Muslim LifestyleUncategorized

Harta Kekayaan Ada, Tapi Kenapa Masih Gelisah?

Aneh ya, kalo yang gelisah justru bukan mereka yang kekurangan, tapi mereka yang sudah punya segalanya. Harta kekayaan berlimpah, rumah megah, kendaraan mentereng, saldo lebih dari cukup. Tapi tetap saja, ada keresahan yang muncul tanpa sebab yang jelas.

Ibarat duduk di sofa empuk yang tampak mewah, tapi ternyata kakinya keropos. Dari luar terlihat nyaman, tapi dasarnya rapuh. Begitu juga dengan hidup: kalau pondasinya nggak kuat, semua kenyamanan itu gampang runtuh. Kelihatan mapan, tapi dalamnya kosong dan goyah.

Sebagian orang lalu mencoba menenangkan diri dengan cara cepat. Jalan-jalan mewah, belanja impulsif, pesta sana-sini, bahkan ada yang akhirnya terjerumus ke hiburan-hiburan yang merusak. Bukannya reda, gelisah justru makin dalam. Yang dicari ketenangan, tapi yang datang malah masalah baru.

Kalau dipikir-pikir, mungkin gelisah itu bukan karena kurang harta kekayaan, tapi karena belum tahu untuk apa semua harta kekayaan itu dikumpulkan. Dan itulah yang akan kita telusuri,kenapa harta yang diharapkan membawa ketenangan… justru bisa jadi sumber gelisah saat maknanya mulai hilang.

Kaya Tapi Gak Tenang, Emang Bisa?

Banyak yang menyangka, kalau seseorang sudah punya harta kekayaan yang besar, hidupnya pasti lebih damai. Nggak perlu mikir biaya ini-itu, nggak khawatir tagihan, bisa hidup tenang tanpa tekanan. Karena itu, banyak orang mengejar kekayaan dengan segala cara, dengan harapan: “kalau sudah kaya, pasti tenang.”

Tapi kenyataan di lapangan nggak selalu sejalan. Justru ada orang yang setelah hartanya melimpah, malah makin sering gelisah. Semua sudah ada, rumah, mobil, bisnis, simpanan lebih dari cukup. Tapi ada sesuatu yang tetap terasa kosong. Sulit tidur. Mudah cemas. Pikiran sibuk, tapi arah hidup tak menentu.

Rasa gelisah itu muncul bukan karena harta kekayaannya kurang. Tapi karena makin besar yang dimiliki, makin besar pula rasa takutnya. Takut kehilangan. Takut disaingi. Takut gagal mempertahankan. Bahkan takut kalau semua ini ternyata… nggak ada artinya.

Di sinilah muncul satu ironi: apa yang dikejar untuk merasa aman, justru jadi sumber tekanan baru. Karena kalau yang jadi fondasi ketenangan adalah jumlah kekayaan, maka ketenangan itu akan rapuh. Gampang goyah kalau pasar jatuh, kalau proyek gagal, atau kalau ada yang lebih unggul.

Makanya, sebelum bicara soal bagaimana menggunakan harta, ada satu hal yang lebih dulu harus dipahami: apa yang sedang dikejar sebenarnya? Apa yang jadi standar keberhasilan? Karena bisa jadi, gelisah itu muncul bukan karena kurang, tapi karena kehilangan arah.

Baca juga: Kekayaan Bukan Life Goals dalam Islam

Saat Arah Hidup Mulai Kabur

Harta kekayaan itu seperti kendaraan. Semakin besar, semakin cepat, semakin canggih tapi tetap saja butuh arah. Kalau nggak tahu mau ke mana, kendaraan secanggih apa pun akhirnya cuma muter di tempat. Dan begitulah yang sering terjadi: hartanya bertambah, tapi tujuannya nggak pernah benar-benar jelas.

