Siap Menanggung Kerugian Dalam Berinvestasi Syariah

Pernah nggak sih kita tergoda ikut investasi syariah karena kata “halal” dan “berkah” terasa begitu menenangkan? Brosur mengkilap, akad tanpa riba, dan janji imbal hasil yang terdengar meyakinkan. Rasanya pas sekali dengan hati yang ingin menjaga keuangan tetap dalam jalan Allah ﷻ.

Tapi, di balik niat baik itu, ada satu pertanyaan sederhana yang sering terlewat: sudahkah kita siap, bukan hanya untuk untung, tapi juga untuk rugi?

Karena investasi syariah sejatinya bukan tentang “main aman tanpa risiko”. Ia justru mengajarkan kejujuran, tanggung jawab, dan sikap adil sejak awal. Dalam setiap akad, syariah mengikat bukan hanya hak, tapi juga kewajiban. Dan ketika usaha sedang tidak berjalan sesuai harapan, di situlah ujian akhlak muamalah sebenarnya dimulai.

Makanya, tulisan ini bukan untuk membuat kita ragu, tapi justru mengajak kita menempatkan investasi syariah dalam porsinya yang tepat. Supaya kita nggak cuma sekadar “ikut yang penting halal”, tapi juga benar-benar memahami ruhnya: bermuamalah sesuai tuntunan, dan tumbuh bersama dengan keberkahan.

Investasi Syariah Bukan Sekadar Cuan

Memang betul, salah satu daya tarik investasi adalah potensi keuntungan. Tidak ada yang salah dengan berharap cuan bertambah. Namun dalam investasi syariah, harapan itu perlu dibingkai dengan pemahaman yang lebih utuh: kita bukan hanya sedang mengejar angka, tapi juga menegakkan keadilan dan amanah.

Islam mengenal konsep syirkah atau kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk menjalankan usaha. Bisa dalam bentuk mudharabah (satu pihak sebagai pemodal, satu pihak sebagai pengelola) atau musyarakah (semua pihak berkontribusi modal dan turut mengelola). Dua-duanya sah menurut syariat, asalkan memenuhi syarat kejujuran dan transparansi.

Allah ﷻ berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian) itu.”
(QS. Al-Mā’idah: 1)

Kalau kita sejak awal sudah sepakat dalam akad tentang berapa modal, bagaimana pembagian, apa saja risikonya maka selanjutnya semua akad harus dijalankan dengan tanggung jawab. Bukan hanya ketika usaha menghasilkan, tapi juga saat menghadapi tantangan.

Karena itu, investasi syariah bukan seperti menabung di celengan digital. Ia bukan janji “aman, pasti untung”, tapi sebuah bentuk kemitraan yang berlandaskan niat baik dan aturan Allah ﷻ. Maka sebelum memulai, penting bagi kita untuk tidak sekadar membaca potensi return, tapi juga menyiapkan mental untuk menanggung risiko secara adil.

Di sinilah letak nilai tawakal yang sesungguhnya. Kita berikhtiar dengan halal, sekaligus bertawakal akan hasilnya kepada Allah ﷻ, sambil tetap siap untuk menghadapi dinamika perjalanan usaha. Sebab, yang kita cari bukan sekadar profit, tetapi keberkahan dan ridha-Nya.

Baca juga: Hubungan Investor dan Mitra Bisnis dalam Investasi Syariah

Saat Usaha Goyang, Jangan Dulu Menekan

Namanya juga usaha, ada kalanya naik, ada kalanya turun. Namun yang sering terjadi adalah begini: saat hasil bagus, semua senyum lebar. Tapi ketika laporan keuangan mulai merah, mulai muncul nada tinggi dan tekanan. Padahal, dalam investasi syariah, rugi itu bukan aib, justru bagian dari akad yang harus dipahami sejak awal.

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ لَهُ أَظَلَّهُ اللهُ فِي ظِلِّهِ

 “Barang siapa memberi tenggang waktu kepada orang yang sedang kesulitan, atau membebaskannya, maka Allah akan menaunginya di bawah naungan-Nya pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya.”
(HR. Muslim)

Hadis ini menunjukkan betapa besar keutamaan bersikap lembut terhadap pihak yang sedang kesusahan. Dalam konteks investasi, bisa jadi mitra usaha sedang berjuang memperbaiki kondisi. Maka yang mereka butuhkan adalah dukungan dan waktu, bukan tekanan atau ancaman.

