Menimbun Harta dalam Islam: Antara Perintah dan Larangan

Islam merupakan agama yang komprehensif dan mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tidak terkecuali dalam pengaturan ekonomi. Penelaahan mengenai masalah ekonomi, kemudian akan kita dapati bahwa ekonomi dalam Islam mencakup pembahasan yang menjelaskan bagaimana memperoleh harta kekayaan (barang dan jasa), bagaimana mengelola (mengkonsumsi dan mengembangkan) harta tersebut, serta bagaimana mendistribusikan kekayaan yang ada. Salah satu yang dibahas dari aspek penting ekonomi tersebut adalah tentang menimbun harta. Karena menimbun harta dalam Islam memiliki pengaruh tersendiri baik dalam hal pahala/dosa atupun dalam hal keberlangsungan ekonomi manusia secara umum. Sehingga pembahasan mengenai penimbunan harta dalam ekonomi islam sangat perlu agar umat Muslim mampu menanggulanginya dengan baik. Artikel ini akan membahas tentang menimbun harta dalam Islam, termasuk perintah dan larangan yang terkait.


Sebelum membahas berkaitan dengan menimbun harta, kita mesti pahami bahwa Islam juga mengakui hak individu untuk memiliki harta dengan syarat bahwa harta tersebut diperoleh secara halal dan tidak merugikan orang lain. Islam menekankan bahwa pemilikan harta adalah amanah, dan pemiliknya harus bertanggung jawab atas cara harta tersebut diperoleh dan digunakan. Termasuk digunakan sebagai harta yang disimpan dengan syarat tidak termasuk dalam aktivitas menimbun harta. Karena memang Islam juga mendorong umatnya untuk beramal dan berinfak, entah dalam bentuk berbagi kekayaan dengan orang lain, ataupun menyerahkan harta untuk dikelola sebagai amal kerjasama usaha kepada orang lain.

Selain itu kita juga mesti tahu bahwa hukum menimbun harta itu haram sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Al-Quran Surah At-Tawbah (9:34):

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّ كَثِيرًۭا مِّنَ ٱلۡأَحۡبَارِ وَٱلرُّهۡبَانِ لَيَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡبَـٰطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ‌ۗ وَٱلَّذِينَ يَكۡنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلۡفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ فَبَشِّرۡهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ۬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya banyak di antara ahli-ahli kitab dan rahib-rahib, benar-benar banyak di antara mereka itu yang memakan harta orang dengan jalan yang bathil dan mereka (juga) menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapatkan azab yang pedih.”

Ayat ini menegaskan tentang kelompok orang yang menimbun harta (emas dan perak) tanpa menafkahkan sebagian dari hartanya di jalan Allah. Mereka disebut akan mendapatkan azab yang pedih sehingga dengan ancaman yang tegas tersebutlah menimbun harta dihukumi haram.

Imam Taqiyuddin An Nabhani menafsirkan ayat di atas dengan berkata,”Ketika turun ayat yang melarang menimbun emas dan perak, saat itu emas dan perak adalah alat tukar dan standar untuk menilai pekerjaan dan manfaat pada harta, baik yang tercetak seperti koin dinar dan dirham, maupun yang tidak tercetak seperti emas atau perak batangan. Jadi larangan yang ada lebih tertuju pada emas dan perak sebagai alat tukar.” (1) 

Berdasarkan itu, jelaslah larangan menimbun harta (kanzul maal) tidak hanya berlaku untuk emas dan perak saja, melainkan juga termasuk semua jenis mata uang (an nuquud).(2).

Hanya saja, perlu dipahami yang dimaksud menimbun harta yang diharamkan adalah menyimpan harta tanpa suatu hajat. Adapun jika menyimpan harta karena ada suatu hajat masa depan, hukumnya boleh, asalkan dikeluarkan zakatnya jika sudah memenuhi kriteria nishab dan haul. Menyimpan harta untuk suatu hajat masa depan itu disebut dengan al iddikhaar (menabung, saving), misalnya untuk dijadikan mahar nikah, atau akan digunakan naik haji, atau akan dijadikan modal usaha, dsb. (3)

Sehingga islam menganjurkan agar umatnya mengeluarkan sebagian dari harta mereka sebagai zakat, yang merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang mampu. Karena zakat merupakan salah satu pilar Islam yang bertujuan untuk mengurangi kesenjangan sosial dan membantu mereka yang masuk kedalam bagian dari delapan asnaf dalam masyarakat.


Refrensi

  1. Taqiyuddin An Nabhani, Al Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 251
  2. Taqiyuddin An Nabhani, Al Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 250-251
  3. Taqiyuddin An Nabhani, Al Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 251; Ibrahim Abdul Lathif Al ‘Ubaidi, Al Iddikhaar Masyruu’iyyatuhu wa Tsamaraatuhu, hlm. 18
Exit mobile version