Ada yang sibuk mengumpulkan aset, memperluas bisnis, memperbanyak sumber pemasukan. Tapi saat ditanya, “Untuk apa semua ini?” jawabannya mengambang. Kadang cuma untuk merasa aman, kadang karena ikut-ikutan, kadang karena takut terlihat gagal. Padahal, di titik tertentu, harta tanpa arah justru bikin lelah.

Tanpa tujuan yang kokoh, harta kekayaan kehilangan makna. Ia nggak jadi alat untuk menguatkan, tapi malah jadi beban yang bikin khawatir. Bahkan ada yang sampai kehilangan diri, karena begitu fokus mengumpulkan, sampai lupa kenapa dulu memulai. Seolah-olah hidup hanya soal menambah, bukan soal menyampaikan.

Allah Ta’ala mengingatkan dalam firman-Nya:

{ أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ ﴿١﴾ حَتَّىٰ زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ ﴿٢

“Bermegah-megahan telah melalaikan kalian, sampai kalian masuk ke dalam kubur.” (QS. At-Takatsur: 1–2)

Ayat ini bukan melarang memiliki harta, tapi mengingatkan: kalau arah hidup hanya dipenuhi urusan memperbanyak, maka manusia bisa terbuai dan kehilangan tujuan sejati, bahkan sampai ajal datang.

Arah itu penting, bukan hanya karena menunjukkan tujuan, tapi karena membuat harta menjadi sarana, bukan sandaran. Kalau arahnya jelas, kekayaan bisa jadi berkah. Tapi kalau arahnya kabur, kekayaan justru bisa jadi jebakan. Harta kekayaan yang tanpa niat lurus ibarat air laut semakin diminum, semakin haus.

Di sinilah pentingnya setiap orang berhenti sejenak, bukan untuk menyerah, tapi untuk menimbang ulang: ke mana sebenarnya hidup ini sedang dibawa? Untuk apa semua kerja keras ini dilakukan? Dan apakah harta kekayaan yang dimiliki hari ini sedang mendekatkan… atau justru menjauhkan dari tujuan itu?

Baca juga: Gengsi dan Gaya Hidup dalam Islam

Hakikat Hidup dan Hakikat Harta Kekayaan

Hidup ini bukan sekadar soal menumpuk, tapi soal menyampaikan. Bukan soal seberapa banyak yang digenggam, tapi seberapa besar yang bisa memberi makna. Karena hakikat hidup dalam pandangan Islam bukan sekadar “menjadi sukses”, tapi menjadi hamba yang menjalankan amanah dengan benar.

Allah berfirman:
{ وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ }
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”
(QS. Adz-Dzariyat: 56)

Artinya, inti hidup bukan harta, jabatan, atau pencapaian duniawi. Itu semua hanya alat. Tujuan utamanya adalah ibadah dalam arti yang luas: mengabdi, tunduk, patuh, dan menjalankan hidup sesuai kehendak Allah. Maka, hidup yang kehilangan arah ibadah, akan selalu terasa kosong, meski terlihat penuh.

Begitu juga dengan harta kekayaan. Dalam Islam, harta adalah titipan, bukan kepemilikan mutlak. Bukan simbol kehormatan, tapi ujian.

Allah berfirman:
{ وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا }
“Dan kalian mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.”
(QS. Al-Fajr: 20)

Padahal, cinta harta yang berlebihan bisa membuat manusia lupa, bahwa harta itu bukan tujuan, tapi alat untuk meraih ridha Allah. Ia bisa mengangkat derajat jika digunakan dengan benar, tapi juga bisa menjerumuskan kalau membuat lalai dan sombong.

Karena itu, saat harta kekayaan mulai tak mengisi ruang jiwa, itu pertanda bahwa ia sedang tidak digunakan sesuai fungsi aslinya. Mungkin terlalu dikejar, tapi lupa diarahkan. Mungkin terlalu diandalkan, tapi lupa bahwa ketenangan bukan berasal darinya tapi dari hati yang tahu kepada siapa ia harus kembali.

