Pandangan seorang Muslim terhadap dunia, terutama dalam konteks kekayaan, mencerminkan prinsip-prinsip fundamental dalam Islam. Pertama-tama, pertimbangan tentang apakah seseorang harus kaya tidak hanya bersifat mutlak. Islam tidak melarang manusia untuk mencari dan mengakumulasi kekayaan. Sebaliknya, Islam mendorong umatnya untuk kuat secara materi maupun spiritual. Seorang Muslim yang kaya dapat memberi manfaat kepada keluarga, masyarakat, dan umat secara luas.
Secara terminologi Arab kekayaan adalah “ghina”. Bahkan, salah satu dari sembilan puluh sembilan nama indah Allah Yang Maha Kuasa adalah “al-Ghaniy”, yang berarti “Yang Memberi dan Yang Tidak Memerlukan Apapun”. Nama lain dari Allah Yang Maha Kuasa adalah “al-mughni”, yang berarti “Yang Memampukan, Yang Memenuhi kebutuhan Makhluk-Nya”. Dalam pencarian dari al-razzaq, yang berarti Yang Memberi Rezeki.
Oleh karena itu, konsep kekayaan dalam Islam berasal dari rezeki dan berkah Allah Yang Maha Kuasa yang adalah pemilik dan penyedia kekayaan kepada makhluk-Nya. Dalam konteks ini, kekayaan dalam Islam meliputi segalanya, tidak hanya berkaitan dengan kepemilikan atau penguasaan atas kekayaan materi, tetapi juga dalam mencapai al-falah (kebahagiaan sempurna). Dalam Islam, yang sama pentingnya dengan mengumpulkan kekayaan adalah bagaimana kekayaan itu digunakan. Sebab, umat Islam percaya bahwa di akhirat, mereka akan dimintai pertanggungjawaban mengenai bagaimana kekayaan mereka digunakan.
Kekayaan umumnya diperoleh melalui kepemilikan dan penguasaan atas aset baik melalui usaha, investasi atau bekerja, yang dalam bahasa Arab disebut “mal”. Makna harfiah dari “mal” adalah condong atau miring – mengacu pada kecondongan manusia untuk memiliki aset. “Mal” bisa berupa ‘ayn (tangible) atau manfa’ah (guna manfaat). Istilah “mal” atau turunannya disebutkan dalam Al-Quran dalam lebih dari 90 ayat.
Para ulama umumnya mendefinisikan kata “mal”, yang dalam penggunaan modern merujuk kepada aset finansial, sebagai “apa pun yang dimiliki manusia berupa emas, atau perak, atau gandum, roti, atau binatang ternak, atau pakaian atau potongan kain, atau senjata atau benda berharga lainnya.”
Muhammad Wohidul Islam merangkum karakteristik “mal” menurut berbagai madzhab hukum Muslim sebagai berikut:
- Harus memiliki nilai komersial.
- Harus dapat dimiliki dan dimiliki.
- Harus dapat disimpan.
- Harus bermanfaat menurut syariah.
- Kepemilikan atas barang tersebut dapat ditugaskan dan dialihkan.
Kepemilikan Sejati Kekayaan
Prinsip utama dalam Islam adalah bahwa Allah Yang Maha Kuasa adalah pemilik mutlak dari segala sesuatu. Manusia tidak memiliki hak mutlak atas kekayaan. Islam memandang kepemilikan atas kekayaan sebagai amanah dari Allah. Manusia hanya memiliki hak manfaat sementara atas kekayaan ini, dan hakikat kepemilikan sejati berada di tangan Allah.
Hal ini ditegaskan dalam Al-Quran, “Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah.” (QS: Taha: 6). Oleh karena itu, manusia lahir ke dunia tanpa kepemilikan materi dan akan meninggalkannya tanpa membawa apa pun. Rasulullah ﷺ bersabda, “Tiga hal mengiringi jenazah: keluarganya, harta bendanya, dan amalannya. Dua di antaranya kembali dan satu tetap bersama dirinya. Keluarganya dan hartanya kembali, hanya amalannya yang tetap bersama dirinya.” (HR: Bukhari Muslim).
Dalam Islam, kekayaan dianggap sebagai alat untuk menguji dan mengukur seberapa baik manusia mematuhi perintah-perintah Allah. Penggunaan yang bijak dan bermanfaat dari kekayaan merupakan tanggung jawab manusia sebagai trustee dan khalifah di bumi yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat.
Referensi:
Al-Quran
Aznan Haasan (2011), Fundamentals of Shariah in Islamic Fianance. Kuala Lumpur: IBFIM
Mohammad Wohidul Islam (1999), “Al-Mal: Property in Islamic Legal Thought”, Arab Law Quarterly, 14:4, pp. 361-368.