Sebentar lagi kita akan memasuki bulan Dzulhijjah atau sering kita sebut dengan bulan haji. Nah, di bulan inilah ada ibadah yang yg diperintahkan Allah, yaitu haji dan kurban. Bagi setiap muslim seyogyanya yang memiliki kelapangan dan kemampuan finansial untuk menunaikan ibadah kurban. Ibadah kurban sendiri merupkan sunnah yang sangat dianjurkan (sunnah muakadah). Sebegitu dianjurkannya dan ancaman bagi orang yang mampu namun tidak melaksanakannya. Sebagaimana sabda nabi Muhamad ﷺ .
Rasulullah ﷺ bersabda, “Siapa yang memiliki kelapangan tapi tidak menyembelih kurban, janganlah mendekati tempat sholat kami.” (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim).
Setiap perintah ibadah tentu mengandung hikmah yang perlu kita gali. Tentunya agar pelaksanaan sebuah ibadah tidak hanya sekadar sebuah ritual saja. Harapannya dengan menggali hikmah di dalamnya kita sebagai seorang hamba mampu menjadikan diri semakin lebih baik dari yang sebelumnya. Lalu, apa sajakah hikmah di balik perintah ibadah haji dan kurban?
Nah, berikut ini 4 hikmah di balik perintah ibadah haji dan kurban.
- Sebagai sarana Habluminallah dan Habluminannas
Sekurang-kurangnya, ada dua hikmah ibadah qurban. Pertama, hikmah Vertikal dan Horizontal. Vertikal, karena ibadah qurban bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan Horizontal, lantaran dengan menyembelih hewan qurban, dagingnya dapat dinikmati oleh orang-orang yang membutuhkan. Dan dari sinilah akan terbentuk solidaritas dan kesetiakawanan sosial.
Kurban sendiri berasal dari kata qaraba yang bermakna mendekatkan atau mengorbankan. Nah, akar kata ini mengandung tujuan untuk melakukan pengorbanan sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah. Namun, ibadah kurban juga memiliki dampak langsung antar sesama manusia.
Dalam masyarakat kita, masih ada orang-orang yang jarang memiliki kesempatan untuk menikmati daging dalam setahun. Melalui qurban, mereka yang mampu dapat berbagi dengan mereka yang kurang beruntung, sehingga terjadi pemerataan dan keadilan sosial. Qurban menjadi sarana nyata untuk mempererat ikatan sosial dan membangun hubungan yang lebih baik antara sesama anggota masyarakat.
- Belajar untuk ikhlas
Dalam ibadah qurban, yang dituntut adalah keikhlasan dan ketakwaan sebagai tujuan utama yang dapat mendapatkan ridha Allah. Daging dan darah yang dihasilkan dari qurban bukanlah sebuah tujuan utamanya, tetapi keikhlasan dalam melaksanakan ibadah tersebut.
Sebagaimana firman Allah di dalam Al-Qur’an, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamu-lah yang dapat mencapainya” (QS. Al Hajj: 37).
Hal yang sama juga berlaku dalam ibadah haji, dimana keikhlasan menjadi fokus utama, bukan mencari gelar atau sanjungan dari orang lain.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad ﷺ “Siapa yang berhaji karena Allah, tidak berbicara secara jorok dan tidak melakukan perbuatan dosa, maka dia akan kembali ke negerinya sebagaimana saat dia dilahirkan oleh ibunya” (HR. Bukhari no. 1521).
Dengan demikian, baik dalam berqurban maupun berhaji, penting untuk menjaga niat yang ikhlas, menghindari pamer amalan dan kekayaan, serta menjauhi sikap riya’. Kedua ibadah tersebut harus dilakukan semata-mata karena Allah, dengan penuh kesadaran akan ketaatan dan rasa takwa kepada-Nya.
- Belajar untuk menjauhi larangan dan mengikuti ketentuan
Di dalam ibadah Haji dan Kurban tentunya terdapat perintah dan larangan yang harus dipenuhi. Terdapat beberapa larangan untuk shohibul qurban atau orang yang akan berkurban ketika sudah memasuki 1 Dzulhijjah hingga hewan kurbannya akan disembelih.
