Muslim LifestyleOpini

Pentingnya Kemampuan Berbahasa, Literasi dan Argumentasi: Sunnah yang Terlupakan dalam Pendidikan

Tulisan ini masih berhubungan dengan tulisan sebelumnya mengenai ternyata beberapa perintah pertama dari Allah adalah mengenai “membaca” dan “pena”, yaitu perintah untuk meningkatkan kemampuan literasi. Dalam tulisan ini, akan dibahas pula secara singkat mengenai pentingnya kemampuan berbahasa dan berargumen.

Bilingual adalah memiliki kemampuan dua bahasa secara fasih. Banyak studi yang mengatakan bahwa orang-orang bilingual mendapatkan banyak manfaat dari kemampuannya, di antaranya adalah memiliki rentang fokus lebih panjang, kemampuan multi-tasking, kesempatan lebih besar untuk dapat pekerjaan, tingkat stress lebih rendah, pikiran yang lebih terbuka, kemampuan recovery dari stroke lebih cepat [1], bahkan menunda penuaan dan mengurangi resiko terkena demensia dan alzheimer [2].

Manfaat dari berkemampuan dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, dapat nyata terlihat dari fakta-fakta sekitar kita. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Divisi Karir ITB, alumni yang memiliki kemampuan fasih berbahasa inggris memiliki gaji 21 juta rupiah lebih besar dari alumni yang kurang fasih berbahasa Inggris. Banyak pula contoh pendiri start-up yang berhasil menarik investor untuk mengembangkan usahanya berkat kemampuan berbahasa Inggris. Salah satu contohnya adalah ex-CEO Gojek, Nadiem Makarim. Coba deh perhatikan bagaimana dia berbahasa Inggris. Bagi saya, his english is extremely fluent, his vocabularies are wide-ranging and accurate, and he is able to articulate his idea in a very compelling way. Tidak heran mas Nadiem bisa sangat sukses dalam profesinya.

Di samping bahasa lokal dan bahasa internasional, bahasa yang memberi manfaat terbesar bagi seorang muslim adalah bahasa Arab. Bahasa Arab adalah kunci-kunci ilmu dan wawasan Islam. Tidak mungkin kita mengerti Al Quran dan Al Hadits secara benar-benar akurat tanpa menguasai bahasa Arab. Dalam ayat juga disebutkan, “Sesungguhnya Kami menurunkan al Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya” (QS 12:2), lalu “Al Quran dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan” (QS 39:28), juga “al Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Rabb semesta alam, …, dengan bahasa Arab yang jelas (QS 26:192,195)”.

Saya punya kisah tersendiri mengenai tafsir sesat dikarenakan tidak faham bahasa Arab. Ada sekelompok orang yang mengaku rasul, karena rasul dalam bahasa arab artinya utusan atau penyampai pesan. Jadi menurut mereka, siapapun yang berda’wah adalah rasul. Mereka pun mengajarkan ketaatan kepada pemimpin organisasi setara dengan ketaatan kepada rasul. Ayat yang disampaikan sangat jelas, namun tafsir yang diberikan sesat dan menyesatkan. Kata Rasul menurut bahasa dan menurut syariat dicampur aduk. Ribuan orang mengikutinya hanya karena tidak faham grammar dasar bahasa Arab, yaitu nahwu dan sharaf. Dengan sedikit ilmu bahasa Arab saja, dapat ditemukan bahwa kata rasul yang digunakan dalam ayat-ayat mengenai orang mu’min itu menggunakan isim mufrod (tunggal). Itu berarti jumlah rasul untuk orang mu’min, yaitu ummat Nabi Muhammad hanya satu orang, yaitu Rasulullah Muhammad saw. Tidak ada lagi rasul setelahnya.

Jordan Peterson, seorang ahli psikologi dari Kanada dalam kelasnya [3] mengatakan bahwa kemampuan menulis itu melatih kemampuan berpikir. Kemampuan berpikir, bicara dan menulis adalah ‘the most powerful weapon you can possibly provide someone with’, senjata terkuat untuk bertarung di bidang apapun di dunia ini. Kemampuan menulis dan bicara ini termasuk kemampuan memformulasikan ide dan argument dengan terorgaisir dan koheren. Inilah yang salah dalam pendidikan saat ini, menurut Peterson, karena universitas sering memberikan tugas essay dan menulis kepada mahasiswa tanpa menjelaskan kenapa harus menulis. Padahal berargumen secara terstruktur adalah salah satu skill yang paling ‘dangerous’ menurut beliau.

Fasih berbahasa lebih dari satu bahasa, kemampuan literasi dan berargumen adalah kemampuan yang jarang mendapat perhatian dari para orang tua muslim. Para orangtua sibuk mengusahakan dan membanggakan kemampuan menghafal al Qur’an. Padahal kemampuan bilingual, literasi dan berargumen sangat krusial dalam da’wah dan persatuan umat Islam seluruh dunia. Rasulullah saw pernah menugaskan Zaid bin Haritsah mempelajari bahasa yahudi untuk menulis dalam bahasa Yahudi, maka berarti kemampuan fasih dalam lebih dari satu bahasa juga ternyata adalah Sunnah, dan kemungkinan besar hukumnya fardu kifayah. Muhammad al Fatih penakluk Konstantinopel, hafal al Quran dan menguasai 7 bahasa, maka berarti kemampuan berbahasa lebih adalah kunci-kunci kebaikan dan kebangkitan. Nabi saw pun merupakan Nabi yang dianugerahi kefasihan dalam bahasa Arab, sampai sampai para shahabat pernah takjub karena luasnya vocabulary yang dimiliki Nabi saw. Fasih berbicara dan terstruktur dalam berargumen adalah beberapa keunggulan yang dimiliki Nabi dalam da’wah sehingga Nabi Muhammad saw memiliki ummat terbanyak dibandingkan Nabi-Nabi yang lain.

Jika engkau ingin menggenggam dunia, maka kuasailah bahasa Internasional. Jika engkau ingin meraih akhirat, maka kuasailah bahasa Arab. Sudah saatnya umat Islam bangkit; dari segi budaya literasi, frekuensi membaca, kekuatan dalam berargumen melalui lisan dan tulisan, dan yang tak kalah pentingnya, menguasai lebih dari satu bahasa secara fasih. Jangan hanya menghafal saja. Kemampuan-kemampuan inilah yang sudah sepatutnya kita usahakan untuk dimiliki oleh kita dan anak-anak kita sebagai senjata terkuat dalam pertarungan da’wah di masa depan untuk mempersatukan umat Islam seluruh dunia.

Referensi:
[1] https://bilingualkidspot.com/2017/05/23/benefits-of-being-bilingual/
[2] https://www.fluentu.com/blog/benefits-of-being-bilingual/
[3] https://youtu.be/x0vUsxhMczI

Tangerang,
2019

Anbarsanti

Founder nabitu.id | Mahasiswa Ph.D., Nanyang Technological University, Singapura.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button