Suami Tidak Memberi Nafkah, Wajarkah Istri Menggantikannya?

Fenomena suami yang tidak memberi nafkah penuh, kayaknya semakin sering kita dengar akhir-akhir ini.

Entah dalam bentuk keluhan istri, “Suami saya nggak ngasih nafkah yang cukup,” atau “Saya terpaksa kerja karena kebutuhan rumah belum tercukupi.”

Masalahnya, kondisi seperti ini sekarang seringkali dianggap wajar. 

Muncul juga istilah bagi-bagi tagihan, suami bayar cicilan rumah, istri yang nanggung listrik, air, dan uang sekolah anak, bahkan lebih mengerikannya lagi, semua dibungkus atas nama kerja sama tim atau kesetaraan.

Tapi, kalo kita mau jujur, benarkah ini bentuk kerja sama?
Atau justru tanda ada yang salah, sama peran dan tanggung jawab rumah tangga?

Padahal dalam pandangan Islam, suami tidak memberi nafkah (secara penuh) bukan perkara sepele. Ini bukan cuma soal uang belanja, tapi soal amanah besar yang Allah ﷻ titipkan ke seorang laki-laki sebagai pemimpin (qawwam) keluarga. 

Ketika amanah itu diabaikan, bukan cuma hak istri yang terlanggar, tapi juga tatanan yang Allah ﷻ atur biar rumah tangga berjalan dengan adil dan penuh berkah.

Sayangnya, di zaman sekarang, banyak orang menilai pernikahan dengan kacamata dunia modern yang standarnya, kata orang atau tren kesetaraan yang diimpor dari budaya luar. Padahal, kita punya standar sendiri, yang jauh lebih mulia dan stabil yaitu standar dari Allah ﷻ.

Maka, yuk kita bahas pelan-pelan. Bukan untuk menyalahkan siapa pun, tapi supaya kita bisa melihat masalah ini dengan jernih lewat kacamata syariah, bukan sekedar kacamata dunia.

Nafkah, Kewajiban Mutlak Seorang Suami

Sebelum kita makin larut dalam pembahasan tentang bagi-bagi tagihan, ada baiknya kita kembalikan dulu cara pandang kita tentang nafkah.

Karena dalam Islam, urusan ini bukan sekadar kesepakatan rumah tangga tapi soal amanah besar yang Allah ﷻ tetapkan untuk dijaga. Dan dalam hal tanggung jawab finansial, petunjuknya pun tegas, tanpa ruang abu-abu.

Kewajiban Menafkahi

Islam menetapkan bahwa laki-laki dalam posisi suami adalah qawwam, pemimpin dan penanggung jawab bagi keluarganya. Kedudukan ini juga dibarengi kewajiban menafkahi.

Sebagaimana firman Allah ﷻ

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…”

hingga ayat,

…وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ
“…dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (Qur’an Surah An-Nisa [4]: 34)

Artinya, suami menjadi pemimpin karena ia menafkahi.

Kewajiban memberi nafkah bukan sekadar tugas rumah tangga tapi harga dari kepemimpinan itu sendiri. Dan ini adalah amanah yang tidak bisa digeser dan dialihkan.

Standar Nafkah Itu Kebutuhan Pokok, Bukan Gaya Hidup

Lalu muncul pertanyaan, apa sebenarnya yang dimaksud dengan nafkah itu?
Apakah harus rumah besar, liburan tiap bulan, atau saldo rekening yang selalu aman?

Tentu bukan!

Standar nafkah dalam Islam jelas, mencakup tiga kebutuhan pokok (hajat asasiyah) yaitu sandang, pangan, dan papan yang layak dan sesuai kebiasaan baik di lingkungannya (ma‘ruf).

Nafkah bukan “uang jajan” kalo lagi ada lebihan.
Bukan juga bentuk bantuan yang dikasih kalo lagi ingat.

Tapi kewajiban mutlak yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah ﷻ.

وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma‘ruf.” (Qur’an Surah Al-Baqarah [2]: 233)

Nafkah yang ma‘ruf berarti layak dan pantas, bukan berlebihan tapi juga tidak pelit. Sesuai kemampuan suami, tapi tetap memenuhi hak istri dan anak-anaknya dengan baik.

Ketika Amanah Itu Diabaikan

Nah, disinilah persoalan yang sering muncul, “Gimana kalo suami tidak memberi nafkah penuh dan mengabaikan amanah?”

Kalo Allah ﷻ sudah menetapkan bahwa memberi nafkah itu wajib bagi suami, maka kewajiban sebenarnya ini nggak bisa dilempar ke siapa pun termasuk ke istri.

Ketika suami sengaja tidak memberi nafkah, padahal ia mampu, maka itu bukan cuma soal tidak adil pada istri. Ia sedang melalaikan amanah qawwam-nya dan menanggung dosa di hadapan Allah ﷻ.

