi yang pas yaitu hukum wanita bekerja adalah boleh, selama syaratnya dijaga.
Boleh, Tapi Bersyarat
Islam tidak melarang wanita bekerja, tetapi kebolehannya ada syaratnya. Artinya, wanita bekerja boleh dilakukan selama tidak bertabrakan dengan amanah pokok dan aturan syariah.
Pertama, mendapat izin suami, karena suami adalah qawwam yang bertanggung jawab menjaga istrinya.
Kedua, amanah pokok tetap terjaga, pekerjaan tidak membuat rumah tangga berantakan.
Ketiga, taat aturan syar’i, seperti menutup aurat, tidak tabarruj, tidak ikhtilat bebas, menjaga adab, dan akhlak.
Baca juga: Hati-hati Syirik! Jimat Berkedok Kaligrafi Islam
Ketika Istri Memiliki Penghasilan Sendiri
Kalau seorang istri akhirnya bekerja dan mendapatkan penghasilan, ada dua hal penting yang sering disalahpahami.
Kepemilikan Harta Istri Sepenuhnya Milik Istri
Dalam hukum kepemilikan Islam, sebagaimana dijelaskan dalam Nidhomul Iqtishad karya Taqiyuddin An-Nabhani bahwa harta istri adalah milik pribadi istri sepenuhnya. Termasuk gaji, hasil usaha, honor, atau apa pun yang ia peroleh secara halal.
Suami tidak boleh mengambilnya kecuali dengan kerelaan total dari istrinya.
Ingat, ini bukan soal suami romantis atau tidak, ini murni masalah hukum syar’i. Gaji istri adalah harta istri. Dan itu tidak ada perdebatan di dalam fikih.
Nafkah Suami Tidak Gugur
Walaupun istri punya gaji lebih besar, kewajiban suami tetap sama yaitu menafkahi istrinya.
Kalau suami berhenti menafkahi dengan alasan “kan kamu udah punya gaji”, itu keliru dan bisa jadi zalim.
Artinya, ketika istri membantu keluarganya dengan ikhlas, pahalanya besar banget. Tapi kalau dipaksa? Itu bukan sedekah, itu kezaliman.
Baca juga: Enggak Semua yang Belum Ada Larangannya Itu Boleh
Penutup. Meluruskan Niat, Memuliakan Peran
Pada akhirnya, urusan istri bekerja dalam Islam bukan masalah boleh atau nggak, tapi masalah niat, aturan, dan keseimbangan.
Bagi para wanita: jangan pernah merasa rendah kalau memilih fokus di rumah. Itu peran yang sangat mulia dan sangat strategis.
Kalau bekerja, jaga amanah pokok dan aturan syariah.
Bagi para suami, jangan lempar tanggung jawab. Nafkah itu amanah besar. Kalau istrimu membantu, itu hadiah, bukan kewajiban.
Kadang kita perlu berhenti sejenak, lihat diri, dan bertanya:
“Sebenarnya aku sedang mengikuti standar siapa? Standar manusia yang berubah-ubah, atau standar Allah ﷻ yang paling tahu apa yang terbaik?”
Semoga Allah ﷻ menjaga rumah-rumah kita, memberi kita hikmah untuk menata amanah hidup, dan membuka pintu sakinah dalam setiap langkah.
“Rumah yang kuat bukan dibangun dari dua orang yang sempurna, tapi dari dua orang yang mau taat pada aturan yang sempurna.”
Baca juga: Ketakwaan sebagai Kunci Terkuat di Tengah Persaingan Bisnis
Tertarik untuk Mulai Berinvestasi?
Yuk Mulai Investasi Halalmu di Nabitu.
Penulis: Redha Sindarotama
Referensi
Al-Qur’an. Al-Karim. Diakses dari: https://quran.com/
An-Nabhani, Taqiyuddin. Sistem Pergaulan Dalam Islam (An-Nizhâm Al-Ijtimâ’î fi Al-Islam). Jakarta: Pustaka Fikrul Islam
An-Nabhani, Taqiyuddin). Syakhsiyah Islamiyah (Kepribadian Islam) Jilid I. Jakarta: Pustaka Fikrul Islam.
An-Nabhani, Taqiyuddin. Sistem Ekonomi Islam (Nidhomul Iqtishod fil Islam). Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.