Murabahah dengan Wakalah? Bolehkah?
Murabahah adalah salah satu produk pembiayaan yang populer dalam perbankan syariah, di mana bank membeli barang atas nama nasabah dan menjualnya kembali kepada nasabah dengan margin keuntungan yang disepakati. Sementara itu, wakalah adalah akad perwakilan di mana seseorang atau lembaga menunjuk pihak lain untuk melakukan suatu tindakan atas nama mereka. Kombinasi kedua konsep ini sering digunakan dalam praktik perbankan syariah. Namun, pertanyaannya adalah, apakah kombinasi Murabahah dengan Wakalah ini diperbolehkan menurut hukum syariah?
Murabahah dalam Perspektif Syariah
Murabahah adalah akad jual beli dalam Islam di mana penjual mengungkapkan harga pokok barang yang dijual serta margin keuntungan yang diinginkan kepada pembeli. Ini adalah salah satu bentuk jual beli yang diperbolehkan karena memenuhi prinsip transparansi dan kejujuran. Dalam konteks perbankan syariah, murabahah digunakan sebagai produk pembiayaan di mana bank membeli barang yang diinginkan oleh nasabah dan kemudian menjualnya kembali kepada nasabah dengan harga yang telah disepakati, termasuk margin keuntungan. Konsep ini berbeda dari pinjaman konvensional karena tidak ada elemen riba (bunga) yang terlibat.
Wakalah dalam Perspektif Syariah
Wakalah adalah sebuah akad dalam Islam di mana satu pihak (muwakkil) memberikan wewenang kepada pihak lain (wakil) untuk melakukan suatu tugas atau transaksi tertentu atas nama mereka. Delegasi ini dapat mencakup berbagai aktivitas, termasuk transaksi keuangan, pembelian barang, atau mewakili pihak pemberi kuasa dalam urusan hukum. Wakil bertindak dalam lingkup wewenang yang diberikan oleh muwakkil dan harus mematuhi prinsip-prinsip syariah dalam melaksanakan tugas yang didelegasikan.
Murabahah dengan Wakalah
Kombinasi antara Murabahah dan Wakalah dalam praktik perbankan syariah sering terjadi ketika bank menunjuk nasabah sebagai wakil untuk membeli barang yang dipesan. Fatwa DSN-MUI mengenai hal ini bisa dilihat pada fatwa DSN MUI no 04/DSN-MUI/IV/2000 mengenai Murabahah sebagai berikut:
“4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
…
9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.”
Sementara AAOIFI mengatur wakalah dalam pembiayaan murabahah dalam standar syariahnya sebagai berikut:
“الأصل أن تشتري المؤسسة السلعة بنفسها مباشرة من البائع ، ويجوز لها ذلك عن طريق وكيل غير الآمر بالشــراء، ولا تلجأ لتوكيــل العميل (الآمــر بالشــراء) إلا عند الحاجــة الملحة. ولا يتولى الوكيل البيع لنفســه، بل تبيعه المؤسسة بعد تملكها العين، وحينئذ يراعى ما جاء في البند .٥/١/٣
٤/١/٣ يجب اتخاذ الإجراءات التي تتأكد المؤسســة فيها من توافر شروط محددة في حالة توكيل العميل بشراء السلعة، ومنها:
(أ) أن تباشر المؤسسة دفع الثمن للبائع بنفسها وعدم إيداع ثمن الســلعة في حســاب العميل الوكيــل. كلما أمكن
ذلك.
(ب) أن تحصل من البائع على وثائق للتأكد من حقيقة البيع.
٥/١/٣ يجــب الفصل بيــن الضمانين: ضمان المؤسســة، وضمان العميل الوكيل عن المؤسسة في شراء السلعة لصالحها، وذلك بتخلل مدة بيــن تنفيذ الوكالة وإبرام عقــد المرابحة من خلال الإشــعار من العميل بتنفيذ الوكالة والشــراء، ثم الإشــعار من المؤسسة بالبيع (ينظر الملحق «أ» والملحق والملحق «ب»).”
“3.1.3.Lembaga harus membeli aset itu sendiri secara langsung dari penjual, tetapi dapat melakukannya melalui agen selain nasabah, dan tidak boleh menggunakan nasabah sebagai wakil (pemesan) kecuali dalam keadaan mendesak. (Nasabah)wakil tidak menjual untuk dirinya sendiri, tetapi lembagamenjualnya setelah memiliki properti tersebut, dan kemudian ketentuan klausul 5.1.3 harus dipertimbangkan.
4.1.3 Prosedur harus diambil untuk memastikan bahwa Lembaga memastikan bahwa kondisi tertentu terpenuhi dalam hal nasabah memberi kuasa kepada agen untuk membeli aset, termasuk
(a) Lembaga harus melanjutkan pembayaran harga kepada penjual itu sendiri dan tidak boleh menyimpan harga komoditas di rekening bank Nasabah. Jika memungkinkan.
(b) Mendapatkan dokumen dari penjual untuk mengonfirmasi kebenaran penjualan.
5.1.3 Dua jaminan harus dipisahkan: Jaminan lembaga dan jaminan nasabah yang menjadi wakil lembaga dalam membeli aset atas namanya, selama periode antara pelaksanaan keagenan dan penandatanganan kontrak Murabahah Dengan memberitahukan kepada nasabah tentang pelaksanaan wakalah dan pembelian, dan kemudian memberitahukan kepada Lembaga tentang penjualan (lihat Lampiran A, Lampiran A dan Lampiran B). “
Maka dari 2 standar di atas ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
1.Asalnya lembaga keuangan syariah membeli aset murabahah sendiri dan tidak mewakilkannya kepada nasabah.
2.Jika lembaga keuangan syariah mewakilkan nasabah untuk membeli aset murabahah, maka berlaku ketentuan berikut:
a.Lembaga keuangan syariah harus menjual sendiri aset tersebut ke nasabah dan tidak mewakilkan nasabah untuk menjualnya ke dirinya sendiri.
b.Lembaga keuangan syariah harus memastikan penerimaan aset sebelum menjualnya ke nasabah.
c.Aset murabahah sebelum dijual ke nasabah masih dalam tanggungan lembaga keuangan syariah.
Kesimpulan
Berdasarkan fatwa DSN-MUI dan standar AAOIFI, kombinasi Murabahah dengan Wakalah diperbolehkan dalam syariah, selama semua pihak yang terlibat mematuhi prinsip-prinsip yang telah ditetapkan. Hal ini memberikan fleksibilitas dalam praktik perbankan syariah sambil tetap menjaga integritas syariah.
Baca juga:Akad Murabahah: Solusi Pembiayaan Pengadaan Syariah
Referensi
- Majelis Ulama Indonesia. (2000). Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah. Jakarta: Dewan Syariah Nasional MUI. Retrieved from https://dsnmui.or.id/kategori/fatwa/page/16/
- Majelis Ulama Indonesia. (2000). Fatwa DSN-MUI No. 10/DSN-MUI/IV/2002 tentang Wakalah. Jakarta: Dewan Syariah Nasional MUI. Retrieved from https://dsnmui.or.id/kategori/fatwa/page/16/
- AAOIFI. (2017). Shari’ah Standards. Manama: Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions.