AkhlaqAqidahMuslim LifestyleOpiniUncategorized

Hikmah Dibalik Memberikan Udzur dalam Pembayaran Utang

Bicara soal utang, kadang bawaannya langsung tegang, ya?

Apalagi kalau udah ngomongin soal keterlambatan bayar. Kesannya langsung negatif. Seolah-olah yang nunggak itu pasti lalai… atau bahkan dianggap nggak niat bayar.

Padahal, nggak selalu begitu. Karena ada orang yang memang lagi benar-benar kesulitan. Mau bayar, tapi dananya belum ada. Usaha sepi, kebutuhan rumah tangga jalan terus. Niatnya baik, tapi keadaannya belum memihak.

Sayangnya, banyak dari kita yang buru-buru menilai. Belum ditanya kabarnya, udah kirim tagihan. Belum tahu duduk masalahnya, udah curiga macam-macam.

Di sinilah Islam ngajarin hal yang beda. Bahwa syariat itu bukan cuma soal hitung-hitungan. Tapi juga ngajarin adab, kasih sayang, dan empati. Termasuk dalam urusan utang-piutang.

Menariknya, Rasulullah ﷺ pernah menyebut bahwa penundaan kewajiban pembayaran utang kepada orang yang kesulitan itu bisa jadi sedekah.

Dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya,

من أنظر معسرًا فله بكل يوم صدقة قبل أن يحل الدين فإذا حل الدين فأنظره كان له بكل يوم مثلاه صدقة

“Barangsiapa memberi tenggang waktu pada orang yang berada dalam kesulitan, maka setiap hari sebelum batas waktu pelunasan,  dia akan dinilai telah bersedekah. Jika utangnya belum bisa dilunasi lagi, lalu dia masih memberikan tenggang waktu setelah jatuh tempo, maka setiap harinya dia akan dinilai telah bersedekah dua kali lipat nilai piutangnya.” (HR. Ahmad)

Sedekah yang satu ini bukan karena kita ngasih uang, tapi karena kita ngasih napas. Ngasih ruang. Dan itu nilainya besar banget di sisi Allah ﷻ.

Inilah yang sering luput dari perhatian: Bahwa menunda penagihan, dalam kondisi tertentu, bisa bernilai sedekah. Diam-diam berpahala. Tak terlihat orang lain, tapi dicatat oleh Allah ﷻ.

Utang Itu Bukan Aib, Tapi Amanah

Banyak yang merasa malu kalau ketahuan punya utang. Seolah-olah itu hal yang buruk atau dosa. Bahkan ada yang sampai berusaha sembunyikan mati-matian karena takut dinilai negatif.

Padahal… dalam Islam, utang itu bukan sesuatu yang haram. Rasulullah ﷺ sendiri pernah berutang. Para sahabat pun tak sedikit yang pernah berutang.

Artinya, utang itu bagian dari muamalah yang sah dan manusiawi. Yang penting, niatnya benar, caranya halal, dan ada tekad untuk melunasi.

Yang jadi masalah adalah kalau seseorang mampu bayar tapi malah sengaja menunda, atau bahkan melarikan diri. Nah, itu yang disebut zalim.

Rasulullah ﷺ bersabda:
مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ
“Menunda-nunda pembayaran utang bagi orang yang mampu adalah kezaliman.”  (HR. Bukhari & Muslim)

Tapi, kalau memang benar-benar belum mampu karena usahanya turun, atau pemasukan macet, maka ia tidak termasuk orang yang berdosa. Malah sebaliknya, Islam justru memerintahkan kita untuk memahami kondisi mereka.

Allah ﷻ berfirman:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 280)

Jadi, bukan utangnya yang jadi masalah. Tapi bagaimana kita memperlakukan amanah itu.

Dan bagi yang sedang terlilit utang, jangan merasa rendah. Yang penting, tetap jujur, terus berusaha, dan mohon pertolongan kepada Allah ﷻ. Karena kalau amanah dijaga, insya Allah jalan keluar pasti terbuka.

 Utang itu bukan aib, tapi tanggung jawab.
Selama kita tidak ingkar dan tetap berikhtiar, Islam justru memuliakan sikap itu.

Baca juga: Kejujuran Adalah Kunci Kesuksesan Bisnis

Menunda Penagihan, Sedekah yang Tak Terlihat

Kadang kita mikir, sedekah itu ya cuma soal kasih uang. Atau paling banter, kasih barang. Pokoknya harus kelihatan wujudnya.

Padahal, Islam mengajarkan bentuk sedekah yang jauh lebih halus. Yang nggak selalu kelihatan… tapi nilainya besar di sisi Allah ﷻ.

Salah satunya: menunda penagihan kepada orang yang lagi kesulitan.

Bayangin gini, ada teman atau kerabat yang berutang ke kita. Tanggal jatuh temponya udah dekat, tapi kita tahu betul dia lagi susah: anak sakit, kerjaan sepi, pemasukan belum ada.

Nah, saat itu kita punya dua pilihan:
Pertama, tetap menagih sesuai jadwal.
Kedua, kita tunda dulu. Kita beri napas. Kita kasih ruang.

