Mengaku Bertauhid, Tapi Masih Khawatir Soal Rezeki?

Kalo Rezeki Udah Diatur, Kenapa Masih Panik Persaingan Usaha?

Pernah nggak, ngerasa was-was waktu lihat usaha tetangga makin ramai, sementara toko sendiri sepi? Atau tiba-tiba muncul usaha baru yang jualan produk mirip, terus dalam hati muncul rasa khawatir: “Aduh, gimana kalo pelanggan pindah ke sana ya?”

Wajar, manusiawi dalam persaingan usaha. Tapi kalo rasa takut itu sampai bikin hati sempit, iri, bahkan curiga seolah rezeki bisa direbut orang lain, nah di situ justru letak ujian tauhid kita.

Padahal kita sering bilang, “Rezeki sudah diatur Allah ﷻ.” Tapi begitu ada yang saingannya laris, keyakinan itu langsung goyah. Di lisan kita bilang “percaya sama takdir”, tapi di hati masih nyangka rezeki itu kayak kue, yang seolah-olah kalo orang lain dapat potongan besar, jatah kita berkurang.

Di sinilah tulisan ini mau ngajak kita semua buat jujur sama diri sendiri: Apakah kita benar-benar yakin sama Allah ﷻ sebagai Ar-Razzāq, atau cuma hafal di kepala tapi belum sampai ke hati atau aktivitas?

Rezeki Itu Nggak Pernah Tertukar

Ada satu kalimat dari Umar bin Al-Khattab radhiyallāhu ‘anhu yang sering banget kita dengar, tapi jarang bener-bener kita hayati maknanya:

“Apa yang telah ditetapkan untukmu tidak akan meleset darimu, dan apa yang bukan untukmu tidak akan pernah kamu dapatkan.”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya dalam Kitab at-Tawakkul no. 91)

Kalimat ini sederhana, tapi maknanya dalam banget. Dari sejak kita belum lahir, Allah ﷻ sudah menetapkan setiap jatah rezeki dengan sangat detail.

Allah ﷻ berfirman:

وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ
“Dan di langit terdapat rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu.”
(Qur’an Surah Adz-Dzariyat: 22)

Ayat ini menegaskan bahwa rezeki itu janji Allah ﷻ, bukan hasil siapa yang paling hebat bersaing atau paling pintar strategi. Semua makhluk dari manusia sampai semut kecil di bawah batu pun punya jatahnya masing-masing yang sudah dijamin oleh Allah ﷻ.

Jadi, bukan soal siapa yang paling rajin promosi atau paling cepat buka cabang. Tapi soal seberapa yakin kita bahwa Allah ﷻ pasti menepati janji-Nya. Masalahnya, sering kali kita terlalu sibuk ngintip usaha orang lain. Melihat saingan rame, hati mulai panas. Lupa kalo mungkin itu memang bagian yang Allah ﷻ titipkan ke dia, bukan ke kita.

Rezeki nggak pernah salah alamat. Yang sering salah arah itu terkadang hati kita, sibuk mikirin bagian orang lain, sampai lupa bersyukur dan memperbaiki niat dalam amal yang dihisab.

Baca juga: Cara Mendapatkan Penghasilan Halal di Masa Sulit

Hati-hati Iri Akan Menggerogoti Tauhid

Hati-hatilah, karena rasa takut kalah saing di hal yang wajar seperti persaingan usaha bisa berubah jadi iri.

Awalnya cuma mikir, “Dia kok bisa sih rame banget?” Lama-lama bisa berubah jadi, “Kayaknya dia pakai cara nggak beres deh…”

Hati-hati, karena iri itu pelan-pelan bisa ngerusak tauhid.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ، فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ
“Jauhilah hasad, karena hasad itu memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.” (Hadits Riwayat Abu Dawud)

Bayangin, kita capek-capek ibadah, sedekah, kerja halal, tapi semua kebaikan itu bisa hangus cuma gara-gara iri sama kesuksesan orang lain.

Iri itu muncul karena kita merasa Allah nggak adil. Subhanallah, padahal kalo kita yakin Allah ﷻ Maha Adil, harusnya kita tenang. Bisa jadi Allah ﷻ kasih lebih ke dia karena ujiannya juga lebih berat. Dan bisa jadi rezeki kita yang “kelihatannya kecil” justru lebih berkah, karena bikin hati tenang, waktu lebih lapang, dan hidup lebih barokah.

Baca juga: Dampak Suntikan 200 Triliun Menteri Purbaya bagi Ekonomi Syariah Indonesia

Ganti Iri dengan Doa dan Syukur

Daripada sibuk ngitung omzet orang, mending sibuk ngitung nikmat yang Allah ﷻ kasih ke kita.

Kadang kita lupa, nikmat bukan cuma uang. Ada kesehatan, keluarga, waktu luang, pelanggan setia, bahkan ide-ide baru yang muncul di kepala. Itu juga bentuk rezeki.

Kalo pengen usaha lebih berkembang, bukan dengan doa “semoga dia gagal”, tapi doa “semoga Allah juga bukakan jalan buat aku.”

Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا يَؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)

Kalo kita bisa tulus mendoakan orang lain sukses dengan cara yang halal, insyaAllah itu tanda iman kita udah mulai dewasa.

Dan jangan lupa, rasa syukur itu magnet rezeki.

Allah ﷻ berfirman:

لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
“Jika kalian bersyukur, pasti Aku tambah nikmat itu untuk kalian.” (Qur’an Surah Ibrahim: 7)

Baca juga: Manfaat Investasi Sejak Masih Muda

Penutup: Rezeki Itu Ujian, Bukan Perlombaan

Pada akhirnya, rezeki bukan soal siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling taat.

Persaingan usaha boleh, asal sehat dan jujur. Tapi kalo hati udah mulai takut kehilangan rezeki, mungkin itu tanda kita belum sepenuhnya yakin sama Ar-Razzāq.

Rezeki bukan kompetisi antar manusia, tapi bentuk ujian dari Allah ﷻ untuk kita. Apakah kita tetap yakin, bersyukur, dan jujur dalam menjemputnya. Atau malah sebaliknya yang kemudian berujung dosa.

Mari tenangkan hati. Jangan sibuk ngukur rezeki orang lain, tapi sibukkan diri buat memperbaiki amal dan niat. Karena yang bikin usaha tumbuh bukan cuma strategi, tapi keberkahan dari Allah ﷻ.

“Tenanglah, karena tidak ada satu jiwa pun yang akan mati sebelum ia sempurna menerima rezekinya.” (Hadits Riwayat Ibn Majah)

Baca juga: Pentingnya Ketekunan dalam Melakukan Bisnis

Mengaku Bertauhid, Tapi Masih Khawatir Soal Rezeki?

Yuk Mulai Investasi Halal di Nabitu.

Referensi:

Al-Qur’an. Al-karim. Diakses dari: https://quran.com
Abu Dawud, Sulaiman ibn al-Ash‘ath. Sunan Abu Dawud, no. 4903. Riyadh: Darussalam, 2007. Diakses dari: https://sunnah.com/abudawud:4903
Bukhari, Muhammad ibn Ismail & Muslim, Muslim ibn al-Hajjaj. Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Riyadh: Darussalam, 2007. Diakses dari: https://sunnah.com/bukhari:13 dan https://sunnah.com/muslim
Ibn Majah, Muhammad ibn Yazid. Sunan Ibn Majah, no. 2144. Beirut: Dar al-Fikr, 2000. Diakses dari: https://sunnah.com/ibnmajah:2144

Exit mobile version