Paham Harta Bukan Segalanya, Tapi Masih Berat Kehilangannya?
Ada orang yang sudah paham bahwa harta kekayaan bukan segalanya. Ia tahu dunia ini sementara, harta cuma titipan, dan hidup sejatinya adalah perjalanan pulang. Tapi anehnya, saat harus melepas meski hanya sebagian hatinya tetap berat. Seolah ada tali halus yang menahan, yang tak terlihat, tapi terasa.
Bukan karena dia tak paham, tapi karena rasa memiliki itu sudah telanjur mengikat kuat. Dan disitulah letak ujian sebenarnya. Ujian hidup manusia ternyata bukan hanya saat kekurangan, tapi juga saat diberi berlebih karena keterikatan justru sering tumbuh di tengah kelimpahan.
Tahu bahwa semuanya akan ditinggal, tapi tetap takut kehilangan. Tahu bahwa semua ini bukan miliknya, tapi masih sulit melepas genggaman. Lalu muncul kegelisahan: kenapa hati tetap tak tenang, padahal semua pelajaran sudah didengar?
Barangkali, yang perlu ditinjau ulang bukan ilmunya, tapi kedalaman iman dan keikhlasan hati untuk benar-benar percaya bahwa harta hanya alat bukan arah.
Ketika Ilmu, Hati, dan Standar Tak Selaras
Seseorang bisa saja sudah paham bahwa harta itu amanah, bahwa rezeki datangnya dari Allah, dan bahwa setiap nikmat pasti akan dimintai pertanggungjawaban. Tapi meski tahu, belum tentu tenang. Hatinya masih bimbang saat rugi, gelisah saat belum untung. Ini bukan karena kurang ilmu, tapi karena ilmu dan hati belum selaras.
Masalahnya tak berhenti di situ. Di tengah arus budaya umum yang menilai sukses dari besarnya untung, cepatnya balik modal, dan terus naiknya angka tanpa sadar, kita ikut-ikutan menilai keberkahan dengan tolak ukur duniawi.
Padahal, standar umum belum tentu standar kebenaran. Yang ramai belum tentu benar, dan yang menguntungkan belum tentu berkah. Sebaliknya, bagi seorang mukmin, ukuran baik dan buruk bukan dari angka atau tren, tapi dari bagaimana ia menyikapi setiap keadaan.
Di sinilah pentingnya menyadari bahwa hidup bukan sekadar soal cuan, tapi serangkaian ujian hidup manusia yang satu persatu akan mengungkap seberapa jujur iman kita. Kadang diuji dengan kelapangan, kadang dengan kesempitan. Kadang diberi untung besar, kadang justru rugi berkepanjangan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ.
“perkara orang mu`min mengagumkan, sesungguhnya semua perihalnya baik dan itu tidak dimiliki seorang pun selain orang mu`min, bila tertimpa kesenangan, ia bersyukur dan syukur itu baik baginya dan bila tertimpa musibah, ia bersabar dan sabar itu baik baginya.”
(HR. Muslim, No. 5318)
Inilah cara pandang seorang mukmin. Untung bukan berarti diberkahi, dan rugi bukan berarti dimurkai. Terkadang, kerugian justru lebih menyehatkan jiwa karena memanggil sabar dan mengingatkan hakikat dunia. Sementara keuntungan, bisa jadi jebakan yang menenangkan secara materi tapi menggelisahkan batin karena hati terikat.
Sebab itu, tak semua hal dalam bisnis harus untung. Ada kalanya rugi, ada masanya tertunda. Tapi bukan itu ukuran keberhasilan orang beriman. Ukuran sejatinya adalah: apakah ia tetap jujur, tetap amanah, dan tetap tenang, karena tahu bahwa setiap fase untung maupun rugi adalah bagian dari ujian hidup manusia untuk menunjukkan siapa yang benar-benar bertakwa, dan siapa yang hanya ikut arus.
Baca juga: Harta Kekayaan Ada, Tapi Kenapa Masih Gelisah?
Bukan Tentang Untung Rugi, Tapi Tentang Siapa Kita Saat Itu
Akan selalu ada dua sisi dalam hidup: untung dan rugi, lapang dan sempit, naik dan turun. Tapi bagi seorang mukmin, yang lebih penting bukanlah sisi mana yang sedang ia alami, melainkan siapa dirinya saat itu. Apakah ia tetap bersyukur saat beruntung? Apakah ia tetap sabar saat merugi? Apakah hatinya tetap jujur saat diuji? Atau justru berubah saat keadaan tidak sesuai harapan?
Karena pada akhirnya, yang paling berat bukan kehilangan harta, tapi kehilangan arah. Dan yang paling menyakitkan bukan rugi secara materi, tapi rugi dalam kualitas diri.
