Pinjam meminjam merupakan praktik yang tersebar luas di kalangan umat Islam dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari pinjam meminjam barang sehari-hari hingga barang yang lebih berharga seperti mobil, bahkan rumah. Praktek pinjam meminjam yang tidak sesuai dengan syariat dapat menimbulkan masalah, menimbulkan konflik, bahkan putusnya persahabatan hingga persaudaraan. Maka sangat penting kita bahas cara-cara agar aktivitas pinjam meminjam tetap mendatangkan kebaikan dan keberkahan.
Pengertian Pinjaman (Al-’Ariyyah)
Barang pinjaman yang diambil manfaatnya dalam istilah fikih disebut Ariyyah. Para ahli fiqih mendefinisikan ‘ariyah’ adalah seorang pemilik barang membolehkan orang lain memanfa’atkan barang itu tanpa ada imbalan. Misalnya seseorang meminjam mobil dari orang lain untuk keperluan safar kemudian sesudah itu mengembalikan lagi kepadanya. Nah agar tidak terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan syariah dan tentunya akan menimbulkan konflik, maka dibutuhkan penjelasan yang lebih terperinci.
Hukum Al-’Ariyyah
Hukum al-’Ariyyah (pinjaman) disyariatkan dan dianjurkan, berdasarkan dalil dari al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’.
Berdasarkan dalil Al Quran anjuran al-’ariyyah, didasarkan pada firman Allah :
وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَاب
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al Maidah: 2).
Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, bersabda:
اللهُ فىِ عَوْنِ اْلعَبْدِ مَا كَانَ اْلعَبْدُ فىِ عَوْنِ أَخِيْهِ
“Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut menolong saudaranya.” (HR. Muslim, Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 6577).
Dalam riwayat lain, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Seorang Muslim adalah saudara orang Muslim lainnya. Ia tidak boleh menzhaliminya dan tidak boleh membiarkannya diganggu orang lain (bahkan ia wajib menolong dan membelanya). Barangsiapa membantu kebutuhan saudaranya, maka Allâh Azza wa Jalla senantiasa akan menolongnya. Barangsiapa melapangkan kesulitan orang Muslim, maka Allâh akan melapangkan baginya dari salah satu kesempitan di hari Kiamat dan barangsiapa menutupi (aib) orang Muslim, maka Allâh menutupi (aib)nya pada hari Kiamat. (HR Bukhari no: 2442)
Dilain sisi Allah Ta’ala telah mengecam kaum muslimin yang pelit:
Allah Ta’ala berfirman:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (6) وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (7
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya’, dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (QS. ai-Ma’uun: 4-7).
Hukum yang berkaitan dengan Ariyyah
Kewajiban mengembalikan dan resiko kerusakan bagi peminjam
Allah swt berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS An-Nisaa’: 58).
Orang yang meminjam adalah orang yang diberi amanat yang tidak ada tanggungan atasnya, kecuali karena kelalaiannya, atau pihak pemberi pinjaman mempersyaratkan penerima pinjaman harus bertanggung jawab:
Dari Shafwan bin Ya’la dari bapaknya ra ia berkata, Rasulullah saw pernah bersabda kepadaku, “Apabila sejumlah kurirku datang kepadamu, maka berilah kepada mereka tiga puluh baju besi dan tiga puluh ekor unta.” Kemudian aku bertanya, “Ya Rasulullah, apakah ini pinjaman yang terjamin, ataukah pinjaman yang tertunaikan?” Jawab Beliau, “(Bukan), tetapi pinjaman yang tertunaikan.” (Shahih Abu Daud III no: 3045).
Al-Amir ash-Shan’ani dalam Subulus Salam III: 69) menjelaskan, ”Yang dimaksud kata madhmunah (terjamin) ialah barang pinjaman yang harus ditanggung resikonya, jika terjadi kerusakan, dengan mengganti nilainya. Adapun yang dimaksud kata mu’addah (tertunaikan) ialah barang pinjaman yang mesti dikembalikan seperti semula, namun manakala ada kerusakan maka tidak harus mengganti nilainya.” Lebih lanjut dia menyatakan, “Hadits yang diriwayatkan Shafwan di atas menjadi dalil bagi orang yang berpendapat, bahwa ’ariyah tidak harus ditanggung resikonya, kecuali ada persyaratan sebelumnya. Dan, sudah dijelaskan bahwa pendapat ini adalah pendapat yang paling kuat.”
Wallahu’alam
Baca Juga Rukun, Syarat, dan Macam-macam Al-’Arriyyah Dalam Islam
Referensi :
https://tafsirweb.com/1886-surat-al-maidah-ayat-2.html
‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma’ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm 707 – 708) https://archive.org/details/alwajizensiklopediafiqihislamdalamalqurandanalsunnahalshahihabdulazhimbinbadawialkhalafi/page/n667/mode/2up