Kalau pilih yang kedua dengan niat karena Allah ﷻ maka itu bisa jadi sedekah.

Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ لَهُ، أَظَلَّهُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ
“Barangsiapa memberi tenggang waktu kepada orang yang kesulitan, atau membebaskannya, maka Allah akan menaunginya dalam naungan-Nya (pada hari kiamat).” (HR. Muslim)

Masya Allah…

Ini bukan sedekah biasa. Tapi sedekah yang Allah balas dengan perlindungan khusus di hari yang sangat sulit yaitu hari kiamat.

Kadang kita suka lupa: Bahwa yang terlihat “rugi” di dunia, bisa jadi untung besar di akhirat.

Dan sedekah model ini… seringnya gak di-notice sama orang. Tapi Allah ﷻ Maha Melihat. Dia tahu, kita nahan diri, sabar, dan lapang dada. Bahkan ketika kita juga lagi butuh.

Jadi, ketika kamu memilih untuk gak buru-buru menagih orang yang benar-benar kesulitan… Itu bukan kelemahan. Itu sedekah.

Baca juga: Aturan dan Adab dalam Investasi Syariah

Memberi Ruang Itu Membuka Rasa Aman

Setiap orang yang sedang dalam tekanan, sebenarnya bukan cuma butuh uang. Kadang yang lebih mereka butuhkan adalah ruang untuk bernapas.

Ketika seseorang terlilit utang, lalu terus-menerus dikejar tagihan, ditelepon, dikasih batas waktu ketat, atau bahkan dipermalukan, maka apa yang akan terjadi?
Bukan cuma dompetnya yang sempit, tapi juga hatinya ikut sesak.

Padahal bisa jadi, dia sedang berusaha sekuat tenaga. Tapi hasil belum juga datang.

Nah, di sinilah indahnya ajaran Islam. Kita diajak untuk memberi ruang, bukan sekadar memberi waktu.

Bukan hanya menunda penagihan, tapi juga menenangkan: “Tenang, saya tahu kamu sedang usaha. Fokus dulu perbaiki keadaan. Kalau Allah ﷻ sudah mudahkan, kita selesaikan pelan-pelan.”

Kalimat sederhana, tapi dampaknya luar biasa.

Dengan memberi ruang seperti itu, kita sedang membangun rasa aman. Dan rasa aman ini bisa jadi kunci seseorang bangkit lagi.

“Kadang, yang bikin orang gagal bukan utangnya…
Tapi rasa tertekan dan kehilangan kepercayaan dari orang-orang di sekitarnya.”

Baca juga: Bagi Hasil atau Riba? Kenali Bedanya dari Awal

Sabar Menagih, Cermin Kematangan Hati

Tentu, menagih hak itu boleh. Bahkan termasuk bagian dari menjaga amanah. Tapi caranya… bisa beda-beda.

Ada yang menagih dengan tegas tapi tetap santun. Ada juga yang menagih dengan nada tinggi dan mempermalukan.

Kalau kita memilih bersabar, bukan berarti kita lemah. Justru itu tanda kematangan hati.
Kita sedang menahan nafsu, dan menyerahkan urusan ini ke Allah ﷻ dengan tetap menjaga adab.

Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ يُسِّرَ عَلَى مُعْسِرٍ، يُسِّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Siapa yang memberi kemudahan bagi orang yang kesulitan, Allah akan mudahkan baginya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)

Masya Allah…
Kita nggak pernah tahu kapan giliran kita berada di posisi sulit. Maka siapa yang hari ini memberi kemudahan, besok insya Allah akan diberi kemudahan juga.

Baca juga: Mengupas Dosa Tersembunyi dalam Dunia Pemasaran Produk

Kesimpulan

Penundaan kewajiban pembayaran utang bukan berarti kalah.

Kalau orang yang kita beri utang sedang dalam kondisi sulit dan kita memilih bersabar, maka itu adalah amal saleh yang besar nilainya.

Itu bukan kerugian. Tapi justru bisa jadi sedekah yang tak terlihat. Dan sedekah seperti inilah yang akan menjadi pelindung kita di hari yang paling berat yaitu hari kiamat.

Maka, kalau hari ini kamu sedang menahan diri untuk tidak menagih dengan kasar…
Atau memilih untuk menunggu karena tahu saudaramu sedang terpuruk…

Percayalah, Allah ﷻ sedang melihatmu. Dan itu lebih dari cukup.

Hikmah Dibalik Memberikan Udzur dalam Pembayaran Utang
Hikmah Dibalik Memberikan Udzur dalam Pembayaran Utang

Yuk Mulai Investasi Halal di Nabitu.

Referensi

Al-Qur’an Al karim. Diakses dari: https://tafsirweb.com/
Muslim bin al-Hajjaj al-Qushayri. Ṣaḥīḥ Muslim. Diakses dari https://hadits.id/hadits/muslim/
al-Bukhārī, Muḥammad ibn Ismāʿīl, dan Muslim bin al-Ḥajjāj. Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan Ṣaḥīḥ Muslim,. Diakses dari:https://hadits.id/hadits/muslim/ 

Redha Sindarotama

Quranic Reciter living in Yogyakarta. Actively teaching and spreading the beauty of Islam

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button