Mitigasi Risiko Bisnis Menurut Pandangan Syariah
Secara hukum alam sebuah risiko akan selalu kita temui di dalam kehidupan. Begitu pula risiko dalam menjalankan bisnis, risiko menjadi hal yang tidak bisa dipungkiri. Hal ini akan dihadapi oleh siapa saja yang akan menjalankan bisnisnya. Maka dari itu, risiko bisnis harus kita hadapi dengan memitigasinya agar tujuan sebuah bisnis dapat tercapai dan terpenuhi semua hak-hak orang yang terlibat dengan bisnis tersebut. Karena tercapainya sebuah target bisnis untuk mendapatkan profit di tingkatan tertentu juga menjadi sebuah tujuan untuk penjagaan maqashid syariah dalam transaksi bisnis (hifzul mal min janibil wujud).
Tanpa memitigasi risiko bisnis yang kita jalankan akan menimbulkan peluang lebih besar terjadinya kerugian. Hal tersebut tentu tidak hanya akan merugikan diri kita sendiri tetapi juga orang lain yang ikut terlibat. Padahal sudah jelas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW dari Abu Sa’id al-Khudri:
“…Tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)
Maka dari itu, memitigasi risiko dalam bisnis dengan cara yang halal bisa menjadi sebuah keharusan. Hal ini juga sudah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat.
Ketika suatu ketika menurut cerita seorang sahabat Nabi SAW, Anas bin Malik, pada suatu hari ada seorang laki-laki berhenti di depan masjid untuk mendatangi Rasulullah. Kala itu untanya tidak di ikat dan di tinggalkan begitu saja. Kemudian, Rasulullah SAW menyarankan untuk mengikat untanya agar tidak lepas. Dari kisah ini kita bisa pelajari bahwa nabi mengajarkan kepada kita untuk berikhtiar menjaga sesuatu dan setelahnya baru kita bisa bertawakkal kepada Allah SWT.
Contoh berikutnya, ketika sahabat Ibnu Abbas sebagai pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pengelola dan memberikan syarat-syarat tertentu (mudharabah muqayyadah) untuk mencegah atau memitigasi potensi kerugian usahanya.
Para ulama fikih juga memberikan pandangan terkait mitigasi resiko dalam bisnis. Bagaimana bunyi kaidah ushul fiqih berikut ini:
“Jika sebuah kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu pula wajib hukumnya” (asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, 1/411)
Sebagaimana yang sudah disebutkan sebelumnya, ketidakpastian merupakan sunnatullah maka dari itu islam mengajarkan kita untuk memitigasi sebuah resiko bisnis. Yang dimaksudkan ketidakpastian disini bukanlah sebuah spekulasi melainkan sebuah resiko bisnis yang akan dihadapi. Sebagaimana penjelasan Ibnu Taimiyah:
“Risiko terbagi menjadi dua. Pertama risiko bisnis, yaitu seseorang membeli barang dengan tujuan menjualnya kembali dengan tujuan mendapat keuntungan dan selanjutnya dia bertawakkal kepada Allah atas hal tersebut. Risiko ini tidak bisa dihindari oleh para pebisnis. Pebisnis bertawakkal kepada Allah, meminta darNya agar seorang datang membeli barang dan dia dapat menjualnya dan mengambil keuntungan. Meskipun kadang-kadang dia rugi. Bisnis (perniagaan) memang demikian. Kedua, yaitu resiko untung-untungan (maisir), yaitu risiko yang mengandung unsur memakan harta orang lain secara bathil. Risiko ini yang diharamkan oleh Allah dan Rasull-Nya.” (Tafsir Ayat Usykilat’ala Katsir min al-‘Ulama, Jilid. 2, hal. 700)
Mungkin dalam istilah umum kita sering mendengar high risk high return. Jadi biasanya siapa yang menanggung risiko lebih tinggi dia akan mendapatkan hasil yang lebih banyak dalam menjalankan bisnisnya. Nah, di dalam jual beli juga seorang penjual yang menanggung risiko berhak mendapatkan keuntungan. Mengapa demikian?
Misal saja penjual buah yang menanggung resiko buah jualannya busuk sebelum laku habis terjual semuanya. Atau penjual yang menanggung resiko cacat barang sehingga pembeli mengembalikannya.
Misal saja di dalam transaksi (mudharabah) pemilik modal juga berhak mendapatkan keuntungan karena dia juga bertanggung jawab terhadap risiko. Jika terjadi kerugian yang dikarenakan bukan kelalaian pengelola usahanya maka modalnya juga bisa saja tidak kembali.
Risiko dalam menjalankan bisnis adalah sebuah keniscayaan, maka dalam Islam mengajarkan mitigasi risiko harus yang halal dan baik dan tidak melanggar aturan syariah. Kisah teladan diatas memberikan kesimpulan bahwa Rasulullah dan Sahabat juga serius dalam memitigasi sebuah usaha agar tidak merugikan mitra usaha.
Sumber:
Sahroni, Oni. (2021). Fiqih Muamalah Kontemporer Jilid 2. Jakarta: Penerbit Republika.
https://alamisharia.co.id/blogs/risiko-bisnis-menurut-syariah/ Diakses pada 1 Januari 2023