Bagi para suami, ini seharusnya jadi bahan renungan serius.

Kadang, kita merasa sudah cukup berkontribusi ketika ikut bantu bayar tagihan listrik, atau merasa baik karena istri juga ikut menanggung biaya rumah tangga.

Padahal, nafkah itu bukan bantuan. Tapi memang bagian dari amanah utama suami sebagai qawwam.

Jadi, fenomena bagi dua tagihan mungkin terlihat modern dan seimbang, tapi sejatinya mencerminkan cara pikir yang melenceng. Karena, rumah tangga bukan partnership bisnis.

Ia adalah amanah ilahi, di mana suami memegang peran sebagai penanggung jawab utama, bukan sekadar rekan berbagi beban.

Baca juga: Ketakwaan sebagai Kunci Terkuat di Tengah Persaingan Bisnis

Racun “Kesetaraan” dan Budaya “Bagi-Bagi Tagihan”

Di sinilah akar krisisnya.

Banyak yang berdalih, “Kan istri juga bekerja, jadi wajar dong bantu-bantu bayar tagihan.”

Kalimat itu terdengar logis di telinga mayoritas, tapi kalo kita tilik dari kacamata syariah, justru di situlah masalahnya.

Fenomena suami tidak memberi nafkah penuh lalu diganti dengan bagi dua tagihan bukan tanda keharmonisan, tapi tanda tergesernya peran dan tanggung jawab suami sebagai qawwam.

Ini lahir dari pola pikir yang keliru, pola pikir yang menilai rumah tangga dengan logika untung rugi ala kapitalisme, bukan dengan standar halal haram yang Allah ﷻ tetapkan.

Ilusi Kesetaraan yang Menggerogoti Keluarga

Paham kesetaraan yang sedang digaungkan dunia modern seringkali tampak indah padahal beracun pelan-pelan. Ia mengajarkan bahwa pria dan wanita harus selalu setara, seolah keduanya harus berlomba di lintasan yang sama.

Padahal, Islam justru memuliakan keduanya dengan peran yang berbeda tapi sama-sama mulia.

Islam tidak bicara setara dalam peran, tapi adil dalam tanggung jawab.

Allah ﷻ memuliakan pria dengan amanah qawwam, pemimpin yang wajib menanggung nafkah. Dan Allah ﷻ memuliakan wanita dengan peran ummun wa rabbatul bayt, ibu sekaligus pengatur rumah tangga yang dibebaskan dari kewajiban nafkah.

Namun, ketika paham kesetaraan ini diadopsi mentah-mentah, banyak hal mulia justru hilang. Peran ibu rumah tangga dianggap tidak produktif, dan wanita dipaksa mengejar standar sukses ala pria.

Akibatnya? Rumah tangga kehilangan keseimbangan, ketentraman, dan tujuan besarnya.

Hasilnya, Peran Tak Maksimal, Tujuan Gagal

Kita bisa lihat dampaknya di sekitar kita. Ketika suami tidak memberi nafkah penuh karena menganggap istri sama-sama wajib berkontribusi, maka yang rusak bukan cuma keuangan keluarga, tapi juga struktur batin di dalamnya.

Suami tidak maksimal sebagai qawwam, karena bebannya ia bagi ke istri. Istri tidak maksimal sebagai rabbah al-bayt, karena tenaganya sudah habis bekerja di luar rumah. Dan anak-anak kehilangan perhatian utama dari sosok yang seharusnya paling dekat dengan mereka.

Rumah yang seharusnya jadi tempat sakinah (ketenangan), justru berubah jadi tempat lelah dan gelisah.

Semua karena satu hal, suami tidak memberi nafkah sebagaimana mestinya, dan istri terpaksa menggantikan amanah yang bukan miliknya.

Harta Istri Tetap 100% Milik Istri

Perlu digarisbawahi, dalam sistem ekonomi Islam, kepemilikan harta itu bersifat individual. Harta yang didapat istri entah dari hasil kerja, warisan, atau hadiah adalah miliknya sepenuhnya.

Suami tidak berhak mengambilnya tanpa keridaan istrinya.

Jika istri dengan ikhlas membantu suaminya, maka itu adalah sadaqah mulia, bukan kewajiban. Tapi hal ini tidak bisa dijadikan alasan bagi suami untuk melempar tanggung jawab nafkahnya.

Suami yang membiarkan istrinya menanggung nafkah tanpa uzur, sama saja sedang menelantarkan amanah qawwam-nya dan bisa berdosa dihadapan Allah ﷻ.

Baca juga: Mengaku Bertauhid, Tapi Masih Khawatir Soal Rezeki?

Langkah Syar‘i Jika Suami Tidak Memberi Nafkah

Lalu bagaimana kalo situasi itu sudah terjadi?
Apakah istri harus diam, menahan sakit hati, dan berpura-pura kuat?

