Selalu Ada Pilihan Untuk Mengatakan Tidak

Beberapa hari lalu, saya sempat merenung tentang kejadian nyata beberapa orang yang menurut standar saya, “lumayan melanggar” karena diarahkan dan diinstruksikan oleh atasannya.

Contoh pertama, beberapa atasan secara simultan menginstruksikan seluruh pegawai untuk memanipulasi data akreditasi. Ini dilakukan karena akreditasi sebelumnya juga sudah terlanjur berasal dari manipulasi data, sehingga kalau akreditasi kali ini dipaksa jujur, nilai akreditasi ini akan turun dan reputasi juga turun.

Sebagai pegawai yang sebaiknya mengikuti instruksi atasan, apa yang akan dilakukan?

Pilihan pertama, “terpaksa” mengikuti aturan atasan. Jika tidak ikut atasan, akan dianggap aneh oleh rekan-rekan sejawat dan juga terancam diasingkan orang-orang sekantor. Konsekuensi terburuk dari diasingkan itu adalah dipecat dan diberhentikan bekerja.

Pilihan kedua, menolak mengikuti aturan atasan dan berlepas diri dari pekerjaan manipulasi itu. Konsekuensinya seperti yang disebutkan sebelumnya, dianggap aneh oleh rekan-rekan sejawat, dimaki atasan dan dibuat agar tidak betah kerja di kantor. Ada pekerjaan sepenting ini bagi reputasi kantor, kok malah kabur. Siap-siap aja dianggap aneh dan bermasalah.

Tapi, bukankah kita punya KEHENDAK BEBAS atas pilihan pertama atau kedua? Tidak ada yang memaksa kita untuk memilih pilihan pertama dan kedua. Jika merasa “terpaksa” oleh atasan dan oleh kondisi, bukankah kita bisa dengan bebas memilih pilihan yang berbeda jika siap dengan konsekuensinya?

Contoh kedua, seorang mentor agama yang menginstruksikan menteenya untuk melakukan “taaruf” dengan seseorang 1-2 tahun sebelumnya dengan beberapa “pendekatan-pendekatan”. Mentor agama ini menyarankan taaruf jauh-jauh hari walaupun sang calon belum siap agar tidak dianggap aneh oleh calon orang tua. Mentor agama ini juga menyarankan agar mentee melakukan pendekatan-pendekatan seperti bertemu sang calon seminggu sekali, sering mengunjungi calon mertua sejak SATU TAHUN SEBELUMNYA sebelum sang calon siap menikah.

Apakah “taaruf” ini layak disebut “taaruf” atau malah mencemari istilah taaruf sebenarnya?

Sebagai mentee yang lebih baik mengikuti mentor, apa yang akan dilakukan? Akan taat terhadap instruksi itu atau menolak mengikutinya?

Pilihan pertama, mengikuti instruksi sang mentor, mulai berkenalan dengan calon jauh-jauh hari dan melakukan pendekatan-pendekatan yang disarankan oleh sang mentor. Mungkin ini dilakukan karena menganggap ketaatan kepada mentor adalah kebaikan (-_-“) atau karena takut dijauhi teman-teman satu jamaah.

Tapi, sebenarnya bukankah kita – jika kita PAHAM dan SADAR bahwa cara taaruf itu tidak sesuai dengan taaruf yang dianjurkan syariat Islam – punya pilihan untuk memilih pilihan lain? Yaitu:

Kita bisa MEMILIH mengatakan TIDAK dengan mengatakan:

“Maaf ustad, saya tidak berani taaruf dengan calon yang belum siap, takut zina hati”.

“Maaf ustad, taaruf yang saya fahami tidak dengan cara seperti ini. Insya Allah, maksimal 6 bulan cukup. Insya Allah, saya akan berusaha memahamkan orang tua dan camer agar proses ini tidak dianggap aneh. Saya akan tahajud tiap malam berdoa agar orang tua dan camer dilunakkan hatinya.”

“Maaf ustad, saya pilih calon lain yang sudah siap saja. Insya Allah, jodoh sudah ditentukan dan jika sudah jodoh dan berikhtiar dengan cara yang baik, akan dimudahkan”

“Maaf ustad, saya takut jadi banyak berharap dan zina hati jika terlalu banyak pendekatan terlalu lama dan intens. Apa bisa menunggu calonnya siap dulu?”



Saya jadi ingat kisah Imam Ahmad, kisah yang menginspirasi dalam menghadapi atasan yang “nyeleneh”. Kisah inilah yang menyadarkan saya bahwa kita harus berani memilih untuk taat pada hal-hal yang tidak bertentangan dengan syariat saja, walaupun konsekuensinya dimaki dan disiksa atasan.

Imam Ahmad menolak instruksi khilafah untuk mengakui bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, namun Imam Ahmad mentaati instruksi khilafah untuk dipenjara dan dicambuk. Imam Ahmad juga menolak menerima pemberian khalifah karena menganggap pemberian khalifah itu syubhat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ

“Tidak ada kewajiban taat dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” (HR. Bukhari no. 7257)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

“Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (HR. Bukhari no. 7144)


Ada banyak contoh lain di mana kita bisa memilih untuk bertahan dengan tidak mengikuti arus. Bertahan untuk tetap mengikuti prinsip-prinsip yang kita pegang apapun konsekuensinya. Walaupun memang, kita juga punya pilihan untuk mengcompromize prinsip itu untuk bisa “diterima oleh arus”.

Saya sadar bahwa tidak bisa memaksakan pilihan-pilihan kita kepada orang lain.

Hanya saja, saya juga baru sadar bahwa jika ada seseorang bawahan yang mengikuti instruksi atasannya yang nyeleneh, maka yang berperan terjadinya hal tersebut ada dua pihak. Yaitu atasan yang memberi instruksi, dan bawahan yang memilih dengan kehendak bebasnya untuk mengikuti instruksi tersebut.

Apapun pilihannya, akan ada hisabnya di sisi Allah SWT….

Wallahu a’lam.


Sumber:

https://islam.nu.or.id/post/read/106733/sikap-terhadap-pemimpin-menurut-ajaran-islam

https://republika.co.id/berita/o0rskl394/kisah-imam-hambali-dipenjara-khalifah

Exit mobile version