Jaga Kesehatan Mental dengan Bertransaksi Keuangan Sesuai Prinsip Syariah

Belakangan isu terkait kesehatan mental menjadi bahasan yang cukup dikenal di kalangan generasi Milenial dan Gen-Z. Keterbukaan informasi di masa sekarang menjadi salah satu alasan semakin meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental yang mulai terbentuk.  

Sebenarnya apa sih yang di maksud dengan kesehatan mental? 

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan mental adalah keadaan dimana seseorang mempunyai kesejahteraan mental yang sehat sehingga mampu mengatasi tekanan hidup yang dialami, menyadari kemampuan yang dimilikinya, bisa belajar dan bekerja dengan baik serta berkontribusi pada komunitasnya.

Ternyata memiliki mental yang sehat punya segudang manfaat, dengan mental yang sehat akan berdampak pada pengambilan keputusan yang tepat, membangun hubungan baik dengan orang lain, dan mampu mengoptimalkan potensi yang kita miliki untuk memberikan manfaat bagi sekitar.  

Namun, kesehatan mental juga bisa terganggu dengan adanya faktor tekanan dari lingkungan sosial-ekonomi. Misal saja seperti keadaan keuangan yang tidak stabil membuat seseorang mengalami tekanan dikarenakan terpaksa berhutang, terus-terusan merasa kekurangan karena merasa tidak terpenuhi kebutuhannya. 

Lalu, bagaimanakah perspektif islam terkait dengan kesehatan mental?

Islam juga memberikan perhatian terhadap kesehatan mental manusia. Di dalam Maqashid syariah (Tujuan Syariah) terdapat tujuan penjagaan jiwa (nafs) manusia, dimana kesehatan mental masuk kedalam bagian dari kejiwaan manusia itu sendiri. 

Penetapan kelima pokok maqashid syariah menurut Al-Syatibi terdapat 5 penjagaan, penjagaan agama (hifz din), penjagaan jiwa (hifz nafs), penjagaan akal (hifz aql), penjagaan keturunan (hifz nasl), penjagaan harta (hifz nasl). Pemenuhan tujuan maqashid tersebut akan dibagi lagi kedalam kategori primer (dharuriyat), sekunder (hajiyyat) dan tersier (tahsiniyat). 

Dari tiga tujuan yang ditengah yaitu jiwa (nafs), akal (aql) dan keturunan (nasl) ketiganya berhubungan dengan kebutuhan hidup manusia seperti kebutuhan fisik, psikologi, pendidikan, kesehatan dan keberlangsungan hidup. Dimana kesejahteraan juga merupakan tujuan utama dari syariah itu sendiri.

Kesejahteraan terkadang lebih identik dengan jumlah kekayaan atau harta yang dimiliki seseorang, namun hakikatnya kekayaan yang sesungguhnya adalah kekayaan jiwa yang berupa rasa berkecukupan dengan apa yang Allah berikan dan apa yang kita usahakan. Terdapat sabda dari Rasulullah SAW dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari, yang artinya: 

“Kekayaan (yang hakiki) bukanlah dengan banyaknya harta. Namun kekayaan (yang hakiki) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446)

Oleh karena itu, banyak  berdoalah pada Allah agar selalu diberi kecukupan. Doa yang selalu dipanjatkan oleh Nabi Muhammad saw adalah doa:

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina”

(HR. Muslim no. 2721)

Didalam tujuan syariah sendiri lebih mengutamakan penjagaan harta daripada perolehan harta, yang dimaksudkan dari perolehan adalah mendapatkan dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan aturan yang berlaku.

Penjagaan harta (hifz mal) jika dilihat dari kepentingannya bisa di bedakan menjadi tiga peringkat:

a.  Hifz mal dalam tingkatan primer (dharuriyyat), contoh: syari’at tentang tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Apabila aturan itu dilanggar, maka berakibat terancamnya eksistensi harta.

b.  Hifz mal dalam tingkatan sekunder (hajiyyat), contoh: syari’at tentang jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan mengancam eksistensi harta, melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan modal.

c. Hifz mal dalam peringkat tersier (tahsiniyyat), contoh: ketentuan tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan berpengaruh kepada kepada sah tidaknya jual beli itu, sebab peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat yang kedua dan pertama.

Jika kita simpulkan dalam pandangan islam terkait kekayaan ternyata lebih mengutamakan penjagaan daripada perolehan harta, maka dari itu penjagaan atas perasaan rida, kestabilan emosi, dan kedamaian jiwa, menjadi hal yang paling penting.

Maka dari itu, hikmah dari tujuan pengaturan dan larangan dalam bertransaksi bisnis atau bermuamalah adalah untuk menjaga kedamaian jiwa kita. 

Transaksi keuangan syariah membuat tentram dan menimbulkan rasa aman dan memberikan efek  keberkahan pada setiap pelakunya. 

Transaksi keuangan yang dilarang dalam islam seperti (MAGHRIB):

Maisir (judi) yaitu bentuk permainan yang dipersyaratkan, jika salah seorang pemain menang, maka ia akan mengambil keuntungan dari pemain yang kalah dan sebaliknya. Contoh nyatanya seperti judi dimana efek negatifnya dapat menyebabkan seseorang malas bekerja dan hanya mengharapkan keuntungan yang semu dengan berangan-angan kemenangan.

Gharar (ketidakpastian), tidak terpenuhinya ketentuan syariah dalam transaksi tersebut sehingga menimbulkan ketidakpastian. Dampak dari transaksi yang mengandung gharar adalah adanya penzaliman atas salah satu pihak yang bertransaksi sehingga timbulnya rasa dibohongi dan perasaan ditipu dari adanya transaksi gharar ini.

Riba (bunga), dengan adanya tambahan yang tidak masuk akal dari transaksi riba yang biasanya akan menimbulkan pihak bertransaksi berujung pada lilitan hutang sehingga menimbulkan tekanan mental, ketidak tenangan hidup karena terjerat transaksi ribawi lainya. 

Dari transaki muamalah yang di larang dalam islam tentu terdapat tujuan untuk menjaga kedamain dan ketentraman jiwa kita.

Islam juga mengajarkan pentingnya menjaga jiwa (hifz nasl) dan menjaga akal (hifz aql) sebagai salah satu yang menjadi tujuan penjagaan dalam maqashid syariah. Maka dari itu, salah satu hikmah dilarangnya transaksi MAGHRIB (Maisir, Gharar dan Riba) terdapat tujuan untuk penjagaan jiwa dan akal manusia agar terhindar dari kecemasan, konflik dan permusuhan yang diakibatkan dari ketidaksesuaian dalam bermuamalah.  Hal tersebutlah yang pada akhirnya akan memberikan pengaruh terhadap kedamain jiwa kita.

Maka dari itu, yuk kita kembali bermuamalah sesuai syariah agar harta yang kita peroleh tidak hanya sekadar nominal namun bertambah juga keberkahan dan kedamaian jiwa kita. 

Referensi:

Ismail, Nurizal. (2014). Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam. Depok: Syamil Institute Publishing.

https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/mental-health-strengthening-our-response  Diakses pada 12 Desember 2022

https://www.bankmuamalat.co.id/index.php/artikel/pengertian-maysir-gharar-dan-riba Diakses pada 12 Desember 2022

https://www.republika.co.id/berita/m4r8c5/golongan-raja-dan-hati-yang-merasa-cukup Diakses pada 13 Desember 2022

https://alamisharia.co.id/blogs/ekonomi-syariah/kesehatan-mental-dan-transaksi-syariah/ Diakses pada 13 Desember 2022

Exit mobile version