Tahun Kesedihan dan Isra’ Mi’raj Nabi SAW

Takdir bagi manusia telah ditetapkan 50.000 tahun sebelum alam semesta, manusia, dan kehidupan diciptakan. Termasuk salah satunya berupa ajal seorang manusia juga telah ditetapkan kapan dan dimana saja. Hanya saja tak seorang pun yang tahu kapan serta dimana ajal akan terjadi. Tapi yang jelas bahwa ajal itu pasti akan terjadi.

Ketika berbicara mengenai ajal, pada tahun ke-10 masa kenabian Muhammad SAW merupakan masa yang disebut sebagai tahun kesedihan baginda Nabi SAW. Disebut sebagai tahun kesedihan karena orang-orang spesial di sisi Nabi SAW menemui ajalnya di tahun itu. Betapa tidak sedih, di tahun itu Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam kehilangan sosok pelindung secara politik yakni Paman beliau Abu Thalib yang semasa hidupnya menjadi pembela dan penjaga dakwah Nabi.

Akan tetapi yang lebih menyedihkan adalah tatkala Nabi mendengar kabar bahwa pamannya Abu Thalib sedang mengalami sakaratul maut, maka ia bergegas menuju ke rumah pamannya dengan maksud ingin mengislamkan dengan kalimat syahadat. Akan tetapi hal itu tidak pernah terjadi disebabkan karena disamping pamannya telah hadir Abu Jahal bersama Abdullah Ibnu Umayyah sehingga terhalanglah niat itu.

Mengapa hal tersebut tidak terjadi? Sebuah pendapat mengatakan bahwa Abu Thalib tidak bersyahadat di hadapan Nabi oleh karena ia malu didengar oleh Abu Jahal dan Abdullah Ibnu Umayyah, namun demikian Nabi tetap berdoa akan memintakan ampun kepada Allah selama hal itu tidak dilarang.

Doa itu menandakan kecintaan dan rasa hormat yang tinggi yang dilakukan oleh Nabi saw, walau setelah itu turunlah ayat dalam Surat At Taubah ayat 113 yang menjelaskan tentang sikapnya memintakan ampun kepada Allah bahwa tidaklah layak seorang Nabi dan kaum muslimin memintakan ampun orang kafir walaupun itu adalah kerabat terdekatnya setelah turunnya pembenaran agama.

Kemudian tidak berselang lama kemudian kesedihan tersebut bertambah lagi dengan kembalinya istri tercintanya yakni Sitti Khadijah ke hadirat Allah Swt yang selama ini telah mendampingi dan berkorban dengan seluruh hartanya untuk dakwah islam. Kewafatan istri Nabi ini terjadi di bulan Ramadhan yang menjadi penyebab dikatakannya sebagai tahun kesedihan bagi Nabi.

Setelah kejadian-kejadian diatas tadi kemudian beliau mencari perlindungan ke luar Makkah yang salah satunya ke Thaif yang ternyata mereka justru mengarahkan anak-anak untuk meneriaki beliau sebagai orang gila sembari melempari beliau dengan batu. Dengan adanya serangan anak-anak itu beliau hingga harus berlari dari Thaif dengan sandal penuh darah. Dan itu menjadi tahun yang sangat menyedihkan.

Hanya saja kira-kira satu setengah tahun kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mendapatkan hadiah yang sangat spesial dari Allah Ta’ala berupa Isra dan Mikraj yang menjadi pelipur lara bagi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Secara umum, kisah yang menakjubkan itu disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam Al-Qur`an.

Allah berfirman:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Al-Isra` : 1)

Juga dalam firman-Nya:

وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى. مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى. وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى. عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى. ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَى. وَهُوَ بِالْأُفُقِ الْأَعْلَى. ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّى. فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَى. فَأَوْحَى إِلَى عَبْدِهِ مَا أَوْحَى. مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَى. أَفَتُمَارُونَهُ عَلَى مَا يَرَى. وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى. عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى. عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى. إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى. مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى. لَقَدْ رَأَى مِنْ ءَايَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى

“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar” (QS. An-Najm : 1-18).

Referensi:

Sirah Nabawiyah
https://tafsirq.com/17-al-isra/ayat-1
http://www.tafsir.web.id/2013/04/tafsir-najm-ayat-1-18.html

Exit mobile version