Mengupas Dosa Tersembunyi dalam Dunia Pemasaran Produk
Pernah nggak sih kamu beli sesuatu gara-gara tergiur iklannya, eh ternyata zonk? Atau mungkin kamu sendiri yang lagi jualan, terus mikir: “Kalau nggak dilebihin dikit promosinya, susah laku nih…”
Apalagi sekarang ya, jual beli barang bekas alias second di marketplace makin rame. Nggak sedikit yang ngaku barangnya “mulus 99%”, padahal ada baret halus yang nggak kelihatan di foto. Kadang deskripsi produk sengaja dibikin ambigu—biar nggak bohong total, tapi juga nggak jujur-jujur amat. Ini sering banget kejadian. Yang jual ngerasa aman, yang beli merasa ditipu, dan akhirnya… ya, males transaksi lagi.
Nah, di sinilah mulai muncul pertanyaan besar:
Boleh nggak sih jualan pakai strategi marketing yang ‘sedikit licin’? Selama nggak dusta gede-gede amat, aman kali ya?”
Sayangnya, nggak sesimpel itu jawabannya. Di dunia pemasaran produk, ada banyak “dosa kecil” yang sering diremehkan. Padahal, dalam pandangan syariat, bisa jadi justru dosa itulah yang bikin rezeki jadi nggak berkah, usaha jalan tapi hati gelisah, dan dagangan laku tapi hidup terasa kosong.
Artikel ini bakal ngajak kamu ngobrol santai tapi serius soal dunia pemasaran produk terutama dari sisi halal-haramnya. Kita akan bedah bareng praktik-praktik yang sering dianggap wajar, tapi ternyata nyerempet dosa. Termasuk soal ngiklan barang bekas yang suka “dibenahi” deskripsinya. Dan tentu aja, semua pembahasannya kita sandarkan pada dalil-dalil syar’i, bukan cuma opini pribadi.
Yuk, kita masuk ke pembahasannya.
Jangan-jangan, selama ini ada dosa tersembunyi dalam cara kita memasarkan produk…
Dosa yang Tak Terlihat: Saat Kejujuran Dikalahkan oleh Target Penjualan
Di dunia pemasaran produk, apalagi yang serba digital kayak sekarang, kita sering banget ketemu dilema: jujur atau jualan?
Kedengarannya nyesek, ya. Tapi realitanya memang begitu.
Misalnya gini. Kamu lagi jual HP second di marketplace. Kondisinya sih masih oke, tapi ada minus di bagian charging port. Tapi karena takut calon pembeli mundur, kamu cuma tulis: “pemakaian normal, kondisi sangat mulus”. Gambar yang kamu upload juga diambil dari angle terbaik, dan filter dikit biar kinclong.
Padahal, Nabi ﷺ sudah mewanti-wanti soal kejujuran dalam berdagang. Beliau bersabda:
“البيعان بالخيار ما لم يتفرقا، فإن صدقا وبينا بورك لهما في بيعهما، وإن كتما وكذبا محقت بركة بيعهما”
“Dua orang yang berjual beli boleh memilih (melanjutkan atau membatalkan transaksi) selama mereka belum berpisah. Jika keduanya jujur dan menjelaskan kondisi barang, maka akan diberkahi dalam jual belinya. Tapi jika mereka menyembunyikan dan berdusta, maka keberkahan jual belinya akan dihapus.”
(HR. Al-Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532)
Bayangin, bukan cuma haram, tapi keberkahan jualanmu bisa hilang gara-gara satu kalimat deskripsi yang kamu “modifikasi”. Dan celakanya, ini sering banget dianggap enteng. Dikiranya selama barang tetap nyala dan nggak bohong total, ya masih sah-sah aja.
Padahal di mata Allah ﷻ, jujur itu bukan soal besar kecilnya info yang kamu sampaikan. Tapi soal niat dan kejujuran hati. Kamu jujur nggak dalam menyampaikan kualitas produk? Kamu transparan nggak soal kekurangannya? Kalau enggak, ya hati-hati… jangan-jangan itu termasuk dalam kategori gharar—jual beli yang samar atau menipu.
Bahkan dalam Al-Qur’an, Allah ﷻ mengingatkan secara tegas:
“وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِينَ”
“Celakalah bagi orang-orang yang curang!”
(QS. Al-Muthaffifin: 1)
Ayat ini memang turun tentang kecurangan dalam takaran dan timbangan, tapi para ulama menafsirkan bahwa semua bentuk penipuan dalam transaksi, termasuk dalam pemasaran produk, juga masuk ke dalam ancaman ini. Termasuk menutupi aib barang second, mengedit foto berlebihan, atau menyusun copywriting yang terlalu hiperbola sampai menjebak pembeli.
Jadi sebenarnya, dosa dalam pemasaran produk itu bukan cuma soal harga yang dinaikkan, tapi juga narasi yang dibungkus manis tapi menipu.
