Uncategorized

Hukum Mensyaratkan Agunan dalam Akad Mudharabah 

Mudharabah adalah salah satu bentuk kerjasama dalam ekonomi Islam yang melibatkan dua pihak: pemilik modal (shahibul maal) dan pengelola usaha (mudharib). Dalam akad ini, pemilik modal memberikan modal kepada pengelola usaha untuk menjalankan usaha, dengan kesepakatan bahwa keuntungan yang diperoleh akan dibagi sesuai nisbah yang telah disepakati. Sebaliknya, jika terjadi kerugian, maka pemilik modal akan menanggung kerugian finansial, sementara pengelola usaha hanya menanggung kerugian waktu dan tenaga. 

Namun, muncul pertanyaan mengenai kebolehan mensyaratkan agunan atau jaminan dalam akad mudharabah. Artikel ini akan membahas hukum mensyaratkan agunan dalam akad mudharabah menurut perspektif syariah. 

Definisi Agunan dalam Konteks Mudharabah

Agunan atau jaminan dalam konteks akad mudharabah adalah sesuatu yang diserahkan oleh pengelola usaha kepada pemilik modal sebagai bentuk jaminan bahwa modal yang diberikan akan digunakan dengan baik dan sesuai kesepakatan. Agunan ini dapat berupa aset tetap atau barang berharga lainnya yang memiliki nilai ekonomi. 

Hukum Mensyaratkan Agunan dalam Akad Mudharabah 

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia(DSN-MUI) menyatakan bahwa mensyaratkan agunan dapat dibolehkan untuk melindungi hak-hak pemilik modal(shahibul mal). Hal ini terutama relevan dalam konteks modern di mana risiko bisnis dapat lebih tinggi dan lebih kompleks. Agunan dapat dianggap sebagai alat untuk memastikan bahwa pengelola usaha bertindak dengan penuh tanggung jawab dan sesuai dengan kesepakatan awal. 

Hal ini disebutkan dalam fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia(DSN-MUI) no 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) sebagai berikut: 

“7. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.” 

Agunan ini digunakan hanya dalam kondisi dimana pengelola bisnis(mudharib) menyebabkan kerugian disebabkan karena penyelewengan, kelalaian, melewati batasan normal dalam kegiatan usaha, maupun melanggar syarat dalam kondisi mudharabah muqayyadah(mudharabah yang diikat dengan ketentuan dan syarat dari pemilik modal(shahibul mal)) disebutkan dalam dalam fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia(DSN-MUI)  no 115/DSN-MUI/IX/2017 mengenai Akad Mudharabah sebagai berikut: 

“4.Kerugian usaha mudharabah menjadi tanggung jawab shahib al-mal kecrali kerugian tersebut terjadi karena mudharib rnelakukan tindakan yang termasrk at-ta’addi, at-taqshir, dan/atau mukhalafat asy-syuruth, atau mudharib melakukan pelanggaran terhadap batasan dalam mudharabah muqayyadah.” 

Contoh Praktikal 

1.Seorang pengusaha kecil bernama Ahmad ingin membuka cabang baru dari usaha toko pakaiannya. Ahmad tidak memiliki modal usaha. Ahmad bertemu dengan seorang investor bernama Budi yang setuju untuk menyediakan modal melalui akad mudharabah. Namun, Budi mensyaratkan agar Ahmad memberikan agunan berupa sertifikat rumah pribadi Ahmad sebagai jaminan bahwa modal yang diberikan akan digunakan dengan baik dan sesuai kesepakatan. Dalam kasus ini, Budi mensyaratkan agunan untuk melindungi investasinya, sementara Ahmad setuju karena ia yakin dengan kemampuan bisnisnya dan memiliki aset yang dapat dijadikan jaminan berupa sertifikat rumah pribadinya. 

2.Seorang pengusaha teknologi bernama Zain memiliki startup teknologi yang inovatif, ia berencana untuk memperluas usahanya dengan melakukan riset dan pengembangan produk baru. Zain mengajukan permohonan pembiayaan syariah berbasis mudharabah kepada sebuah venture capital syariah. Venture capital syariah setuju untuk memberikan pembiayaan, tetapi mensyaratkan agunan berupa sebagian saham pribadi milik Zain dan giro mundur sebagai jaminan. Venture capital syariah berargumen bahwa agunan ini penting untuk melindungi modal yang mereka berikan mengingat risiko tinggi dalam industri teknologi. Zain setuju dengan syarat tersebut karena ia percaya bahwa dengan modal tambahan dari bank syariah, usahanya akan berkembang pesat dan mampu memberikan keuntungan yang signifikan. 

Penutup

Hukum mensyaratkan agunan dalam akad mudharabah menurut Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia(DSN-MUI) diperbolehkan demi melindungi kepentingan pemilik modal dalam kondisi pengelola melakukan penyelewengan, kelalaian, melewati batasan normal dalam kegiatan usaha, maupun melanggar syarat dalam kondisi mudharabah muqayyadah. Oleh karena itu, diperlukan kebijaksanaan dan kehati-hatian dalam menetapkan syarat agunan, serta harus disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan spesifik dari kerjasama bisnis yang dijalankan. Semoga Allah ta’ala mempermudah kita dalam melaksanakan bisnis kerjasama yang sesuai dengan syariah. 

Wallahu a’lam 

Baca juga:Bagaimanakah Alur Kerja Akad Mudharabah pada Penerbitan Sukuk?

Referensi: 

  • Majelis Ulama Indonesia, D. S. N. (2000). Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) [Review Of Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)]. 
  • Majelis Ulama Indonesia, D. S. N. (2000). Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia nomor 115/DSN-MUI/IX/2017 Tentang Akad Mudharabah [Review Of Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia nomor 115/DSN-MUI/IX/2017 Tentang Akad Mudharabah]. 

Devin Halim Wijaya

Master student in IIUM (Institute of Islamic Banking and Finance) | Noor-Ummatic Scholarship Awardee

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button