Tentu tidak. Islam memberi jalan keluar yang adil dan terhormat bagi wanita dalam kondisi seperti ini.

Pertama, Komunikasi Untuk Menuntut Hak dengan Ma‘ruf

Langkah pertama adalah menasihati dan menuntut hak dengan cara yang baik (ma‘ruf). Istri berhak mengingatkan suaminya bahwa nafkah bukan hadiah, tapi kewajiban yang Allah ﷻ tetapkan. Ini bukan bentuk pembangkangan, melainkan upaya menegakkan hak yang sah secara syar‘i.

Kedua, Mengambil Tanpa Izin (Jika Suami Kikir)

Jika suami tidak memberi nafkah padahal mampu, maka Islam memberi keringanan bagi istri untuk mengambil secukupnya dari harta suami tanpa izin, hanya untuk kebutuhan yang wajar.

Hal ini pernah terjadi pada zaman Rasulullah ﷺ. Dikisahkan oleh ‘Aisyah raḍiyallāhu ‘anhā:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ، فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ مِسِّيكٌ، فَهَلْ عَلَيَّ حَرَجٌ أَنْ أُطْعِمَ مِنَ الَّذِي لَهُ عِيَالَنَا؟ فَقَالَ لَا حَرَجَ عَلَيْكِ أَنْ تُطْعِمِيهِمْ بِالْمَعْرُوفِ

“Dari ‘Aisyah raḍiyallāhu ‘anhā bahwa Hind binti ‘Utbah bin Rabi‘ah berkata: Wahai Rasulullah ﷺ, sesungguhnya Abu Sufyān adalah seorang yang kikir. Apakah aku berdosa jika mengambil sebagian hartanya untuk memberi makan anak-anak kami? Beliau ﷺ bersabda: ‘Tidak mengapa bagimu memberi mereka makan dengan cara yang ma‘ruf (wajar).’” (Hadis Riwayat al-Bukhari, no. 2460)

Ketiga, Mengadu ke Hakim (Qadhi)

Jika suami benar-benar lalai, tidak mampu, atau bahkan menghilang, dan istri menderita karena tidak dinafkahi, maka Islam membolehkan istri buat ngadu kepada hakim (qadhi).

Hakim berhak memerintahkan suami buat ngasih nafkah, atau jika kondisi tak bisa diperbaiki, memutuskan fasakh (perceraian syar‘i) agar istri tidak terus terzalimi.

Ini adalah hak, bukan aib. Karena islam tidak membiarkan wanita terkatung-katung dalam pernikahan yang tidak tertunaikan hak-haknya.

Baca juga: Ini Cara Mendapatkan Penghasilan Halal di Masa Sulit

Nafkah Tiang Kepemimpinan, Bukan Sekadar Uang

Kalo kita renungkan, nafkah bukan sekadar uang belanja, tapi tiang utama kepemimpinan (qawwamah) seorang suami.

Ketika suami nggak kasih nafkah padahal mampu, maka sesungguhnya ia sedang merobohkan tiang itu sendiri, dan membiarkan rumah tangganya kehilangan arah.

Suami yang lurus pola pikir (aqliyah-nya) akan merasa malu dan takut bila lalai dari amanah ini. Sebab setiap rupiah yang seharusnya ia berikan tapi ia tahan, bisa menjadi beban hisab di hadapan Allah ﷻ.

“Bagi suami, nafkah bukanlah sisa dari uang setelah memenuhi hobi.
Nafkah adalah amanah utama sebelum menuntut hak.”

Semoga Allah ﷻ meneguhkan para suami agar kuat menunaikan amanah nafkah dengan penuh tanggung jawab, dan memberi keteguhan kepada para istri agar cerdas menegakkan haknya dengan cara yang ma‘ruf dan penuh hikmah.

Baca juga: 3 Manfaat Investasi Sejak Muda

Tertarik untuk Mulai Berinvestasi?
Yuk Mulai Investasi Halalmu di Nabitu.

Penulis: Devin Halim Wijaya, B.B.A, M.Sc
Konsultan Syariah Independen

Instagram: @devinhalimwijaya
Linkedin: @devinhalim

Referensi

Al-Qur’an, Al-Karim. Diakses dari: https://quran.com/
Sahih al-Bukhari, Kitab an-Nafaqat, Hadis no. 2460. Diakses dari: https://sunnah.com/bukhari:2460
An-Nabhani, Taqiyuddin. Sistem Pergaulan Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Fikrul Islam
An-Nabhani, Taqiyuddin. Sistem Ekonomi Islam (Nidhomul Iqtishod fil Islam). Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002
An-Nabhani, Taqiyuddin. Syakhsiyah Islamiyah Jilid 1. Jakarta: Pustaka Fikrul Islam

Exit mobile version