Etika Bisnis Menurut Pandangan Imam Ghazali
Aktivitas bisnis sangatlah dekat dengan kehidupan sehari-hari. Hal sederhana yang teringat oleh kita dalam sebuah bisnis biasanya menghasilkan profit atau keuntungan. Namun, apakah hal itu menjadi orientasi semata?. Ternyata ada aspek penting yang perlu dipraktekkan dalam berbisnis. Nah, salah satunya adalah etika dalam menjalankan bisnis. Ketika seorang pebisnis memiliki mindset dan etika yang benar maka tidak hanya akan menghasilkan sebuah profit namun bisa lebih memberikan kebaikan dan kebermanfaatan yang lebih luas lagi.
Nah, bagaimanakah etika yang seharusnya diterapkan dalam menjalankan bisnis?
Yuk kita baca bagaimana pemikiran dari Al-Ghazali mengenai etika dalam mencari nafkah dan menjalankan bisnis. Al-Ghazali melalui kitab yang dikarangnya yaitu Ihya Ulumuddin banyak membahas mengenai etika bisnis. Pandangan Al-Ghazali terhadap etika bisnis sangatlah memiliki relevansi dengan etika bisnis modern.
Berikut ini 7 pandangan Al-Ghazali terkait dengan etika bisnis:
1. Niat yang benar dalam berbisnis
Niat menjadi landasan utama dalam melakukan segala sesuatu salah satunya juga dalam berbisnis. Al-Ghazali memberikan pandangan nya bahwa seorang pebisnis haruslah memiliki motif dan niatan yang positif. Bukan hanya semata-mata untuk meraih profit yang banyak saja, namun juga sebagai sebuah proses dalam amar ma’ruf nahi mungkar. Al-Ghazali juga memberikan pernyataan jika seseorang sudah memiliki niatan yang baik dalam menjalankan usahanya maka tidak akan ada pihak yang akan dirugikan dari aktivitas bisnisnya. Dengan niatan yang benar pebisnis akan mampu berbuat ihsan kepada pihak yang bermitra dengan nya.
2. Bisnis merupakan Fardhu Kifayah
Selain memiliki kewajiban pribadi (fardhu ‘ain) kita juga memiliki kewajiban sosial yang harus kita tunaikan sebagai seorang muslim. Melakukan kegiatan bisnis merupakan bagian dari kewajiban sosial (fardhu kifayah). Al-Ghazali juga menyampaikan pemikirannya jika seorang pebisnis yang menjalankan aktivitas usahanya sudah memiliki kesadaran terkait kewajiban sosial (fardhu kifayah) maka kepentingan sosial akan menjadi fokus utamanya selain daripada hanya profit oriented saja.
3. Keseimbangan antara tujuan dunia dan akhirat
Al-Ghazali mengemukakan pandanganya terkait tujuan utama kehidupa manusia untuk mencapai kebaikan di dunia dan akhirat (maslahah ad-dunya wa ad-din). Mengapa keseimbangan tujuan menjadi hal yang penting dalam etika bisnis?.
Etika akan hadir pada praktik bisnis dari orang yang benar-benar mengenali agamanya. Agama telah mengatur dan mengajarkan nilai-nilai etika dalam melakukan hubungan dengan orang sehingga orang yang mendasarkan bisnisnya pada agama akan memiliki etika yang baik dalam melakukan bisnis.
4. Tidak serakah dalam berbisnis
Pebisnis haruslah tau batas kebutuhan yang diperlukan. Terkadang merasa cukup dan bersyukur dengan sebuah rezeki memanglah sangat perlu untuk dilatih agar kita bisa terhindar dari ketamakan.