Seperti halnya larangan untuk tidak memotong rambut dan kukunya, sebagaimana hadis berikut ini
Dari Ummu Salamah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Jika kalian telah menyaksikan hilal Dzulhijjah (maksudnya telah memasuki 1 Dzulhijjah,) dan kalian ingin berkurban, maka hendaklah shohibul qurban tidak memotong rambut dan kukunya.” (HR. Muslim no. 1977).
Sebagaimana berkurban, di dalam pelaksanaan haji juga terdapat syarat yang harus dipenuhi. Seperti saat ketika berihram jamaah tidak diperbolehkan untuk menggunakan wewangian, memotong rambut dan kuku, mengenakan baju atau celana yang membentuk tubuh, tidak boleh menutup kepala bagi pria, melakukan hubungan suami-istri dan berburu atau berbicara dengan kata-kata yang buruk.
Sebagaimana sebuah hadis dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ada seseorang yang berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ مِنَ الثِّيَابِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « لاَ يَلْبَسُ الْقُمُصَ وَلاَ الْعَمَائِمَ وَلاَ السَّرَاوِيلاَتِ وَلاَ الْبَرَانِسَ وَلاَ الْخِفَافَ ، إِلاَّ أَحَدٌ لاَ يَجِدُ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ ، وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ ، وَلاَ تَلْبَسُوا مِنَ الثِّيَابِ شَيْئًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ أَوْ وَرْسٌ
“Wahai Rasulullah, bagaimanakah pakaian yang seharusnya dikenakan oleh orang yang sedang berihram (haji atau umrah, -pen)?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh mengenakan kemeja, sorban, celana panjang kopiah dan sepatu, kecuali bagi yang tidak mendapatkan sandal, maka dia boleh mengenakan sepatu. Hendaknya dia potong sepatunya tersebut hingga di bawah kedua mata kakinya. Hendaknya dia tidak memakai pakaian yang diberi za’faran dan wars (sejenis wewangian, -pen).” (HR. Bukhari no. 1542).
Sebagaimana haji, di dalam kurban juga terdapat syarat yang harus dipenuhi seperti di dalam pemilihan hewan kurban. Hewan yang akan dikurbankan haruslah memenuhi kriteria seperti hewan musinnah, untuk kambing minimal 1 tahun dan sapi minimal dua tahun tidak boleh cacat yang membuat tidak sah (buta sebelah, sakit yang jelas, pincang, atau sangat kurus) dan cacat yang dikatakan makruh (seperti robeknya telinga, keringnya air susu, ekor yang terputus).
Sedangkan untuk waktu penyembelihan juga harus sesuai tuntunan dilakukan setelah shalat Idul Adha, tidak boleh sebelumnya. Kemudian dalam penyaluran hasil kurban, jangan sampai ada maksud untuk mencari keuntungan seperti dengan menjual kulit atau memberi upah pada tukang jagal dari sebagian hasil kurban. Jika ketentuan di atas dilanggar di mana ketentuan tersebut merupakan syarat, hewan yang disembelih tidaklah disebut kurban, namun disebut daging biasa.
Al Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah kepada para sahabat pada hari Idul Adha setelah mengerjakan shalat Idul Adha. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَلَّى صَلاَتَنَا وَنَسَكَ نُسُكَنَا فَقَدْ أَصَابَ النُّسُكَ ، وَمَنْ نَسَكَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّهُ قَبْلَ الصَّلاَةِ ، وَلاَ نُسُكَ لَهُ
“Siapa yang shalat seperti shalat kami dan menyembelih kurban seperti kurban kami, maka ia telah mendapatkan pahala kurban. Barangsiapa yang berkurban sebelum shalat Idul Adha, maka itu hanyalah sembelihan yang ada sebelum shalat dan tidak teranggap sebagai kurban.”
Dengan mengetahui beberapa dari hikmah diperintahkannya berhaji dan berkurban semoga kita memiliki keinginan yang kuat untuk melaksanakan ibadah tersebut dengan menyiapkan bekal sebaik mungkin agar memperoleh hikmah, manfaat dan juga ridha dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Referensi:
https://sumut.kemenkumham.go.id/berita-kanwil/berita-utama/hikmah-ibadah-qurban