Baca juga: Tolong Menolong dan Membantu Sesama Muslim

Beribadah dengan Harta Kekayaan

Banyak yang mengira ibadah itu hanya shalat, puasa, atau dzikir. Padahal, mengelola harta kekayaan pun bisa menjadi ibadah—asalkan niatnya benar dan caranya lurus. Karena dalam Islam, harta bukan tujuan akhir, tapi sarana untuk mendekat kepada Allah.

Harta bisa menjadi ladang amal. Ia bisa dipakai untuk menunaikan zakat, menyantuni keluarga, menolong sesama, bahkan menggerakkan ekonomi umat lewat usaha yang halal dan bermanfaat. Selama dilakukan karena Allah, dan bukan karena gengsi atau riya, maka itu adalah bentuk ibadah yang nyata.

Tapi jangan lupa: semakin besar harta, semakin besar pula pertanggungjawabannya. Rasulullah ﷺ bersabda:

“لا تزول قدما عبد يوم القيامة حتى يسأل عن عمره فيما أفناه، وعن علمه ما عمل فيه، وعن ماله من أين اكتسبه وفيم أنفقه…”
“Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat, sampai ia ditanya tentang: umurnya untuk apa dihabiskan, ilmunya untuk apa diamalkan, hartanya dari mana diperoleh dan untuk apa dibelanjakan…
(HR. Tirmidzi, No. 2341)

Hadits ini menegaskan: harta akan ditanya dua kali, bukan hanya berapa banyak, tapi bagaimana caranya diperoleh, dan ke mana ia digunakan. Ini berarti: harta bukan hanya angka, tapi amanah.

Jadi kalau hari ini seseorang diberi limpahan kekayaan, itu bukan sekadar “rezeki”, tapi juga “ujian”. Mampukah dia menjadikannya sebagai jalan ibadah, atau justru tergelincir karena lalai arah?

Baca juga: Syirkah Sebagai Penggerak Harta dan Sumber Daya Ummat

Khatimah

Harta kekayaan bukan musuh. Ia juga bukan segalanya. Tapi ia bisa jadi berkah yang mendekatkan pada Allah, atau justru beban yang menjerumuskan pada kegelisahan, tergantung bagaimana seseorang memperlakukannya.

Saat arah hidup jelas, dan tujuan harta ditautkan pada nilai ibadah, maka gelisah bisa luruh. Bukan karena hartanya sedikit, tapi karena fungsinya kembali pada tempat yang semestinya: bukan untuk disembah, tapi digunakan. Bukan untuk ditimbun, tapi untuk disampaikan kepada yang berhak.

Maka, kalau hari ini seseorang merasa jenuh, gelisah, atau kehilangan makna di tengah limpahan harta, mungkin bukan jumlahnya yang salah—tapi arah dan niatnya yang perlu diluruskan.

Mulailah dari niat. Luruskan tujuan pengelolaan harta. Pastikan setiap pemasukan dan pengeluaran bukan hanya halal, tapi juga bermakna. Jadikan harta sebagai alat ibadah, bukan beban yang terus dikejar tanpa ujung.

Karena kelak, bukan seberapa banyak yang dikumpulkan yang ditanya, tapi dari mana harta itu datang dan untuk apa ia pergi. Dan di situlah letak ketenangan: saat kita sadar, bahwa semua ini sedang dalam perjalanan pulang kepada-Nya.

Harta Kekayaan Ada, Tapi Kenapa Masih Gelisah?
Harta Kekayaan Ada, Tapi Kenapa Masih Gelisah?

Yuk Mulai Investasi Halal di Nabitu.

Referensi

Al-Qur’an al-Karim.
At-Tirmidzi, Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa. Sunan at-Tirmidzi, Hadits no. 2341. Diakses dari: https://www.hadits.id/hadits/tirmidzi/2341 

Redha Sindarotama

Quranic Reciter living in Yogyakarta. Actively teaching and spreading the beauty of Islam

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button