AkhlaqAqidahMuslim LifestyleUncategorized

Takut Hari Sial Salah Satu Bentuk Syirik Masa Kini

“Kita bangga bilang bisnis halal, tapi masih takut ‘hari sial’?”

Lucu ya, kadang label “syariah” sudah dipasang, tapi keyakinannya masih campur dan belum tawakal kepada Allah ﷻ sepenuhnya. Strategi boleh Islami, tapi langkahnya masih nunggu “hari bagus”. Seolah-olah keberkahan itu bisa dijadwal lewat kalender, bukan diturunkan lewat ketakwaan.

Pernah nggak lihat orang yang sebelum mulai usaha, nunggu “hari bagus” dulu? Atau sebelum tanda tangan kerja sama, nunggu “feeling cocok” baru jalan? Katanya bukan percaya hoki, tapi “cuma jaga vibe aja”.

Padahal, kalo dicermati, vibe-nya kok mirip-mirip sama tradisi jahiliyyah zaman dulu. Bedanya cuma alatnya. kalo dulu orang nunggu burung terbang ke arah kanan, sekarang orang nunggu “tanda alam semesta” atau baca “angka keberuntungan”.

Lucu ya. Dulu orang nyari arah burung, sekarang nyari arah pintu.

Padahal sama saja: menggantungkan keberuntungan atau kesialan pada tanda, bukan pada Allah ﷻ. Dan di situlah penyakit halusnya, syirik yang dikemas dengan kemasan modern.

Tathayyur Modern: Ketika Jahiliyyah Berganti Baju

Zaman dulu, masyarakat Arab punya kebiasaan yang disebut tathayyur, merasa sial atau beruntung karena sesuatu. kalo lihat burung terbang ke kiri, batal berangkat. kalo ke kanan, lanjut jalan. Semua keputusan penting bergantung pada arah burung, bukan pada ridho atau murka Allah ﷻ.

Rasulullah ﷺ bersabda:

لاَ عَدْوَى، وَلاَ طِيَرَةَ، وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ ‏”‏‏.‏ قَالُوا وَمَا الْفَأْلُ قَالَ ‏”‏ كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ ‏

“Tidak ada ‘adwā (penularan yang diyakini terjadi tanpa izin Allah), tidak ada ṭiyarah (pertanda sial atau keberuntungan), dan yang menyenangkanku adalah fa’l.” Para sahabat bertanya, “Apakah fa’l itu, wahai Rasulullah ﷺ?” Beliau menjawab, “Perkataan yang baik.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, no. 5776)

Artinya, Islam menolak segala bentuk keyakinan bahwa nasib baik atau buruk datang dari tanda-tanda tertentu.

Tapi apa bedanya dengan orang modern yang percaya “tanggal atau jam hoki”, atau “arah keberuntungan”? Logikanya sama: menggantungkan keberuntungan atau kesialan pada simbol, bukan pada Allah ﷻ.

Sekarang istilahnya saja berubah. Dulu “burung”, sekarang “energi positif”. Dulu “dukun”, sekarang “konsultan spiritual”. Tapi esensinya tetap: menduakan tauhid dalam urusan keberuntungan atau kesialan.

Dan ini bukan sekadar soal aqidah sebenarnya, tapi juga logika sederhana. Coba, kalo benar arah pintu bisa bawa keberuntungan atau kesialan, kenapa masih banyak orang yang pintunya “di utara” tapi tetap bangkrut?

Baca juga: Ini Alasan Kenapa Peluang dan Investasi Islami Jadi Sumber Pendapatan Tambahan

Bisnis Tanpa Tauhid: Canggih di Strategi, Rapuh di Aqidah

Banyak pebisnis Muslim hari ini sangat canggih dalam strategi, dari analisis pasar, branding, sampai automasi digital. Tapi begitu masuk wilayah keputusan spiritual, seperti keberuntungan atau kesialan tiba-tiba logika berhenti.

“Kayaknya jangan launching bulan ini deh, soalnya bintangnya lagi nggak bagus.”
“Katanya kalo mulai hari Selasa, usahanya bisa panjang umur.”

Sekilas terdengar sepele. Tapi justru di situ penyakitnya, karena syirik modern itu sering datang dalam bentuk yang istilahnya samar dan seolah benar.

Padahal Rasulullah ﷺ bersabda:

الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ» ثَلاَثًا «وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
“Mengambil pertanda (ṭiyarah) itu syirik, mengambil pertanda itu syirik.” (disebutkan tiga kali) “Dan tidaklah terdapat di antara kita kecuali ia memiliki pertanda, tetapi Allah menghilangkannya dengan tawakkul (kepada-Nya).” (Hadits Riwayat Abi Dawud no. 3910)

Coba bayangkan. Bukan cuma yang sembah berhala, tapi orang yang menunda keputusan karena takut hari sial pun termasuk melakukan syirik.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan:

“Tathayyur itu muncul karena hati tidak bergantung sempurna pada Allah. Ia takut pada sesuatu selain Allah, berharap pada sesuatu selain Allah.”(Zādu al-Ma‘ād, 2/441)

Jadi masalahnya bukan cuma keyakinan, tapi juga ketergantungan hati. Ketika hati nggak yakin bahwa Allah ﷻ penentu keberuntungan atau kesialan, maka otak akan mencari gantinya entah angka, arah, atau tanggal.

