Tujuan Hidup Tak Lepas dari Taat Finansial
Kamu masih pisahkan taat dari urusan uang? Kalo masih, pasti kamu pernah juga nih ngerasa udah taat, rajin ngaji, sedekah nggak pernah absen, tapi tetap aja hidup terasa chaos khususnya soal uang? Gaji datang dan pergi seperti angin. Kadang semangat ikut program investasi ini dan itu, tapi ujungnya nggak jelas hasilnya. Lebih parah lagi, ternyata diam-diam masih nyangkut di riba.
Di satu sisi kita merasa sudah berada di jalur ketaatan: shalat lima waktu, ikut kajian, bahkan mungkin sedang giat menghafal Al-Qur’an. Tapi di sisi lain, kenapa urusan keuangan kita seperti lepas kendali?
Padahal, kalau ditanya “Apa sih tujuan hidupmu?”, mayoritas dari kita akan jawab, “Agar hidup berkah, selamat dunia akhirat, dan diridhai Allah ﷻ.” Jawaban yang luar biasa. Tapi mari kita jujur sebentar saja: apakah pengelolaan uang kita juga sedang diarahkan ke sana? Apakah cara kita mencari, mengelola, dan membelanjakan harta sudah selaras dengan cita-cita besar itu?
Rasulullah ﷺ bersabda:
وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ، وَفِيمَ أَنْفَقَهُ
“…dan tentang hartanya: dari mana ia peroleh dan ke mana ia belanjakan.”
(HR. Tirmidzi, No. 2341)
Hadis ini bukan cuma soal akuntabilitas harta, tapi sekaligus kode keras: urusan finansial adalah bagian tak terpisahkan dari ketaatan. Ia bukan wilayah netral yang bisa dipisah dari agama.
Maka sejak awal, penting untuk kita tanamkan bahwa mengatur keuangan bukan cuma perkara cerdas secara duniawi, tapi juga bagian dari ibadah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Dan di sinilah letaknya kesadaran awal: kita nggak boleh lagi memisahkan urusan keuangan dari urusan taat.
Kesadaran ini akan mengantarkan kita pada satu pertanyaan yang lebih dalam: bagaimana hubungan kita sebenarnya dengan Allah ﷻ dalam hal rezeki dan harta?
Menyadari Bahwa Rezeki Datang dari Allah ﷻ, Bukan Semata Usaha
Kadang kita terlalu sibuk mengejar pemasukan, sampai lupa bahwa sumber rezeki yang hakiki adalah Allah ﷻ. Kita bekerja keras, belajar investasi, jualan online, bahkan ikut proyek ini dan itu, tapi tetap merasa cemas. Apakah cukup? Apakah berkembang? Padahal, semua rezeki sudah ditakar.
Allah ﷻ berfirman:
“وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا”
“Dan tidak ada suatu makhluk melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.”
(QS. Hūd: 6)
Ini bukan berarti kita berhenti berikhtiar, tapi sadar bahwa ikhtiar bukan sebab utama datangnya rezeki. Ikhtiar adalah bagian dari ketaatan, tapi yang menentukan besaran rezeki tetap Allah ﷻ. Kita tak bisa menjamin besarnya gaji atau untungnya dagang, tapi kita bisa pastikan bahwa usaha kita sesuai syariat.
Itu kenapa banyak orang sukses secara kasat mata, tapi hidupnya jauh dari ketenangan. Karena tujuannya bukan Allah ﷻ. Karena ia merasa dirinya sumber segalanya. Padahal, harta yang datang bukan hanya nikmat, tapi juga ujian. Dan di situlah titik paling krusial dalam pengelolaan keuangan Islami: menyadari siapa pemilik rezeki, dan apa peran kita sebagai pengelola.
Kesadaran ini akan membentuk sikap. Kita jadi lebih hati-hati memilih jalan mencari uang. Kita juga lebih tenang dalam kondisi sempit. Karena kita tahu: hidup bukan soal mengumpulkan sebanyak-banyaknya, tapi seberapa taat kita mengelolanya.
