1. Al-Quran
Secara etimologis, kata “al-Qur’an” berasal dari bentuk isim masdar dari kata “qa-raa” yang berarti membaca, sehingga “qur-a-nan” berarti sesuatu yang dibaca. Menurut Imam Abu Hasan Ali bin Hazim, penambahan huruf alif dan lam (al) di awal kata menunjukkan kekhususan pada sesuatu yang dibaca, yaitu bacaan yang diyakini sebagai wahyu Allah ﷻ. Penambahan huruf alif dan nun di akhir kata menunjukkan makna bacaan yang paling sempurna. Kekhususan dan kesempurnaan bacaan ini didasarkan pada firman Allah ﷻ dalam QS. al-Qiyamah/75: 17-18 dan QS. Fushshilat/41: 3.
Para ahli al-Qur’an memberikan beberapa definisi mengenai kitab suci ini:
- Definisi Umum: Al-Qur’an adalah firman Allah ﷻ yang mengandung mukjizat, diturunkan kepada nabi dan rasul terakhir, Nabi Muhammad ﷺ, melalui perantaraan Malaikat Jibril AS. Firman ini tertulis dalam mushaf dan sampai kepada kita secara mutawatir (bersambung).
- Menurut Muhammad Musthofa al-Salabi: Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk memberikan petunjuk kepada umat manusia, menjelaskan jalan yang benar yang harus diikuti. Kitab ini dibawa oleh Malaikat Jibril AS dengan lafaz dan maknanya.
- Menurut Khudhari Beik: Al-Qur’an adalah firman Allah ﷻ dalam bahasa Arab, diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk dipahami dan diingat selalu. Firman ini disampaikan secara mutawatir (bersambung) dan ditulis dalam satu mushaf yang dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Naas.
- Menurut Ulama Ushul: Al-Qur’an adalah kalam Allah ﷻ yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Jika bukan kalam Allah dan tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, maka tidak disebut Al-Qur’an, melainkan Zabur, Taurat, atau Injil. Bukti bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah ﷻ terletak pada kemukjizatannya, baik dari segi struktur bahasa, isyarat-isyarat ilmiah, maupun informasi masa depan yang dapat dibuktikan secara ilmiah.
Kedudukan Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Islam
Al-Qur’an adalah sumber hukum utama dan pertama dalam Islam, mendahului semua sumber hukum lainnya. Sebagai undang-undang dasar tertinggi bagi umat Islam, semua hukum dan sumber hukum harus selaras dengan Al-Qur’an. Hal ini didasarkan pada firman Allah ﷻ dalam QS. al-Nisa/4: 59.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat). An-Nisā’ [4]:59
Kedudukan ini diperkuat oleh dialog Nabi Muhammad ﷺ dengan Mu’az bin Jabal ketika diutus ke Yaman. Sebagian besar hukum dalam Al-Qur’an bersifat umum (kulli) dan tidak membahas detail-detail kecil (juz’i), sehingga memerlukan penjelasan lebih lanjut. Hadis berperan sebagai penjelasan utama bagi Al-Qur’an. Al-Qur’an memuat prinsip-prinsip dasar yang mencakup semua aspek kehidupan dunia dan akhirat. Syari’at Islam dianggap sempurna dengan turunnya Al-Qur’an, sebagaimana dinyatakan dalam QS. al-Maidah/5: 3.
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ فَمَنِ اضْطُرَّ فِيْ مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّاِثْمٍۙ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. Maka, siapa yang terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Al-Mā’idah [5]:3
Hukum-hukum mengenai salat, zakat, jihad, dan ibadah lainnya dalam Al-Qur’an bersifat umum, dan penjelasannya terdapat dalam hadis. Begitu pula dengan urusan muamalat seperti pernikahan, qisas, hudud, dan lainnya.
Menurut Imam Ghazali, terdapat sekitar 500 ayat dalam Al-Qur’an yang berisi hukum, terbagi menjadi dua jenis: ayat yang bersifat global (ijmali) dan ayat yang bersifat detail (tafsili). Ayat-ayat ini dikenal sebagai ayat al-ahkam. Dasar bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum utama dan pertama dalam Islam ditegaskan dalam QS. al-Maidah/5: 49.
وَاَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ اَنْ يَّفْتِنُوْكَ عَنْۢ بَعْضِ مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ اِلَيْكَۗ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ اَنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ اَنْ يُّصِيْبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوْبِهِمْ ۗوَاِنَّ كَثِيْرًا مِّنَ النَّاسِ لَفٰسِقُوْنَ
Hendaklah engkau memutuskan (urusan) di antara mereka menurut aturan yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Waspadailah mereka agar mereka tidak dapat memperdayakan engkau untuk meninggalkan sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Sesungguhnya banyak dari manusia adalah orang-orang yang fasik. Al-Mā’idah [5]:49
Prinsip-prinsip Al-Qur’an dalam Penetapan Hukum Islam
Al-Qur’an menetapkan hukum dengan beberapa prinsip dasar yang bertujuan untuk memudahkan kehidupan umat Islam dan memastikan penerapan hukum yang adil dan bijaksana.
- Tidak Menyulitkan atau Memberatkan (‘Adam al-Harj)
Salah satu prinsip utama dalam penetapan hukum Islam adalah tidak menyulitkan atau memberatkan umat. Hukum-hukum yang ditetapkan dalam Al-Qur’an dirancang untuk memudahkan kehidupan umat, bukan untuk membuatnya sulit. Prinsip ini tercermin dalam berbagai ayat yang menekankan kemudahan dan keringanan dalam menjalankan ajaran Islam. Allah Sﷻ berfirman:
يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Al-Baqarah [2]:185
- Menyedikitkan Beban (Taqlil al-Takalif)
Prinsip ini menekankan pengurangan beban kewajiban bagi umat Islam. Hukum-hukum yang ditetapkan oleh Al-Qur’an dirancang untuk tidak membebani umat dengan kewajiban yang berlebihan. Allah ﷻ berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَسْـَٔلُوْا عَنْ اَشْيَاۤءَ اِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu (niscaya) menyusahkan kamu. Al-Mā’idah [5]:101
Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa umat dapat menjalankan ajaran Islam dengan mudah dan tanpa merasa terbebani oleh tuntutan yang berlebihan.
- Bertahap dalam Pelaksanaan (al-Tadrij fi al-Tasyri’)
Al-Qur’an menerapkan hukum secara bertahap untuk memudahkan penerimaan dan pelaksanaannya oleh umat. Contoh penerapan prinsip ini adalah pengharaman khamar (minuman keras) yang dilakukan dalam tiga tahap:
- Menjelaskan bahwa manfaat khamar lebih kecil dibandingkan dengan akibat buruknya. Allah ﷻ berfirman:
يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِۗ قُلْ فِيْهِمَآ اِثْمٌ كَبِيْرٌ وَّمَنَافِعُ لِلنَّاسِۖ وَاِثْمُهُمَآ اَكْبَرُ مِنْ نَّفْعِهِمَاۗ وَيَسْـَٔلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ ەۗ قُلِ الْعَفْوَۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَۙ
Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. (Akan tetapi,) dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.” Mereka (juga) bertanya kepadamu (tentang) apa yang mereka infakkan. Katakanlah, “(Yang diinfakkan adalah) kelebihan (dari apa yang diperlukan).” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu berpikir Al-Baqarah [2]:219
- Melarang orang yang sedang mabuk untuk melaksanakan salat. ﷻ berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكٰرٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mendekati salat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sampai kamu sadar akan apa yang kamu ucapkan. An-Nisā’ [4]:43
- Menegaskan hukum haram terhadap khamar dan perbuatan buruk lainnya. Allah ﷻ berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung. Al-Mā’idah [5]:90
Prinsip bertahap ini menunjukkan kebijaksanaan dalam penetapan hukum, sehingga umat dapat beradaptasi dengan perubahan secara perlahan dan tidak merasa terbebani dengan perubahan yang mendadak.
