Hukum Mudharib Mengambil Keuntungan Sebelum Perhitungan Final

Mudharabah adalah salah satu bentuk kerjasama dalam sistem ekonomi Islam yang melibatkan dua pihak utama: pemilik modal (shahibul maal) dan pelaksana usaha (mudharib). Pemilik modal menyediakan dana, sementara mudharib menjalankan usaha dengan modal tersebut. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan awal, sedangkan kerugian menjadi tanggung jawab shahibul maal, kecuali jika kerugian tersebut disebabkan oleh kelalaian atau kecurangan dari pihak mudharib. Dalam praktiknya, muncul pertanyaan terkait apakah seorang mudharib boleh mengambil bagian dari keuntungan sebelum perhitungan akhir. Artikel ini akan membahas hukum terkait tindakan tersebut serta batasan-batasan syar’i yang harus diperhatikan dalam mudharabah.

Mekanisme Mudharabah dalam Islam

Dalam akad mudharabah, shahibul maal menyerahkan modal kepada mudharib untuk dikelola. Mudharabah biasanya dilakukan dengan syarat-syarat tertentu yang telah disepakati di awal, termasuk persentase pembagian keuntungan. Pada dasarnya, mudharabah bertujuan untuk memperoleh keuntungan melalui pengelolaan modal secara optimal oleh mudharib. Keuntungan yang diperoleh kemudian dibagi berdasarkan nisbah atau rasio yang disepakati, misalnya 60:40 atau 70:30.

Namun, muncul persoalan saat seorang mudharib ingin mengambil bagiannya dari keuntungan sebelum seluruh hasil usaha diperhitungkan. Hal ini perlu diperhatikan dengan baik agar tidak terjadi pelanggaran prinsip-prinsip syar’i yang mengatur akad mudharabah.

Baca juga:Bagi Hasil Mudharabah & Musyarakah: Bolehkah Meski Usaha Merugi?

Hukum Pengambilan Keuntungan oleh Mudharib Sebelum Perhitungan Final

Para ulama dan lembaga fatwa memiliki pandangan yang sama mengenai pentingnya menjaga keadilan dalam akad mudharabah. Secara umum, seorang mudharib tidak diperbolehkan mengambil bagian dari keuntungan sebelum dilakukan perhitungan akhir, karena status keuntungan belum pasti dan bisa saja berubah seiring berjalannya waktu hingga usaha selesai. Dengan demikian, keuntungan baru dianggap pasti setelah seluruh pengeluaran dan kewajiban usaha dipenuhi.

Namun, ada pengecualian tertentu yang bisa diberikan, terutama jika terdapat kesepakatan antara shahibul maal dan mudharib yang memungkinkan mudharib untuk mengambil keuntungan di muka. Misalnya, kesepakatan bahwa mudharib dapat menggunakan sebagian dari keuntungan untuk menutup biaya operasional atau biaya hidupnya. Kesepakatan semacam ini harus tertuang dalam akad secara jelas dan disetujui oleh kedua belah pihak agar tidak terjadi sengketa di kemudian hari.

Baca juga:Panduan Praktis: Cara Pembagian Profit dalam Akad Mudharabah dari Laporan Laba Rugi

Penjelasan dari Ma’ayir Syar’iyah Terkait Mudharabah

Mengacu pada Ma’ayir Syar’iyah atau standar syariah yang diterbitkan oleh Dewan Pengawas dan Akuntansi Syariah, terdapat beberapa ketentuan penting mengenai pembagian keuntungan dalam mudharabah. Salah satu prinsipnya tercantum dalam poin 8/7:

“لا ربح في المضاربة إلا بعد سلامة رأس المال، ومتى حصلت خسارة في عمليات المضاربة جبرت من أرباح العمليات الأخرى. فالخسارة السابقة يجبرها الربح اللاحق، والعبرة بجملة نتائج الأعمال عند التصفية.”

Artinya, keuntungan dalam mudharabah hanya bisa diambil setelah modal pokok yang diinvestasikan dalam usaha tersebut aman dan tidak berkurang. Jika terjadi kerugian dalam kegiatan mudharabah, maka kerugian tersebut harus ditutupi terlebih dahulu dari keuntungan di masa mendatang sebelum keuntungan bisa dibagikan. Dengan kata lain, kerugian yang terjadi harus diganti dengan keuntungan berikutnya, dan yang menjadi acuan adalah keseluruhan hasil usaha saat dilakukan likuidasi.

Selanjutnya, dalam poin ini juga dijelaskan:

“فإذا كانت الخسارة عند تصفية العمليات أكثر من الربح؛ يحسم رصيد الخسارة من رأس المال، ولا يتحمل المضارب منه شيئًا، باعتباره أمينا، ما لم يثبت التعدي أو التقصير، وإذا كانت المصروفات على قدر الإيرادات يتسلم رب المال رأس ماله، وليس للمضارب شيء. ومتى تحقق ربح، فإنه يوزع بين الطرفين وفق الاتفاق بينهما.”

Ini berarti bahwa jika saat likuidasi kerugian lebih besar dari keuntungan, kerugian tersebut akan dipotong dari modal pokok, dan mudharib tidak bertanggung jawab atas kerugian tersebut, kecuali jika terbukti melakukan pelanggaran atau kelalaian. Karena posisinya sebagai seorang amanah, mudharib hanya bertanggung jawab jika ada bukti atas tindakan kelalaian atau penyalahgunaan. Apabila pengeluaran usaha sama besar dengan pendapatan, maka pemilik modal hanya akan menerima kembali modal pokoknya, dan mudharib tidak mendapatkan bagian apa pun. Namun, jika ada keuntungan setelah likuidasi, maka keuntungan tersebut dibagi sesuai dengan kesepakatan awal antara kedua belah pihak.

Dalam poin 8/8, dijelaskan lebih lanjut:

“يستحق المضارب نصيبه من الربح بمجرد ظهوره (تحققه) في عمليات المضاربة، ولكنه ملك غير مستقر، إذ يكون محبوسا وقاية لرأس المال، فلا يتأكد إلا بالقسمة عند التنضيض الحقيقي، أو الحكمي. ويجوز تقسيم ما ظهر من ربح بين الطرفين تحت الحساب، ويراجع ما دفع مقدما تحت الحساب عند التنضيض الحقيقي أو الحكمي.”

Penjelasan ini berarti bahwa mudharib berhak atas bagiannya dari keuntungan segera setelah keuntungan tersebut muncul (tercapai) dalam kegiatan mudharabah, namun hak ini bersifat tidak stabil. Keuntungan tersebut akan tetap ditahan sebagai jaminan untuk modal pokok hingga likuidasi dilakukan, baik secara aktual maupun estimatif. Dengan demikian, pembagian keuntungan yang terjadi sebelum likuidasi sifatnya sementara dan akan diperhitungkan kembali saat dilakukan likuidasi penuh atau estimatif.

Akhirnya, poin ini menegaskan bahwa pembagian keuntungan dilakukan secara final berdasarkan harga penjualan aset-aset yang ada, yang dikenal sebagai likuidasi aktual (التنضيض الحقيقي). Artinya, pembagian keuntungan yang sah dan final hanya terjadi setelah penjualan aset-aset usaha dilakukan dan hasilnya dihitung secara menyeluruh.

Baca juga:Bagi Hasil Mudharabah dan Musyarakah dengan Nominal Tertentu, Bolehkah?

Hukum Mudharib yang Mengambil Keuntungan Sebelum Perhitungan Final

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas, hukum pengambilan keuntungan oleh mudharib sebelum perhitungan akhir sangat bergantung pada kesepakatan antara mudharib dan shahibul maal serta ketentuan syariah yang berlaku. Pada dasarnya, mudharib tidak diperbolehkan mengambil bagian dari keuntungan sebelum perhitungan akhir dilakukan kecuali ada kesepakatan yang jelas mengenai hal tersebut. Penting bagi kedua belah pihak untuk mengikuti prinsip keadilan, transparansi, dan kesepakatan yang diatur dalam akad, agar tercipta hubungan kerja sama yang harmonis dan sesuai dengan syariat Islam. Dengan mengikuti Ma’ayir Syar’iyah, usaha yang dijalankan dalam kerangka mudharabah diharapkan dapat berjalan dengan penuh berkah dan menghasilkan manfaat bagi semua pihak yang terlibat.

Daftar Pustaka

Islam Archive. (2023). أحكام استفادة المضارب من الربح قبل الحساب النهائي ومصاريف التجارة والبضاعة الجديدة. Diakses dari https://islamarchive.cc/fatwaa_show_453571_4

Islamqa. (2023). كيف يقسم الربح في المضاربة الطويلة وهل للعامل أن يأخذ منه تحت الحساب. Diakses dari https://islamqa.info/index.php/ar/answers

Islamweb. (2023). أحكام استفادة المضارب من الربح قبل الحساب النهائي ومصاريف التجارة والبضاعة الجديدة. Diakses dari https://islamweb.net/ar/fatwa/453571/

Exit mobile version