Tak sedikit kerjasama bisnis yang retak bukan karena kekurangan modal, melainkan karena hilangnya kepercayaan. Bukan pula karena pelanggaran besar, tetapi karena tidak adanya ruang untuk saling memahami ketika satu pihak sedang berada dalam masa sulit.
Kita hidup di zaman yang serba cepat: pesan harus dibalas segera, progres dituntut instan, hasil harus langsung nyata. Maka ketika ada mitra yang mulai lambat merespons atau menghadapi hambatan, mudah sekali muncul curiga. Lalu, kepercayaan yang dibangun bertahun-tahun bisa runtuh hanya karena beberapa pekan keterlambatan.
Padahal, dalam Islam, membangun kepercayaan bukan perkara sekejap. Ia tidak lahir dari sekadar kontrak kerja atau hitam di atas putih. Kepercayaan tumbuh dari konsistensi, amanah, dan ketenangan akhlak—dan di antara ruh utamanya adalah kesabaran.
Kesabaran bukan berarti membiarkan yang salah. Tapi ia memberi ruang untuk menilai dengan tenang: Apakah ini benar-benar bentuk kelalaian? Ataukah partner kita sedang diuji dan butuh waktu untuk memperbaiki?
Di sinilah peran sabar menjadi ujian akhlak sekaligus pembuka jalan menuju keberkahan. Karena membangun kepercayaan tidak cukup hanya dengan kontrol, tapi juga dengan kearifan dalam menyikapi ujian bisnis secara manusiawi dan syar’i.
Tulisan ini tidak hadir untuk menunda ketegasan, namun untuk mengajak kita kembali menakar ulang: Bagaimana kesabaran dapat menjadi ruh yang memperkuat bangunan kepercayaan bisnis, terutama dalam muamalah yang ingin diberkahi Allah ﷻ?
Amanah dan Kepercayaan Tak Tumbuh dari Sekali Bertemu
(Kesabaran sebagai kunci membangun kepercayaan bisnis dalam bingkai amanah)
Dalam relasi bisnis, khususnya yang dibangun di atas nilai-nilai Islam, amanah adalah tiangnya dan kepercayaan adalah atapnya. Tapi atap tidak bisa berdiri tanpa waktu, tanpa diuji cuaca. Begitu pula kepercayaan, ia tidak muncul dari sekali senyum atau satu dua janji. Ia butuh konsistensi, pengorbanan, dan kesabaran.
Dalam dunia nyata, seringkali orang yang kita percayai juga manusia biasa yang punya keterbatasan, bisa salah langkah, bisa kelelahan, bahkan bisa terdiam saat sedang bingung menghadapi masalah internal. Dan saat itulah, pihak lain yang tidak sedang dalam posisi sulit diuji:
Apakah ia akan bersikap tergesa? Atau bersabar sejenak dan memberi ruang untuk berbenah?
Allah ﷻ berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya…”
(QS. An-Nisā’: 58)
Menunaikan amanah bukan hanya tentang hak yang ditunaikan, tapi juga cara menyikapi keterlambatan dengan adab, tidak langsung menuduh, tidak mudah mencabut kepercayaan. Karena orang yang bersabar dalam menghadapi ujian rekan bisnisnya, sedang ikut menjaga bangunan kepercayaan itu sendiri.
Membangun kepercayaan itu seperti menanam pohon. Ada masa di mana ia tumbuh subur, ada pula masa di mana daunnya luruh. Tapi siapa yang sabar merawatnya, dialah yang akan menikmati buahnya.
Rasulullah ﷺ mengajarkan:
مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ لَهُ، أَظَلَّهُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ
“Barangsiapa memberi tenggang waktu kepada orang yang kesulitan, atau membebaskannya, maka Allah akan menaunginya dalam naungan-Nya…”
(HR. Muslim)
Dalam konteks bisnis, hadits ini tidak hanya relevan untuk pemberi utang, tapi juga untuk mitra usaha. Ketika pihak lain dalam kesulitan, dan kita bersabar itu bukan kelemahan, itu bukti kekuatan akhlak dan kekokohan niat kita dalam bermuamalah.
Karena kepercayaan tidak dibangun dari ketergesaan, melainkan dari kesabaran yang terus tumbuh meski kondisi tidak ideal.
Baik, berikut kelanjutan dua bab berikutnya dan kesimpulan, tetap mengalir, santun, syar’i, dan terikat erat pada tema besar: kesabaran sebagai ruh dalam membangun kepercayaan bisnis.
Baca juga: Hubungan Antara Akhlaq dan Iman dalam Islam
Ketika Kepercayaan Mulai Diuji: Sabar atau Tegas?
Tidak semua orang sanggup bertahan di tengah tekanan bisnis. Bahkan orang yang paling amanah pun bisa terjatuh. Namun bukan di situlah letak akhir dari kepercayaan, melainkan awal dari ujiannya.