Kandungan Hukum dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an mengandung berbagai hukum yang mengatur kehidupan umat Islam, baik dalam hubungannya dengan Allah ﷻ maupun dengan sesama manusia. Hukum-hukum ini dibagi menjadi dua kategori utama: hukum yang mengatur ibadah dan hukum yang mengatur muamalah.
- Hukum-hukum yang Mengatur Hubungan Manusia dengan Allah ﷻ (Ibadah)
Hukum-hukum ini mengatur berbagai bentuk ibadah yang dibagi menjadi tiga kategori:
- Ibadah Murni: Ibadah yang dilakukan secara langsung kepada Allah ﷻ, seperti salat dan puasa. Ibadah ini merupakan bentuk pengabdian dan ketaatan yang murni kepada Allah ﷻ.
- Ibadah yang Melibatkan Harta: Ibadah yang melibatkan harta benda, seperti zakat. Zakat tidak hanya berfungsi sebagai bentuk ibadah, tetapi juga sebagai mekanisme sosial untuk membantu masyarakat yang membutuhkan.
- Ibadah Fisik yang Melibatkan Masyarakat: Ibadah yang melibatkan aktivitas fisik dan interaksi dengan masyarakat, seperti haji. Haji merupakan ibadah yang melibatkan perjalanan ke Tanah Suci dan berinteraksi dengan umat Islam dari seluruh dunia.
Ketiga jenis ibadah ini dianggap sebagai pilar utama Islam setelah iman. Hukum-hukum dan peraturan terkait ibadah bersifat tetap dan tidak berubah, menunjukkan pentingnya ibadah dalam kehidupan seorang Muslim.
- Hukum-hukum yang Mengatur Hubungan Antar Manusia (Muamalah)
Hukum-hukum ini mengatur interaksi sosial dan dibagi menjadi empat kategori:
- Jihad: Hukum yang berhubungan dengan perjuangan di jalan Allah ﷻ. Jihad mencakup berbagai bentuk perjuangan, baik fisik maupun non-fisik, untuk menegakkan ajaran Islam.
- Keluarga: Hukum yang mengatur pernikahan, perceraian, keturunan, pembagian warisan, dan lain-lain. Hukum keluarga bertujuan untuk menjaga keharmonisan dan kesejahteraan dalam keluarga.
- Ekonomi: Hukum yang mengatur jual-beli, sewa-menyewa, perburuhan, dan transaksi lainnya. Bagian ini juga disebut muamalah dalam arti sempit. Hukum ekonomi bertujuan untuk memastikan keadilan dan kesejahteraan dalam transaksi ekonomi.
- Pidana: Hukum yang mengatur hukuman terhadap kejahatan, seperti qisas (pembalasan), hudud (hukuman tetap), dan lain-lain. Bagian ini disebut jinayat (hukum pidana). Hukum pidana bertujuan untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat.
Hukum-hukum dan peraturan yang berhubungan dengan masyarakat (muamalah) dapat dirumuskan melalui pemikiran yang didasarkan pada kemaslahatan dan kemanfaatan, yang merupakan inti dari ajaran agama. Berdasarkan prinsip kemaslahatan dan kemanfaatan ini, hukum-hukum dapat disesuaikan dengan kondisi tempat dan waktu, menunjukkan fleksibilitas dan relevansi hukum Islam dalam berbagai situasi.
Metode-metode Al-Qur’an dalam Menyampaikan Hukum
Al-Qur’an, sebagai kitab suci umat Islam, memiliki metode yang unik dan beragam dalam menyampaikan hukum-hukumnya. Metode-metode ini dirancang untuk memastikan bahwa pesan-pesan ilahi dapat dipahami dan diterapkan oleh umat manusia dengan jelas dan efektif.
- Hukum Normatif yang Turun Tanpa Sebab dan yang Diawali Pertanyaan
Dalam muqaddimah kitab Fiqih Shalat karya Ibnu Qayyim al-Jauzi (2011), Syekh Muhammad Syaltut menjelaskan bahwa terdapat dua metode utama dalam menjelaskan hukum-hukum yang termaktub di dalam Al-Qur’an.