Allah ﷻ berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian.”
(QS. Al-Hujurat: 13)
Maka jika untung membawa kita pada kesombongan, itu bukan keberkahan. Jika rugi membawa kita pada keputusasaan, itu bukan kerugian biasa itu kegagalan dalam menyikapi ujian hidup manusia.
Justru yang paling kuat adalah mereka yang tetap taat dalam setiap keadaan. Yang ketika diberi, tidak lalai. Yang ketika diambil, tidak mengeluh. Karena bagi mereka, dunia hanya tempat pembuktian, bukan tujuan akhir.
Baca juga: Gengsi dan Gaya Hidup dalam Islam
Dari Paham ke Tunduk: Menyatukan Ilmu dan Iman
Banyak orang sudah tahu: harta itu amanah, untung rugi adalah ujian, dan hidup ini bukan soal angka. Tapi mengapa tetap gelisah saat rugi, dan lalai saat untung? Jawabannya seringkali bukan karena kurang ilmu, melainkan karena ilmu belum membentuk ketundukan. Belum sampai menjadi iman yang hidup di dalam dada.
Di sinilah pentingnya idrāk ṣilah billāh (إِدْرَاكُ الصِّلَةِ بِاللَّهِ) kesadaran akan hubungan langsung antara diri kita dan Allah ﷻ dalam setiap aspek hidup, termasuk urusan harta dan usaha. Tanpa kesadaran ini, ilmu hanya menjadi informasi. Tapi dengan ṣilah billāh, setiap keputusan menjadi bentuk ibadah, setiap langkah terasa diawasi, dan setiap niat disucikan.
Kesadaran inilah yang menjadi pijakan menuju maqām ihsān derajat tertinggi dalam beribadah, di mana hati tak lagi sekadar tahu, tapi benar-benar hadir di hadapan-Nya. Ihsan bukan semata perasaan, tapi sikap spiritual yang terlatih: bahwa Allah ﷻ bukan hanya ada, tapi melihat dan memperhatikan setiap gerak-gerik hamba-Nya.
Karena itu, Rasulullah ﷺ bersabda:
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ، فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“…(Ihsan adalah) “Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu…” (HR. Muslim No. 9)
Inilah titik balik yang menghidupkan iman dari sekadar konsep menjadi laku hidup. Ketika ruhani benar-benar merasa dilihat, maka perbuatan tak lagi tergantung hasil duniawi, tapi pada bagaimana Allah ﷻ menilai.
Baca juga: Bulan Rajab Sebagai Peluang Investasi Spiritual
Kesimpulan
Sering kali, yang membuat kehilangan terasa berat bukan semata karena nilainya yang besar, tetapi karena lemahnya kesadaran kita akan hubungan dengan Allah ﷻ idrāk ṣilah billāh (إِدْرَاكُ صِلَةِ اللهِ). Ketika hubungan itu kabur, hati mudah goyah. Kita menilai segalanya hanya dengan standar duniawi: yang hilang terasa menyakitkan, yang gagal terasa memalukan.
Padahal dalam pandangan iman, ujian hidup manusia bukan soal besar kecilnya musibah, tetapi sejauh mana ia menguatkan hubungan hati kita dengan Allah ﷻ. Ukuran berat dan ringan tidak lagi ditakar dari jumlah yang hilang, tetapi dari arah yang dituju oleh ujian itu apakah mendekatkan kita atau justru menjauhkan.
Di sinilah takwa menjadi penentu utama. Ia adalah hubungan sejati antara hamba dan Rabb-nya: menjalankan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya, dalam suka maupun duka. Semakin kuat takwa, semakin kokoh hati menghadapi apapun.
Sebab, yang paling mulia di sisi Allah ﷻ bukanlah yang paling banyak harta, tapi yang paling bertakwa. Dan yang paling tenang bukanlah yang tak pernah kehilangan, melainkan yang menyadari: segala datang dan pergi itu sementara, tapi Allah ﷻ selalu bersama.
Baca juga: Dampak Puasa terhadap Kesehatan

Yuk Mulai Investasi Halal di Nabitu.
Referensi:
Al-Qur’anul Karim. Diakses dari https://tafsirweb.com/9193-surat-al-hujurat-ayat-13.html
Muslim bin al-Hajjaj al-Qushayri. Ṣaḥīḥ Muslim. Hadis No. 5318. Diakses dari https://www.hadits.id/hadits/muslim/5318
Muslim bin al-Hajjaj al-Qushayri. Ṣaḥīḥ Muslim. Hadis No. 9. Diakses dari https://www.hadits.id/hadits/muslim/9