Baca juga: Cara Hidup Sederhana yang Bisa Bikin Jadi Kaya Raya

Tauhid dalam Dunia Bisnis

Tauhid bukan cuma urusan masjid. Ia juga harus hidup di ruang rapat, di proposal bisnis, dan di setiap keputusan finansial.

Kita sering bilang “semua atas izin Allah ﷻ,” tapi diam-diam masih menunggu tanda: arah pintu, tanggal bagus, atau “feeling hoki”.

Padahal, begitu hati menggantung pada selain Allah ﷻ, sekecil apa pun, di situlah retaknya tauhid kita dalam hal tawakal.

Tawakal kepada Allah ﷻ bukan pasrah tanpa usaha, tapi menjaga hati agar tak berpindah tempat bergantung.

Allah ﷻ berfirman:

وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barang siapa bertawakal kepada Allah, maka cukuplah Allah baginya.” (Quran Surat At-Talaq [65]: 3)

Tapi ingat, tawakal kepada Allah ﷻ bukan sekadar ucapan “aku serahkan pada Allah ﷻ” di akhir usaha saja. Ia punya tiga fase yang menunjukkan kemurnian tauhid seorang hamba:

Pertama, tawakal kepada Allah ﷻ sebelum bergerak, orang yang bertauhid harus menata niatnya, bukan malah tanya “arah mana yang hoki”, tapi “apakah langkah ini diridhai?” 

Kedua, tawakal kepada Allah ﷻ saat beramal, ia bekerja keras tanpa panik, karena yang ia cari bukan tanda, tapi keberkahan setiap prosesnya.

Ketiga, tawakal kepada Allah ﷻ ketika hasil datang, ia ridha: karena bagi orang beriman, untung dan rugi hanyalah dua cara Allah ﷻ dalam mendidik hati hamba-Nya.

Inilah logika bisnis yang berlandaskan tauhid. Keputusan terbaik bukan diambil dari tanda alam, tapi dari tenangnya iman.

Sebelum memutuskan sesuatu, bukan tanya tanggal berapa yang bagus, tapi tanya. “Apakah ini halal?”, “Apakah ini jujur?”, “Apakah ini mendekatkan aku pada ridha Allah ﷻ?”

kalo jawabannya iya, maka itulah hari baikmu.

Baca juga: Tanya Jawab Ustadz (1) Bab Riba

Penutup: Antara Hoki dan Hidayah

Kadang kita menyebut diri “pengusaha Muslim”, tapi masih takut memulai di “hari sial”. Kita rajin berdoa minta rezeki, tapi tetap menunggu sinyal dari arah pintu. Kita bicara tentang takdir Allah ﷻ, tapi masih percaya angka dan arah bisa mengubah nasib.

Padahal, kalo hati sudah meyakini ada kekuatan lain di balik sebab, berarti ada ruang kosong yang belum diisi oleh tauhid. Dan ruang kosong itu sekecil apapun bisa tumbuh jadi celah syirik kalo tak segera ditutup dengan ilmu dan iman.

Hoki mungkin bisa menenangkan sesaat, tapi hidayah menenteramkan selamanya.

Semoga setiap langkah bisnis dan kerja kita diarahkan bukan oleh tanda-tanda semu, tapi oleh cahaya petunjuk-Nya. Dan semoga Allah ﷻ menjadikan hati kita hanya bergantung kepada-Nya baik sebelum, ketika, dan sesudah setiap amal.

Karena bisnis yang paling untung bukan yang ramai pelanggan, tapi yang rezekinya bersih dari syirik.

“Rezeki bukan soal arah, tapi soal arah hati. Apakah menuju Allah , atau berpaling dari-Nya.”

Yuk penuhi langkah-langkah kita dengan cahaya iman dan tauhid dengan berharap hanya kepada-Nya.

Baca juga: Pentingnya Punya Skill di Zaman Ini

Yuk Mulai Investasi Halal di Nabitu.

Takut Hari Sial Salah Satu Bentuk Syirik Masa Kini
Takut Hari Sial Salah Satu Bentuk Syirik Masa Kini

Referensi

Al-Qur’an. Al-Karim.
Bukhari. Sahih Bukhari, Hadis no. 5776. Diakses dari https://sunnah.com/bukhari:5776
Sunan Abi Dawud, Hadis no. 3910. Diakses dari https://sunnah.com/abudawud:3910
Ibnul Qayyim. Zādu al-Ma‘ād fī Hadyi Khairil ‘Ibād, 2/441.
Ibnul Qayyim. Al-Fawāid, hlm. 90.

Redha Sindarotama

Quranic Reciter living in Yogyakarta. Actively teaching and spreading the beauty of Islam

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button