- Pertama, mayoritas ayat Al-Qur’an berisi tentang tuntunan perintah dan larangan yang redaksinya tidak diawali dengan pertanyaan. Bentuknya terkadang diawali dengan seruan yang menyebut ciri-ciri keimanan. Tujuannya adalah untuk membuat mereka mendengar seruan itu, lalu mengajak mereka untuk beramal dan menjalankan hukum-hukum yang telah ditetapkan sebagai konsekuensi dari keimanan. Contohnya adalah QS. al-Baqarah/2: 178 yang berbicara tentang hukum qisas. Allah ﷻ berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِى الْقَتْلٰىۗ
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu (melaksanakan) kisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Al-Baqarah [2]:178
- Kedua, ayat-ayat yang diawali dengan pertanyaan. Ayat-ayat ini turun sebagai jawaban terhadap pertanyaan seseorang. Pertanyaan tersebut bisa muncul karena masalah yang sebelumnya belum pernah dijelaskan, di mana orang-orang membutuhkan penjelasan hukum Allah ﷻ dan bertanya kepada Rasulullah. Atau, ayat-ayat ini bisa turun sebagai jawaban atas masalah yang sebelumnya pernah dijelaskan, tetapi terdapat perbedaan pemahaman di kalangan manusia sehingga dibutuhkan penjelasan lebih detail. Contohnya adalah QS. al-Baqarah/2: 186 yang menjawab pertanyaan tentang kedekatan Allah dengan hamba-Nya. Allah ﷻ berfirman:
وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ
Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Al-Baqarah [2]:186
- Hukum Al-Qur’an Secara Global dan Secara Terperinci
Al-Qur’an dalam menyampaikan dan menjelaskan hukum-hukum syarak menempuh dua cara:
- Ketentuan-ketentuan hukum dalam Al-Qur’an sebagian besarnya disampaikan dalam bentuk prinsip-prinsip dasar, prinsip-prinsip umum, dan bersifat global. Misalnya, perintah untuk berbuat adil dan menjauhi kezaliman.
- Dalam beberapa hal, Al-Qur’an menyampaikan dan menjelaskan hukum secara detail. Contohnya adalah hukum kafarat dan hukum keluarga serta beberapa aspek dalam hukum pidana.
Menurut Muhammad Abu Zahrah, dari segi terperinci atau tidaknya ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an, dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Ibadah
Ayat-ayat hukum mengenai ibadah dikemukakan dalam Al-Qur’an dalam bentuk mujmal (global) tanpa memerinci tata cara melakukannya (kaifiat), seperti perintah shalat, zakat, haji, dan puasa. Kewajiban shalat ditegaskan, namun syarat dan rukunnya tidak disinggung sama sekali. Demikian pula halnya dengan haji, zakat, dan puasa. Dalam hal ini, penjelasan lebih lanjut dilimpahkan oleh Allah ﷻ kepada Nabi Muhammad ﷺ melalui sunahnya.
- Kafarat (Denda)
Kafarat adalah semacam denda yang bermakna ibadah, karena merupakan penghapus bagi sebagian dosa. Ada tiga bentuk kafarat yang disinggung dalam Al-Qur’an, yaitu:
- Kafarat Zihar: Zihar adalah ucapan seorang suami kepada istrinya: “Engkau bagiku bagaikan punggung ibuku.” Istri yang sudah di-zihar tidak boleh digauli oleh suaminya kecuali setelah membayar kafarat, yaitu memerdekakan seorang hamba sahaya, dan jika tidak didapati, maka wajib puasa dua bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu, maka dengan memberi makan 60 orang miskin.
- Kafarat karena Melanggar Sumpah: Kafarat karena melanggar sumpah yaitu memberi makan atau pakaian kepada 10 orang fakir miskin, atau memerdekakan seorang hamba sahaya, dan jika tidak didapati maka puasa tiga hari.