Setelah menyadari siapa pemberi rezeki, kita juga harus kembali menegaskan: kalau Allah ﷻ yang memberi, untuk apa sebenarnya Dia beri kita harta? Di sinilah pentingnya memahami peran dan amanah kita terhadap harta.
Baca juga: Paham Harta Bukan Segalanya, Tapi Masih Berat Kehilangannya?
Harta Bukan Sekedar Milik Kita, Tapi Amanah untuk Tujuan Hidup
Salah satu jebakan zaman sekarang adalah ketika orang merasa “ini hasil kerja kerasku, hakku, terserah aku mau pakai bagaimana.” Padahal, dalam Islam, harta bukanlah milik mutlak manusia.
Allah ﷻ berfirman:
“وَآتُوهُم مِّن مَّالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ”
“Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang telah Dia berikan kepadamu.”
(QS. An-Nūr: 33)
Perhatikan: Allah ﷻ menyebutnya “harta-Nya” yang Dia titipkan pada kita. Jadi jelas, kita hanya penjaga atau wakil dari apa yang kita miliki. Ini menjungkirbalikkan paradigma duniawi yang serba kapitalistik dan individualistik.
Baca juga: Kekayaan Bukan Life Goals dalam Islam
Kalau harta itu titipan, maka sudah semestinya kita pakai sesuai amanah dari Yang menitipkan. Di sinilah taat finansial berperan. Kita jadi lebih terarah apakah belanja kita mencerminkan tujuan hidup yang mulia? Apakah investasi kita mendukung ekonomi halal dan tumbuh bersama? Apakah kita memberi nafkah sesuai kewajiban dan penuh tanggung jawab?
Bahkan saat kita menabung atau merencanakan masa depan, harus ada kesadaran bahwa itu bukan demi secure feeling semata, tapi untuk menunjang peran kita sebagai hamba. Menafkahi keluarga, menolong yang kesulitan, menyokong usaha halal, dan menjadi bagian dari solusi umat. Di sinilah kita menemukan makna utuh dari tujuan hidup.
Baca juga: Harta Kekayaan Ada, Tapi Kenapa Masih Gelisah?
Khatimah: Mengelola Uang Adalah Bagian dari Jalan Menuju Allah ﷻ
Seringkali kita membagi hidup menjadi dua: antara “ibadah” dan “kehidupan nyata.” Tapi Islam memandang semuanya satu kesatuan. Mengelola uang bukanlah aktivitas dunia semata, tapi bagian dari jalan menuju Allah ﷻ. Ia adalah ladang pahala, juga ladang ujian.
Ketika kita sadar bahwa tujuan hidup adalah untuk meraih rida Allah ﷻ, maka setiap aktivitas keuangan harus mengarah ke sana. Mulai dari niat mencari nafkah, cara memperoleh, cara membelanjakan, hingga cara menyikapi hasil.
Rezeki bukan datang dari kemampuan kita, tapi dari Allah ﷻ. Harta bukan milik kita, tapi amanah yang harus kita kelola sesuai petunjuk-Nya. Maka taat finansial bukan tambahan, tapi bagian inti dari hidup yang lurus.
Mari kita muhasabah kembali: apakah orientasi keuangan kita sudah sesuai dengan orientasi hidup kita? Jangan sampai kita merasa sedang menuju surga, tapi langkah-langkah keuangannya mengarah ke arah sebaliknya.
Baca juga: Tolong Menolong dan Membantu Sesama Muslim

Yuk Mulai Investasi Halal di Nabitu.
Referensi
Al-Qur’an al-Karim.
At-Tirmidzi, Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa. Sunan at-Tirmidzi, Hadits no. 2341. Diakses dari: https://www.hadits.id/hadits/tirmidzi/2341
Tafsir Ibnu Katsir, tafsir QS. Hūd: 6 dan QS. An-Nūr: 33. Diakses dari: https://tafsirweb.com/