Saat mitra usaha terlambat memenuhi kewajibannya, atau proyek tak berjalan sesuai ekspektasi, akan muncul pertanyaan besar di benak kita: Apakah ini waktunya bersikap tegas? Atau justru bersabar lebih dulu?
Tegas itu penting, apalagi jika menyangkut hak. Tapi tegas bukan berarti tergesa, dan sabar bukan berarti lemah. Dalam Islam, kita diajarkan untuk menimbang dengan syariat. Ketika seseorang benar-benar dalam kesulitan, menuntutnya secara frontal hanya akan memperburuk hubungan.
Allah ﷻ berfirman:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ
“Jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia mampu.” (QS. Al-Baqarah: 280)
Dalam konteks kemitraan bisnis, ayat ini mengajarkan kita untuk tidak mengabaikan kondisi riil partner kita. Bisa jadi, mereka bukan tidak ingin memenuhi kewajiban, tapi memang sedang jatuh dan belum sanggup berdiri.
Sikap sabar kita di saat-saat seperti inilah yang akan menjadi bukti: bahwa kita bukan hanya sedang menjalankan bisnis, tapi juga membangun kepercayaan dengan ruh syar’i.
Baca juga: Bagaimana Sikap Seorang Muslim di Era Disruptif?
Kesabaran Melahirkan Hubungan yang Lebih Kuat
Banyak hubungan bisnis yang berakhir karena gagal melewati satu fase penting: krisis kepercayaan sementara. Padahal, jika semua pihak bersedia bersabar sebentar saja dengan tanpa prasangka dan tekanan, seringkali solusi muncul dengan sendirinya.
Sabar bukan hanya menahan reaksi, tapi memberi ruang bagi orang lain untuk memperbaiki. Di sinilah kita belajar bahwa membangun kepercayaan itu seperti menjaga nyala api kecil: jika dikipas terlalu keras, ia mati. Tapi jika dibiarkan dengan sabar, ia tumbuh menjadi cahaya yang stabil.
Hubungan bisnis yang dibangun di atas sabar akan melahirkan komunikasi yang jujur, rasa aman yang dalam, dan ikatan yang tak mudah goyah. Bahkan ketika krisis datang, para pihak tahu bahwa mereka tidak sedang dihakimi, tetapi sedang diberi waktu untuk saling memahami dan berbenah.
Dan dari situlah keberkahan hadir.
Rasulullah ﷺ bersabda:
الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ، ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ…
“Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Ar-Rahman. Sayangilah yang di bumi, niscaya yang di langit akan menyayangi kalian.” (HR. Tirmidzi)
Dalam dunia bisnis, kasih sayang bisa mewujudkan bentuk rasa tenang: dengan kesabaran saat yang lain tersandung.
Baca juga: Cek Lagi! Hutangmu Membawa Kebaikan atau Masalah?
Khatimah: Menjadi Partner yang Dipercaya, Bukan Ditakuti
Kepercayaan tidak dibangun dari janji yang terdengar meyakinkan, tapi dari sikap yang tetap tenang saat keadaan sulit. Dan tidak ada sikap yang lebih mencerminkan akhlak Islami dalam bisnis selain kesabaran dalam membangun kepercayaan.
Sabar menghadapi mitra yang sedang terjatuh.
Sabar dalam menahan dorongan untuk menuntut segera.
Sabar untuk memberi ruang pada perbaikan, tanpa mencabut amanah.
Karena sesungguhnya, membangun kepercayaan adalah ibadah panjang, yang tidak selesai dalam satu akad, tapi terus hidup dalam sikap sehari-hari.
Maka jika hari ini kita menghadapi partner yang sedang kesulitan, cobalah tenangkan diri, doakan kebaikannya, dan beri sedikit waktu. Mungkin dari kesabaran itulah Allah ﷻ membuka jalan yang lebih luas, lebih berkah, dan lebih kuat untuk kelanjutan bisnis ini.
Dan siapa tahu, justru sabar kita hari ini, yang tak banyak diketahui orang, menjadi sebab Allah ﷻ menjadikan kita partner yang paling dipercaya… bukan hanya di dunia, tapi juga di sisi-Nya kelak.
Baca juga: Bagaimana Menghindari FOMO dalam Investasi
Yuk Mulai Investasi Halal di Nabitu.
Referensi:
Al-Qur’an Al-Karim. Surat An-Nisā’ ayat 58. Diakses dari:https://tafsirweb.com/1590-surat-an-nisa-ayat-58.html
Al-Qur’an Al-Karim. Surat Al-Baqarah ayat 280. Diakses dari: https://tafsirweb.com/1046-surat-al-baqarah-ayat-280.html
Muslim, Imam. Shahih Muslim. Diakses dari: https://hadits.id/hadits/muslim
At-Tirmidzi, Imam. Sunan At-Tirmidzi. Diakses dari: https://hadits.id/hadits/tirmidzi
Al-Mubarakfuri, Syaikh Shafiyurrahman. (2000). Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jami’ At-Tirmidzi. Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah.