AkhlaqMuslim LifestyleUncategorized

Pentingnya Fondasi dan Peran Suami Istri dalam Rumah Tangga

Ngomong-ngomong soal peran suami istri dalam rumah tangga menurut Islam itu, kadang memang rasanya seolah kayak debat panjang yang nggak selesai-selesai. 

Banyak yang sibuk nuntut hak, sibuk pingin diakui, tapi lupa nata hati kalo hakikat hidup itu cuma buat ibadah, dan aturannya datang dari Allah ﷻ. Kalo sudah ego yang main, rumah yang harusnya jadi tempat pulang penuh tenang, malah jadi arena adu gengsi penuh emosi.

Sebenernya, rumitnya peran suami istri dalam rumah tangga itu bukan karena Islam membebani, tapi karena kita sering nyari formulanya di tempat yang salah. Kita lebih sibuk ngikutin trend atau kata orang ketimbang petunjuk Allah ﷻ yang jelas-jelas lebih stabil dari mood manusia. 

Padahal Allah ﷻ sudah janji: 

…فَمَن تَبِعَ هُدَاىَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

…maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak akan bersedih.” (Quran Surah Al-Baqarah [2]: 38). 

Sederhana, kan? Tinggal ikutin petunjuk-Nya, hati pasti tenang.

Makanya, sebelum ngomong panjang soal peran suami istri dalam rumah tangga menurut Islam, kita perlu reset dulu pondasinya. Ikut petunjuk dulu, baru diskusi. 

“Biar rumah tangga itu nggak cuma berjalan gitu aja, tapi jalan dengan berkah tanpa rasa takut berlebih dan sedih yang berlarut, karena standar hidupnya diserahkan ke Allah ﷻ dari sejak awal.”

Fondasi Awal, Apa Tujuan Menikah?

Nah, kalau kita sudah sepakat mau reset dan kembali pada petunjuk Allah ﷻ, pertanyaan pertama yang harus kita sadari adalah, kita menikah ini mau ngapain sih?

Jangan-jangan kita kejebak, kalo nikah itu kayak kerjasama dua perusahaan. Si suami bawa apa, si istri bawa apa, nanti untungnya berapa. Kalo gitu akhirnya, sibuk hitung-hitungan kontribusi finansial. 

Padahal, petunjuk kita (syariah) memandang hubungan suami istri itu bukan kayak syirkah (kemitraan bisnis), tapi lebih mirip shuhbah (persahabatan yang mendalam).

Tujuan Pertama: Mencari “Sakinah” (Ketenangan)

Kalau fondasinya persahabatan, maka tujuan utamanya bukanlah profit materi, tapi Sakinah (ketenteraman).

Coba kita renungkan firman Allah ﷻ ini:

وَمِنۡ اٰيٰتِهٖۤ اَنۡ خَلَقَ لَكُمۡ مِّنۡ اَنۡفُسِكُمۡ اَزۡوَاجًا لِّتَسۡكُنُوۡۤا اِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُمۡ مَّوَدَّةً وَّرَحۡمَةً

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram (litaskunu) kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang…” (Quran Surat Ar-Rum [30]: 21).

Kata kuncinya di ayat itu, litaskunu atau biar keduanya tenang. Biar rumah itu jadi tempat berbagi kasih dan sayang. Kalau tujuan kita menikah adalah sakinah, maka “adu gengsi” dan “rebutan peran” yang kita bahas di pengantar tadi jadi nggak relevan lagi, kan?

Tujuan Kedua: Melestarikan Generasi

Nah, dari ketenangan inilah, lahir tujuan mulia yang kedua yaitu, melestarikan keturunan.

Islam memandang hubungan pernikahan pria dan wanita ini sangat suci, tujuannya adalah untuk menjaga dan melestarikan jenis manusia. Bukan sekadar pelampiasan nafsu ala peradaban Barat yang bebas tapi kosong.

Allah ﷻ berfirman:

…وَجَعَلَ لَكُم مِّنْ أَزْوَٰجِكُم بَنِينَ وَحَفَدَةً… “

…dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu…” (Quran Surat An-Nahl [16]: 72).

Jadi, sekarang fondasinya jelas: 1) Mencari ketenangan (sakinah), 2) Melahirkan generasi (keturunan).

Kalau tujuan kita menikah saja sudah beda (misalnya, cuma cari pasangan sukses, biar finansial aman), wajar kan kalau di tengah jalan rasanya goyah? Nah, untuk mencapai dua tujuan mulia inilah, syariah memberikan keadilan peran. Di sinilah kita akan bahas lebih dalam tentang peran suami istri dalam rumah tangga menurut Islam yang lebih spesifik.

Baca juga: Takut Hari Sial Salah Satu Bentuk Syirik Masa Kini

(Qawwam) Peran Suami dalam Rumah Tangga Menurut Islam

Kalo tujuan menikah sudah jelas, sekarang kita masuk ke pembagian perannya. Petunjuk kita, syariah Islam memberikan peran suami dalam Islam yang pertama dan utama adalah qawwam (pemimpin). Peran ini seringkali disalahpahami, padahal di sinilah letak kunci berkah kehidupan keluarga.

Memahami Makna “Qawwam” (Pemimpin)

Bagi sebagian telinga modern, ketika dengar kata pemimpin mungkin langsung defensif. “Wah, ini pasti mau ngomongin dominasi!”

Tunggu dulu! Di sinilah bedanya standar kita dengan standar diluar islam. Dalam Islam, kepemimpinan (qawwamah) itu bukan soal siapa yang paling berkuasa atau siapa yang bisa seenaknya memerintah. Kepemimpinan dalam Islam adalah soal siapa yang paling berat tanggung jawabnya.

Allah ﷻ juga berfirman:

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوۡنَ عَلَى النِّسَآءِ

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…” (Quran Surat An-Nisa’ [4]: 34).

Apa buktinya kepemimpinan itu adalah tanggung jawab? Ayat tadi tidak berhenti di situ. Coba kita baca lanjutannya dengan saksama, kenapa pria diberi amanah itu?

بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعۡضَهُمۡ عَلٰى بَعۡضٍ وَّبِمَاۤ اَنۡفَقُوۡا مِنۡ اَمۡوَالِهِمۡ​

..oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (Quran Surat An-Nisa’ [4]: 34) .

Selain itu juga diperkuat dengan sabda Rasulullah ﷺ:

كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban.” (Hadits Riwayat Bukhari no. 2554)

Nafkah Itu Kewajiban Mutlak, Bukan Sekadar “Bantuan”

Di sinilah amanah utama seorang pria. Ini adalah peran pokoknya. Bekerja, memastikan keluarganya terjamin. Ini bukan pilihan, ini adalah kewajiban dan islam sangat tegas soal ini. Memenuhi nafkah adalah kewajiban suami dalam rumah tangga yang paling mendasar, yang dibebankan penuh dan mutlak di pundak pria (suami).

Allah ﷻ berfirman lagi:

وَعَلَى الۡمَوۡلُوۡدِ لَهٗ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِالۡمَعۡرُوۡفِ​ؕ

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.” (Quran Surat Al-Baqarah [2]: 233).

Tanggung jawab ini meliputi mahar, makanan, pakaian, dan tempat tinggal adalah amanah berat yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah ﷻ. Kalo pria sampai ninggalin peran ini, rumah tangga bakal kehilangan tiangnya. Dan sudah tentu di sisi Allah ﷻ dapet dosa.

Bagi para suami, ini penting buat direnungkan. Kalo hari ini masih merasa hebat karena seolah-olah sudah membantu istri bayar tagihan listrik, atau sekadar berkontribusi untuk uang belanja (karena istri juga bekerja), mungkin kita lupa baca petunjuk-Nya.

Ingat, nafkah itu bukan bantuan, bukan juga kontribusi. Itu adalah amanah pokok kita dan hukumnya wajib.

Baca juga: Hati-hati Syirik! Jimat Berkedok Kaligrafi Islam

(Ummun wa Rabbah al-Bayt) Peran Istri dalam Rumah Tangga Menurut Islam

Jika suami adalah penanggung jawab urusan eksternal (nafkah), maka peran istri dalam rumah tangga adalah peran pokok yang tak kalah mulianya, yaitu sebagai Ummun wa Rabbah al-Bayt (ibu sekaligus pengelola rumah).

Peran Pokok, Ummun wa Rabbah al-Bayt 

Ini bukan sekadar ibu rumah tangga. Ini adalah sebagaimana Manajer Internal, penjaga peradaban, akar ketenangan, dan sekolah pertama bagi generasi penerus peradaban.

Dalam Islam, status ini bukanlah penyempitan karier, tapi justru bentuk pemuliaan. Karena tugasnya begitu berat dan strategis (mendidik, membentuk akhlak, membangun kepribadian islam), syariah Islam sangat memuliakan wanita dengan membebaskannya dari kewajiban mencari nafkah.

