Urgensi Memenuhi Syarat dalam Akad Kerjasama Bisnis Islam
Salah satu kunci dari ekonomi syariah adalah penggunaan akad kerjasama usaha Islam seperti mudharabah dan musyarakah. Kepercayaan, kejelasan dan komitmen terhadap syarat yang disepakati bersama adalah asas dari akad-akad kerjasama usaha Islam. Tidak hanya merupakan formalitas, pemenuhan syarat dalam perjanjian merupakan bagian dari tanggung jawab moral dan syar’i yang berdampak langsung pada keabsahan perjanjian dan pembagian hak dan kewajiban para pihak. Dalam kenyataannya konflik dan ketidakadilan dalam hubungan bisnis sering disebabkan oleh pelanggaran syarat-syarat dalam akad. Akibatnya memenuhi syarat dalam kontrak kerjasama usaha adalah kewajiban hukum Islam.
Dalil Wajibnya Memenuhi Syarat Akad
Salah satu syarat transaksi yang sah menurut Islam adalah kesepakatan. Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah صلى الله عليه وسلم berkata:Muslim sesuai dengan syarat mereka:
“المسلمون على شروطهم”
“Kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka sepakati” (HR. Abu Dawud, no. 3594).
Menurut hadis ini setiap persyaratan yang tidak bertentangan dengan syariat harus dipenuhi dan dihormati. Bahkan kegagalan untuk memenuhi syarat dapat membuat kontrak tidak sah atau mengharuskan kompensasi tertentu.
Baca juga:Kaidah Fiqhiyah الْغَرْمُ بِالْغَنْمِ di dalam memahami Profil Resiko Investasi
Akibat dari Melanggar Syarat dalam Perjanjian Kerjasama Syariah.
Dalam syariah pelanggaran syarat dalam kontrak kerjasama usaha menghadirkan 2 kompensasi tergantung hasil yang muncul darinya:
1. Tanggung Jawab untuk Mengganti Kerugian:
Pihak yang melanggar baik mudharib maupun shahibul maal bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari pelanggaran tersebut. Hal ini ditetapkan dalam bab syariah yang berjudul:
ضمان المضارب أو الشريك بسبب مخالفة الشروط
Penanggungan (kerugian) dari mudharib (pengelola usaha dalam akad mudharabah) atau syarik (partner dalam musyarakah) disebabkan pelanggaran syarat.
Dalam bab ini mayoritas ulama baik klasik maupun kontemporer sepakat bahwa pelanggaran syarat dalam akad musyarakah atau mudharabah mewajibkan pelanggar syarat untuk mengganti kerugian yang terjadi akibat pelanggaran syarat tersebut.
Baca juga:Bagaimana Cara Memitigasi Risiko Investasi?
2. Pembagian Keuntungan Masih Proporsional:
Selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah jika usaha tetap menghasilkan keuntungan setelah adanya pelanggaran syarat, keuntungan itu akan dibagikan sesuai nisbah awal tanpa ada keuntungan tambahan bagi pelanggaran syarat. Hal ini membuat pelanggaran syarat menjadi tidak bermakna bagi pelanggarnya karena jika ada tambahan keuntungan maka keuntungan itu masih dibagikan secara proporsional, namun jika ada kerugian disebabkan pelanggaran maka pelanggar akan menanggungnya dan menggantinya kepada pihak lain.
Contoh Pelanggaran Perjanjian Kerjasama Syariah
Berikut ini adalah beberapa contoh pelanggaran yang sering terjadi dalam akad kerjasama bisnis syariah:
a. Penggunaan Dana Purchase Order (PO) Financing atau Pembiayaan Proyek ke Proyek Lain
Jika dalam akad disepakati bahwa dana investasi pemodal hanya boleh digunakan untuk proyek atau purchase order (PO) tertentu, pengalihan dana tersebut ke proyek lain -meskipun serupa- melanggar syarat yang mengikat. Karena syarat tersebut bersifat pembatasan penggunaan modal (shart taqyid), pelanggarannya mewajibkan pengembalian atau kompensasi atas risiko dan kerugian yang timbul akibat pelanggaran tersebut.
Baca juga:PO Financing Dengan Crowdfunding: Memang Bisa?
b. Pelanggaran Batas Area Bisnis
Dalam beberapa akad pihak pemodal dapat meminta agar aktivitas usaha dilakukan di wilayah tertentu seperti hanya di kota, daerah, provinsi, ataupun negara tertentu. Perhitungan risiko ekonomi dan politik, peningkatan efisiensi pengawasan atau pengendalian operasional adalah beberapa tujuan yang mungkin ada dari penetapan syarat ini. Jika mitra usaha tanpa izin memperluas bisnis mereka ke luar wilayah yang disepakati, hal itu dianggap sebagai pelanggaran syarat dalam akad.
c. Penggunaan Dana Investasi untuk Kepentingan Pribadi
Semua uang yang diinvestasikan dalam akad musyarakah atau mudharabah harus digunakan untuk kegiatan usaha yang telah diputuskan. Ketika pengelola (mudharib) menyalahgunakan dana untuk hal-hal pribadi seperti membayar cicilan pribadi, membeli barang konsumtif atau melakukan hal-hal lain yang tidak terkait dengan bisnis itu disebut ghulul (pengkhianatan amanah). Meskipun bisnis menghasilkan keuntungan, pelanggar syarat yang menggunakan dana investasi untuk kepentingan pribadi harus mengembalikan dana yang digunakan secara tidak sah.
