Dari Homo Economicus ke Homo Islamicus
Ketika menjelaskan teori yang berhubungan dengan ilmu sosial terkadang dianggap lebih rumit dibanding menjelaskan teori dalam konteks ilmu pengetahuan alam. Hal ini karena model dan analisis dalam ilmu sosial dibangun atas dasar perilaku manusia yang seringkali kompleks, sulit diprediksi, dan tidak konsisten. Nah maka dari itu, biasanya para peneliti mencoba mengembangkan beberapa model yang dianggap mampu menggambarkan perilaku manusia.
Salah satunya dengan model homo economicus yang merupakan salah satu asumsi paling popular pada ekonomi klasik dan neo-klasik. Nah, menurut Czerwonka & Paulina1, istilah homo economicus sendiri diartikan sebagai seperangkat perilaku dan sifat tertentu yang berkaitan dengan tidakan seseorang dalam kegiatan ekonomi, dengan asumsi seseorang bertindak berdasarkan rasionalitas dan hanya berpikir untuk dirinya sendiri.
Sebagai contoh dari prilaku model tersebut, pada seorang konsumen hanya akan melakukan konsumsi untuk memaksimalkan kepuasan (utilitas) nya. Selanjutnya, seorang produsen hanya berfikir bagaimana cara untuk memaksimalkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Pada akhirnya, asumsi-asumsi ini menciptakan manusia sebagai perilaku ekonomi yang bersifat selfish, indipenden, tidak kooperatif, dan terisolasi dari masyarakat dan komunitas. Diantara kritik pada konsep ini adalah seringkali teorinya bertentangan dengan kenyataan dan mengabaikan nilai-nilai moral seperti kepercayaan dan keadilan.
Selanjutnya pola prilaku individu ini kemudian dikaji dari perspektif psikologi dan melahirkan konsep baru yang bernama behavioural economics. Konsep ini turut mempertimbangkan faktor kognitif dan psikologis manusia dan menjadi antithesis dari homo economicus yang hanya mengasumsikan manusia selalu rasional dalam mengambil keputusan ekonomi. Sedangkan, menurut Antonides2 dalam bukunya yang berjudul “Phsyschology in Economics and Business”, Behavioral economics membantah beberapa asumsi pada model homo economicus diantaranya seperti:
- Manusia tidak selelau dapat bertindak rasional, dan sering kali melakukan berbagai keselahan seperti vivid observations (memberikan bobot yang besar pada observasi kecil yang melibatkan perasaan) dan overconfident (percaya diri yang berlebihan).
- Manusia mengalami perubahan rasionalitas seiring dengan perubahan waktu, usia, pendididkan, dan pengalaman
- Manusia seringkali tidak bisa mengabaikan nilai-nilai moral sehingga interpretasi model yang ada terhadap perilaku seorang individu tidak memiliki dasar yang kuat.
Hingga akhirnya model homo economicus dianggap tidak mampu mengakomodir kenyataan yang ada dan melahirkan model ekonomi baru yang berbasis perilaku yaitu homo ethicus. Homo ethicus sendiri merupakan konsep yang mengambarkan bahwa indvidu juga memiliki sifat yang bersifat altruistic, jujur, dapat dipercaya dan kooperatif, dimana pemenuhan kesejahteraan manusia tidak semata-mata hanya bersifat material. Model ini juga tidak hanya mementingkan self-interest (kepentingan pribadi) tetapi juga mempertimbangkan public interest (kepentingan umum). Menurut Lunati3, homo ethicus merupakan konsep “team-player” alami yang mampu mengkoordinasikan tindakan dengan orang lain secara efektif dan mampu bekerja dalam kemitraan yang saling menguntungkan dengan pihak lain.
Nah, adapun dalam konteks teori ekonomi islam, permodelan yang menjelaskan perilaku seorang individu muslim dikenal dengan istilah homo islamicus. Homo Islamicus melengkai model homo ethicus dengan nilai-nilai islam yang bersumber dari Al-quran dan Sunnah. Model ini dinilai lebih komperhensive karena memiliki tujuan yang lebih luas yaitu mencapai huquq dalam hubunganya dengan tuhan diri sendiri, sesame manusia, maupun hubungan dengan lingkungan.
Konsep kesejahteraan dalam model homo islamicus tidak hanya bertujuan untuk memaksimalkan kesejahteraan di dunia, tetapi juga punya konsekuensi kesejahteraannya di akhirat kelak. Oleh karena itu, setiap tindakan seorang muslim tidak hanya digerakkan oleh moral dan emosional saja, tetapi juga dituntun oleh sumber utama, yaitu Al-quran dan Sunnah, sehingga nantinya semua individu secara ideal akan bergerak dengan pola perilaku yang sama.
Referensi:
1Monika Czerwonka and Paulina Łuba, “Homo Oeconomicus Versus Homo Ethicus,” Journal of Management and Financial Sciences 8, No. 21 (2015)
2Gerrit Antonides, Psychology in Economics and Business: An Introduction to Economic Psychology (Springer Science & Business Media, 1996); Paul Webley et al., The Economic Psychology of Everyday Life (Psychology Press, 2002).
3M. Teresa Lunati, Ethical Issues in Economics: From Altruism to Cooperation to Equit. (Palgrave Macmillan, 1997).