فإٌ طهت يُٓب انزٌبدح عهى انكفبٌخ الستكثبر انًبل ٔادخبرِ ال نٍصزف إنى انخٍزاد ٔانصذقبد فًٓ يذيٕيخ ألَّ
إقجبل عهى انذٍَب انتً حجٓب رأس كم خطٍئخ
Al-Ghazali juga menyatakan bahwa salah satu etika dalam berbisnis adalah menghindari ketamakan (az-ziyadah „ala al-kifayah), karena hal tersebut justru akan membawa kepada perilaku-perilaku negatif. Seperti yang kita tahu sekarang terkait pandangan ekonomi kapitalis yang materialistis jika semakin banyak barang/jasa yang dapat dikuasai dan dikonsumsi maka akan meningkatkan kepuasan seseorang. Pengukuran kepuasan dan kebahagian hanya dikaitkan dengan banyaknya harta atau barang yang diperoleh.
5. Berilmu sebelum berbisnis
Pentingnya sebuah ilmu sebelum beramal. Al-Ghazali juga mengemukakan bahwa untuk mencapai sebuah kebaikan haruslah dimulai dari ilmu dan amal. Bagaimana jika seseorang yang menjalankan bisnisnya tanpa ilmu muamalah yang benar maka hal ini akan menjadi sangat riskan dengan kegagalan dan juga dosa riba. Memiliki bekal pengetahuan terhadap bidang bisnis yang dijalankan sangatlah diperlukan.
Al-Ghazali tidak hanya menekankan pengetahuan ekonomi yang sifatnya normatif dan teoritis, namun juga yang bersifat terapan. Kita bisa peroleh bekal ilmu ini bisa melalui pendidikan akademis formal maupun informal.
6. Bersaing secara sehat
Persaingan bisnis sudah menjadi hal yang lumrah dalam dunia usaha. Jika menghadapi persaingan bisnis dengan sehat maka akan terdorong untuk memperbaiki kualitas produk atau jasa yang ditawarkan. Persaingan bisnis juga dibenarkan oleh al-Ghazali namun jangan sampai merugikan orang lain. Dalam hal ini persaingan dan kompetisi antar produsen/penjual tidak dibenarkan jika merugikan produsen lain (kompetitor) atau pun konsumennya.
Dengan adanya persaingan biasanya para pengusaha akan berlomba-lomba untuk mempromosikan produk atau jasanya. Sah-sah saja jika kita ingin mengiklankan produk dan jasa kita. Namun ada etika yang perlu kita perhatikan seperti jangan membuat konten iklan yang ada unsur kebohongan serta kepalsuan. Alih-alih mengedukasi konsumen melalui iklan malah memberikan informasi palsu. Secara tegas al-Ghazali berpendapat bahwa iklan atau informasi palsu adalah kejahatan pasar yang harus dilarang.
7. Perilaku dan sikap yang baik
Seorang pebisnis haruslah memiliki perilaku dan sikap yang baik kepada semua pihak yang terlibat langsung ataupun tidak dalam bisnisnya. Pandangan sikap dan prilaku yang dimaksud dalam hal ini oleh Al-Ghazali adalah adil dan ihsan dalam berbuat. Sikap tersebut merupakan pokok pangkal keberhasilan dan kebahagiaan, dan bagi para produsen/penjual, ihsan merupakan ‘jalan‘ untuk mendapatkan keuntungan dan tentu membuat nyaman siapapun yang bermitra dengan kita.
Pentingnya bagi seorang pebisnis untuk memiliki etika dan ilmu dalam menjalankan usahanya agar tidak hanya profit oriented tapi juga memberikan kebermanfaatan yang luas.
Referensi:
Makshum, H. (2020). THE MAGNIFICENT SEVEN ETIKA BISNIS AL-GHAZALI (Relevansi Etika Bisnis al-Ghazali dengan Dunia Bisnis Modern). JURNAL HUKUM ISLAM, 11(1), 137-162. https://doi.org/10.28918/jhi.v11i1.544
Sopingi, I. (2014). ETIKA BISNIS MENURUT AL-GHAZALI. JURNAL EKONOMI DAN BISNIS ISLAM IQTISODUNA, 144-146. https://doi.org/10.18860/iq.v10i2.3223