- Kafarat karena Membunuh Orang Mukmin: Kafarat seseorang yang membunuh orang mukmin karena tidak sengaja, di samping wajib membayar diat (denda), ia juga wajib membayar kafarat dengan memerdekakan seorang hamba sahaya (budak) yang beriman, dan jika tidak didapati, maka ia berpuasa dua bulan berturut-turut.
Tiga bentuk kafarat di atas dijelaskan secara terperinci dalam Al-Qur’an, dan kemungkinan adanya ijtihad hanya pada segi-segi yang belum dijelaskan dan belum diperinci dalam Al-Qur’an dan sunah.
- Hukum Muamalat
Dalam bidang muamalat, Al-Qur’an hanya menjelaskan prinsip-prinsip dasar. Misalnya, larangan memakan harta orang lain secara tidak sah dan keharusan adanya rela sama rela dalam transaksi, seperti dijelaskan dalam QS. al-Nisa/4: 29. Allah ﷻ berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil (tidak benar), kecuali berupa perniagaan atas dasar suka sama suka di antara kamu. Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. An-Nisā’ [4]:29
Prinsip-prinsip ini memberikan landasan etis dan moral dalam berinteraksi sosial dan ekonomi.
- Hukum Keluarga
Hukum keluarga mencakup bidang-bidang rumah tangga dan mawaris (warisan). Dalam hal ini, Al-Qur’an berbicara relatif lebih terperinci dibandingkan dengan bidang-bidang lainnya. Secara detail, Al-Qur’an menjelaskan hukum pernikahan, termasuk wanita yang haram dinikahi, seperti diungkap dalam QS. al-Nisa/4: 23. Allah ﷻ berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنٰتُ الْاَخِ وَبَنٰتُ الْاُخْتِ وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْٓ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَاُمَّهٰتُ نِسَاۤىِٕكُمْ وَرَبَاۤىِٕبُكُمُ الّٰتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مِّنْ نِّسَاۤىِٕكُمُ الّٰتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّۖ فَاِنْ لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ ۖ وَحَلَاۤىِٕلُ اَبْنَاۤىِٕكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ اَصْلَابِكُمْۙ وَاَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْاُخْتَيْنِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا ۔
Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu istri-istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu151) dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), tidak berdosa bagimu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan pula) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. An-Nisā’ [4]:23
Penjelasan yang lebih rinci ini menunjukkan pentingnya menjaga keharmonisan dan keadilan dalam hubungan keluarga.
Hukum Qath’i dan Zanni dalam Al-Qur’an
Semua nash (teks) dalam Al-Qur’an bersifat qath’i (pasti) dari segi kehadiran, ketetapan, dan periwayatannya dari Rasulullah ﷺ kepada kita. Artinya, kita yakin bahwa setiap nash Al-Qur’an yang kita baca adalah nash asli yang diturunkan oleh Allah ﷻ kepada Rasul-Nya. Rasulullah ﷺ, yang maksum (terjaga dari kesalahan), menyampaikan nash tersebut kepada umatnya tanpa ada perubahan atau penggantian. Ketika surat atau ayat turun, Rasulullah ﷺ menyampaikannya kepada para sahabat, yang kemudian menulisnya dan menghafalnya untuk dibaca dalam salat dan ibadah lainnya.
Namun, hukum-hukum dalam Al-Qur’an ada yang bersifat qath’i (pasti) dan ada yang bersifat zanni (dugaan). Dari segi dalalah (penunjukan) terhadap hukum-hukum yang dikandungnya, nash-nash Al-Qur’an terbagi menjadi dua bagian:
- Nash yang Qath’i Dalalahnya terhadap Hukumnya
Nash ini memiliki penunjukan yang pasti terhadap hukumnya, sehingga tidak ada keraguan dalam memahami dan menerapkannya. Contohnya adalah firman Allah ﷻ dalam QS. al-Nisa/4: 12 yang menyatakan bahwa bagian suami (bila ditinggal mati istri) adalah seperdua atau separuh. Allah ﷻ berfirman:
۞ وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ اَزْوَاجُكُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهُنَّ وَلَدٌ ۚ
Bagimu (para suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. An-Nisā’ [4]:12
Ayat ini adalah qath’i dalalahnya bahwa bagian suami (bila ditinggal mati istri) adalah seperdua atau separuh, tidak bisa lainnya (yakni yang lain dari seperdua) atau dipahami dengan versi lain. Firman Allah dalam QS. al-Nur/24: 2.
اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖوَّلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۚ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَاۤىِٕفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (melaksanakan) agama (hukum) Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman atas mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang mukmin. An-Nūr [24]:2
Kata “seratus kali” tidak mengandung kemungkinan takwil atau pemahaman lain. Dengan demikian, ayat ini bersifat qath’i al-dalalah maksudnya bahwa had zina itu seratus kali dera, tidak lebih, dan tidak kurang.
- Nash yang Zanni Dalalahnya terhadap Hukumnya
Nash ini memiliki penunjukan yang tidak pasti, sehingga memungkinkan adanya interpretasi yang berbeda. Misalnya, Allah ﷻ berfirman:
وَالْمُطَلَّقٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلٰثَةَ قُرُوْۤءٍۗ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ اَنْ يَّكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللّٰهُ فِيْٓ اَرْحَامِهِنَّ اِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ وَبُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِيْ ذٰلِكَ اِنْ اَرَادُوْٓا اِصْلَاحًا ۗوَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ ࣖ
Para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali qurū’ (suci atau haid). Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari Akhir. Suami-suami mereka lebih berhak untuk kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan. Mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Akan tetapi, para suami mempunyai kelebihan atas mereka. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Al-Baqarah [2]:228
Lafaz quru’ dalam bahasa Arab adalah musytarak (satu kata memiliki dua arti atau lebih), bisa berarti bersih (suci) atau kotor (masa haid). Karena adanya kemungkinan ini, ayat tersebut tidak dikatakan qath’i dan memungkinkan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama.
- Kontekstualisasi Nilai-Nilai Moderasi Beragama dalam Materi Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum
Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam yang pertama dan utama, mengandung ajaran-ajaran yang universal dan komprehensif. Selain itu, Al-Qur’an juga memuat ajaran-ajaran yang fundamental dan temporal. Ayat-ayat hukumnya ada yang bersifat konstan dan ada pula yang multi tafsir. Al-Qur’an mengandung banyak prinsip penting seperti keadilan, persamaan, toleransi, dan kebebasan.
Dari berbagai karakteristik Al-Qur’an yang disebutkan di atas, sangat jelas bahwa Al-Qur’an kaya akan nilai-nilai moderasi beragama. Bahkan, QS. al-Baqarah ayat 143 dengan tegas menyatakan bahwa umat Islam adalah umat yang moderat (ummatan wasathan). Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang mengajarkan keseimbangan atau moderasi. Dengan mematuhi dan melaksanakan ajaran-ajaran Al-Qur’an, seseorang akan menjadi pribadi yang moderat. Pengakuan terhadap kearifan lokal dan ketaatan kepada kesepakatan-kesepakatan bersama dalam sebuah negara merupakan prinsip-prinsip moderasi beragama yang banyak ditekankan dalam Al-Qur’an.
Referensi:
- Khallaf, Abd. Wahhab. Ilm Ushul Fiqh. Maktabat a-Dawat al-Islamiyyah
- Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Departemen Agama RI. Pengantar Ilmu Fiqh (Pengantar Ilmu Hukum Islam).
- Zahrah, Muhammad Abu. Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr al-Arabiy Zaydan, Abd al-Karim. Al-Madkhal li Dirasat al-Syari’ah al-Islamiyyah. Beyrut: Muassasat al-Risalah, 2003 M/1424 H.
- https://bangkitmedia.com/ngaji-ushul-fiqh-10-ijma-sebagai-sumber-hukum-ketiga/
- https://almanhaj.or.id/2263-pengertian-as-sunnah-menurut-syariat.html
- Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jaklarta, Logos.