Sayangnya, banyak yang terburu-buru menuntut: “Kapan balikin modal saya?” atau “Jual aja asetnya, saya mau keluar!” Padahal, menjual aset usaha tidak semudah membalik telapak tangan. Bahkan dalam Islam, sikap seperti itu bisa tergolong menzhalimi, terutama jika mitra telah berikhtiar maksimal.

Investasi syariah bukan hanya persoalan hitungan untung rugi, tapi juga uji kesabaran dan akhlak kita sebagai investor. Apakah kita benar-benar memahami bahwa ini jalan kemitraan? Atau hanya menginginkan hasil tanpa peduli proses?

Justru dalam momen sulit seperti inilah ruh syariah diuji: apakah kita mampu menjadi bagian dari solusi, atau justru memperparah situasi?

Berikut lanjutan bab ketiga dan bagian kesimpulan dengan tetap menjaga gaya santun, santai syar’i, dan mengalir:

Baca juga: Pandangan Islam Terhadap Dampak Sosial Investasi

Transparansi dan Amanah: Pondasi Investasi Syariah

Satu hal yang sering jadi sumber masalah dalam investasi, bahkan yang mengaku berlabel syariah, yaitu kurangnya transparansi. Mulai dari laporan keuangan yang tidak disampaikan rutin, sampai informasi yang disampaikan setengah-setengah. Padahal, dalam Islam, transparansi dan kejujuran bukan sekadar etika tambahan. Ia adalah bagian dari ruh syariah.

Rasulullah ﷺ bersabda:

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا، بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا

“Penjual dan pembeli masih dalam pilihan selama belum berpisah. Jika keduanya jujur dan menjelaskan (keadaan barang), maka diberkahi jual belinya…”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Nilai ini berlaku pula dalam kemitraan investasi. Investor perlu tahu bagaimana dana digunakan, pengelola pun wajib menyampaikan realita usaha, baik suka maupun duka. Di sinilah amanah diuji. Karena yang dikelola bukan sekadar modal, tapi kepercayaan.

Jika komunikasi dibangun dengan adil dan terbuka sejak awal, banyak potensi konflik bisa dicegah. Dan yang terpenting, keberkahan akan lebih mudah hadir. Sebab dalam Islam, keberkahan tidak lahir dari keuntungan besar, tapi dari kejujuran dan tanggung jawab dalam setiap langkah.

Baca juga: Makna Tasamuh (Toleransi) antara Investor dan Partner Bisnis

Kesimpulan: Menanam dengan Niat, Menuai dengan Ridha

Investasi syariah sejatinya bukan hanya soal halal label atau mengejar cuan bersih. Ia adalah bentuk ikhtiar yang sarat dengan nilai-nilai akhlak: adil dalam akad, sabar dalam proses, jujur dalam laporan, dan ridha menerima hasil.

Jika sejak awal kita masuk investasi dengan niat membantu sesama, membangun ekonomi umat, dan menjaga diri dari riba, maka ketika hasil belum sesuai harapan pun hati tetap tenang. Sebab kita tahu, nilai yang lebih besar dari profit adalah rasa tenang karena menjaga syariat Allah ﷻ.

Semoga Allah ﷻ memberkahi setiap langkah ikhtiar kita, dan menjadikan harta yang kita kelola sebagai sebab kebaikan, bukan sekadar angka di rekening.

Baca juga: Rumus Alokasi Gaji Sebelum Mulai Investasi Syariah

Siap Menanggung Kerugian Dalam Berinvestasi Syariah

Yuk Mulai Investasi Halal di Nabitu.

Referensi

Kementerian Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Di akses melalui TafsirWeb https://tafsirweb.com/
Muslim, Imam. Shahih Muslim.Di akses melalui Hadits.id: https://hadits.id/hadits/muslim
Bukhari, Imam. Shahih Bukhari. Di akses melalui Hadits.id: https://hadits.id/hadits/bukhari
Az-Zuhailī, Wahbah. Al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu. Damaskus: Dār al-Fikr, 2001
Al-Jawī, Shidiq. Fiqh Muamalah Kontemporer. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010

Exit mobile version