Coba kita renungi sejenak. Jika seorang wanita sudah menanggung beban mengandung, melahirkan, menyusui, dan mendidik yang semuanya sangat menguras energi fisik dan mental, lalu ia masih dibebani pula kewajiban mencari nafkah, bukankah itu menzalimi fitrahnya?

Status Hukum Wanita Bekerja (Mubah, Bukan Wajib)

Nah sekarang pertanyaannya, apakah wanita tidak boleh berkarier atau berbisnis?

Jawabannya adalah wanita boleh saja bekerja. Syariah tidak menutup pintu itu. Hukum asal wanita bekerja adalah mubah (boleh). Wanita boleh bertani, berdagang, berkarir profesional, atau menjadi pegawai, selama pekerjaannya tidak menyalahi syariah, tidak mengorbankan amanah pokoknya, dan ia tetap menjaga adab-adab pergaulan Islam.

Tapi memang yang seringkali tertukar di zaman ini adalah perbedaan status hukum yang fundamental dalam pembagian peran suami istri:

Bagi Pria: Bekerja mencari nafkah = KEWAJIBAN.
Bagi Wanita: Bekerja = KEBOLEHAN (Mubah).

Artinya, kalau wanita memilih (atas keridhaannya) untuk bekerja atau berbisnis, itu adalah pilihannya jika diizinkan suami. Nah, harta yang ia hasilkan adalah 100% miliknya. Kewajiban suami untuk menafkahi istri yang punya penghasilan juga tidak gugur dan tidak berkurang sepeser pun.

Jika istri dengan ikhlas membantu ekonomi keluarga itu beda, karena itu adalah bentuk ihsan (kebaikan) dan sedekah darinya yang mendapatkan tambahan pahala di sisi Allah ﷻ. Dan kebaikan atau sedekah ini bukan sebuah kewajiban yang bisa dituntut oleh suami.

Baca juga: Mengaku Bertauhid, Tapi Masih Khawatir Soal Rezeki?

Penutup, Pentingnya Peran Suami Istri dalam Rumah Tangga Menurut Islam

Kalau kita amati, banyak keluarga sukses secara finansial tapi jatuh secara emosional. Banyak usaha berkembang, tapi hubungan suami istri merenggang. Padahal, ketenangan rumah tangga tidak pernah pas jika dibangun dari teori Barat.

Ketenangan (sakinah) dan keberkahan rezeki itu hadir ketika kesesuaian peran suami istri ini kembali pada pagar dan standar dari Allah ﷻ.

Sehingga berkah itu datang ketika pria kembali memikul tanggung jawab qawwamah dengan serius, tidak lempar tanggung jawab finansial kepada istrinya. Serta, ketika wanita kembali dimuliakan dalam peran pokoknya sebagai ummun wa rabbah al-bayt, tidak merasa rendah diri karena seolah hanya mengurus rumah, dan tidak merasa terpaksa bekerja.

Inilah indahnya fondasi peran suami istri dalam rumah tangga menurut Islam yang pada akhirnya, kita perlu merenungkan satu hal.

“Rumah tangga yang sukses secara syariah adalah di mana suami menghargai peran strategis istrinya di rumah, dan istri menghargai beratnya perjuangan suaminya di luar. Keduanya bisa mulia di sisi Allah ﷻ karena ketakwaannya, maka keduanya butuh kerja sama, bukan saling menuntut peran yang tertukar.”

Semoga Allah ﷻ menjaga rumah-rumah kita, memberi kita hikmah untuk menata ulang amanah suami istri yang mungkin terbengkalai, dan membuka pintu sakinah di setiap langkah kita.

Baca juga: Ketakwaan sebagai Kunci Terkuat di Tengah Persaingan Bisnis

Tertarik untuk Mulai Berinvestasi?
Yuk Mulai Investasi Halalmu di Nabitu.

Ini Fondasi dan Peran Suami dan Istri dalam Rumah Tangga Islami

Penulis: Devin Halim Wijaya, B.B.A, M.Sc
Konsultan Syariah Independen

Instagram: @devinhalimwijaya
Linkedin: @devinhalim

Referensi:

Al-Qur’an. Al-Karim. Diakses dari https://quran.com/id/
Al-Bukhari. Sahih al-Bukhari, Hadis no. 2554. Diakses dari https://sunnah.com/bukhari:2554
An-Nabhani, Taqiyuddin. Sistem Pergaulan Dalam Islam (An-Nizhâm Al-Ijtimâ’î fi Al-Islam). Jakarta: Pustaka Fikrul Islam.

Redha Sindarotama

Quranic Reciter living in Yogyakarta. Actively teaching and spreading the beauty of Islam

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button