d. Tidak Adanya Pengawasan dan Manajemen Risiko yang Memadai oleh Mudharib
Pengelola (mudharib) dalam kerjasama bisnis syariah harus menjalankan usahanya secara profesional dan bertanggung jawab. Ketiadaan sistem pengawasan, laporan berkala atau mekanisme manajemen risiko seperti uji kelayakan usaha atau asuransi syariah bisa dianggap sebagai taqshir (kelalaian).
e. Pelanggaran Non-Competitive Agreement (NCA) oleh Shahibul Maal
Dalam kerjasama bisnis, seringkali terdapat pasal pemilik modal (shahibul maal) dilarang untuk mendirikan bisnis serupa atau yang disebut dengan non-competitive agreement (NCA). Tujuannya adalah untuk menghindari konflik kepentingan atau persaingan tidak sehat dengan mitra yang mengelola perusahaan. Sebagai contoh jika shahibul maal mendirikan toko atau layanan serupa yang bertentangan dengan bisnis yang dibiayainya ini akan merupakan tindakan curang dan pelanggaran etika bisnis. Hal ini bisa berdampak negatif pada keberlangsungan bisnis mengganggu lingkungan bisnis dan bahkan dapat mengurangi kinerja usaha bersama.
Baca juga:Membiayai Ekonomi Hijau dengan Crowdfunding
f. Pelanggaran Non-Disclosure Agreement (NDA)
Perjanjian kerahasiaan atau yang disebut dengan Non-Disclosure Agreement (NDA) seringkali menjadi bagian penting dari perjanjian bisnis terutama jika berkaitan dengan strategi bisnis, daftar klien, supplier, formula produk, data keuangan, maupun informasi rahasia lainnya. Jika salah satu pihak baik mudharib maupun shahibul maal menyebarluaskan informasi penting tanpa izin itu melanggar syarat dan dianggap sebagai pengkhianatan atau penyalahgunaan informasi. Dalam beberapa kasus penyebaran informasi ini dapat berdampak negatif pada posisi kompetitif perusahaan.
g. Laporan Keuangan yang Palsu
Dalam kerjasama bisnis syariah, laporan keuangan adalah dasar bagi pembagian keuntungan yang adil. Jika laporan ini dipalsukan, diubah atau sebagian disembunyikan untuk menutupi kerugian, mengurangi hak pihak lain atas hasil usaha atau menutupi penggunaan dana yang tidak sesuai peruntukannya itu termasuk penipuan yang dilarang dalam syariat. Dalam situasi seperti ini pihak yang dirugikan memiliki hak untuk menuntut penggantian kerugian atau pemutusan kontrak.
h. Penundaan Pembayaran Hasil Tanpa Alasan yang Jelas
Kedzaliman terjadi ketika bisnis menghasilkan keuntungan namun keuntungan tersebut tidak dibagikan pada waktunya yang termasuk dalam perbuatan haram. Pihak yang dirugikan dapat menuntut kompensasi jika terbukti penundaan tersebut disengaja atau karena kelalaian.
i. Contoh Tambahan
Bentuk pelanggaran lain bisa berupa tidak adanya transparansi dalam pengambilan keputusan, strategis perubahan model usaha tanpa penjelasan kepada pemodal, pengalihan peran manajerial ke pihak ketiga tanpa notifikasi atau pembentukan entitas usaha baru menggunakan aset kerja sama tanpa izin.
Baca juga:Peluang Akad Salam dalam Pembiayaan Syariah
Kesimpulan
Untuk memastikan bahwa transaksi tetap berada dalam koridor yang disetujui kedua pihak, persyaratan yang ditetapkan dalam kontrak kerjasama usaha adalah dasar penting. Ketidakpatuhan terhadap persyaratan dapat merusak nilai keadilan, menggugurkan perjanjian atau menimbulkan tanggung jawab finansial. Dengan demikian setiap pihak yang terlibat dalam akad kerja sama syariah harus memahami, mencatat dan mematuhi syarat-syarat tersebut secara teratur. Hal ini bukan hanya bentuk profesionalisme tetapi juga wujud takwa dan amanah dalam bermuamalah.

Yuk Investasi Halal di Nabitu.
Referensi
- AAOIFI. (2017). Al-Ma’yar al-Shar’iyyah. Bahrain: Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions.
- Abu Dawud. (n.d.). Sunan Abi Dawud, Hadits No. 3594.
- Islamway. (2004). Ḍamān al-Muḍārib bi al-Taqṣīr wa al-Ta‘addī. Retrieved from https://ar.islamway.net/fatwa/41783
- Al-Iftaa Jordan. (2020). Fatwa No. 3911. Retrieved from https://www.aliftaa.jo/fatwa/3911/
- Shamela. (n.d.). Fath al-Bari, Kitab al-Buyu‘. Retrieved from https://shamela.ws/book/1425/127
- Shamela. (n.d.). Al-Mughni li Ibn Qudamah. Retrieved from https://shamela.ws/book/968/1197