Baca juga: Emotional Marketing: Gunakan Perasaan untuk Pemasaran
Gimmick, Diskon Palsu & Testimoni Bohongan: Laris Tapi Berdosa?
Siapa sih yang nggak seneng lihat promo kayak begini:
“Harga normal Rp799.000 — SEKARANG HANYA Rp249.000!!”
“Testimoni pelanggan puas 100%! Sudah dipakai ribuan orang!”
“Stok tinggal 3! Buruan sebelum kehabisan!”
Nah, ini dia trik-trik klasik dalam pemasaran produk yang kelihatannya sepele tapi bisa jadi jebakan dosa. Kita bahas satu-satu ya, karena ini penting banget.
1. Diskon Palsu: Harga Naik Dulu, Baru Diturunin
Ini sering banget dipakai: harga dinaikkan dulu seminggu sebelum promo, lalu waktu flash sale, harganya diturunin ke harga asli, seolah-olah jadi super murah. Padahal aslinya ya segitu-segitu aja.
Model kayak gini termasuk dalam tadlis, yaitu menyamarkan kondisi barang atau transaksi agar pembeli salah paham. Ini sangat dilarang dalam Islam, karena termasuk penipuan terselubung.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“من غشنا فليس منا”
“Barangsiapa menipu kami, maka dia bukan termasuk golongan kami.”
(HR. Muslim no. 102)
Diskon palsu itu bukan cuma strategi marketing, tapi juga bisa masuk ke dalam penipuan niat. Apalagi kalau tujuan utamanya cuma memicu impulse buying lewat tekanan waktu dan harga. Niatnya bukan lagi menjual produk dengan jujur, tapi menciptakan ilusi urgensi demi cuan.
2. Testimoni Bohongan: Review Dibikin Sendiri
Ada juga yang nyediain testimoni palsu. Entah itu dari temen sendiri yang diminta acting jadi pelanggan, atau malah disusun pakai akun-akun fake. Bahkan kadang testimoni itu nggak jujur karena dibayar atau dikasih insentif, bukan murni pengalaman real.
Kalau udah kayak gini, maka jelas-jelas ini bentuk syahadah zur (saksi palsu). Dan ini termasuk dosa besar. Dalam hadits, Nabi ﷺ pernah bersabda:
“ألا وقول الزور، ألا وقول الزور، ألا وقول الزور…”
“Ketahuilah, kesaksian palsu! Ketahuilah, kesaksian palsu! Ketahuilah, kesaksian palsu!”
(HR. Al-Bukhari no. 2654 dan Muslim no. 87)
Sampai tiga kali Rasulullah ﷺ mengulanginya. Itu tandanya ini bukan urusan remeh.
3. Stok Palsu dan FOMO: Padahal Barang Masih Banyak
Ini juga umum banget: menulis “stok tinggal 1”, padahal masih segudang. Tujuannya? Biar orang ngerasa panik dan langsung beli.
Masalahnya, ketika kamu sengaja memunculkan tekanan psikologis lewat informasi palsu, kamu sedang menjual rasa takut, bukan produk. Ini termasuk manipulasi dalam transaksi. Dan manipulasi seperti ini bisa jadi bagian dari gharar transaksi yang mengandung ketidakjelasan dan penipuan, yang dilarang dalam Islam.
Nabi ﷺ bersabda:
“نهى رسول الله ﷺ عن بيع الغرر”
“Rasulullah ﷺ melarang jual beli yang mengandung gharar (ketidakjelasan/penipuan).”
(HR. Muslim no. 1513)
Jadi ya, walaupun strategi ini berhasil bikin produk laris, tapi laris belum tentu berkah. Bisa jadi barangmu laku, tapi keberkahan dicabut. Bisa jadi omzet naik, tapi hati gelisah terus. Karena keberkahan itu bukan soal angka, tapi soal ridha Allah ﷻ.
Kalau kamu merasa pernah melakukan hal-hal kayak di atas, jangan buru-buru down. Justru bagus kalau kamu sadar sekarang. Taubat dan perbaikan niat dalam pemasaran produk itu bagian dari hijrah finansial yang penuh pahala.
Baca juga: 9 Karakteristik Marketing Syariah
Pemasaran Produk yang Halal dan Penuh Berkah: Emang Bisa?
Banyak orang mikir, kalau mau jualan yang “berkah” tuh pasti susah. Harus jujur, nggak boleh lebay promosi, nggak boleh bohong, dan harus transparan.
“Lah, kalau gitu mana bisa bersaing?”
Tenang, justru di sinilah letak rahasianya.
Karena ketika kamu niatkan pemasaran produk sebagai bagian dari ibadah, bukan sekadar cari cuan, maka pertolongan Allah ﷻ bisa datang dari arah yang tak disangka-sangka.
Allah ﷻ berfirman:
“وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًۭا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ”
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak ia sangka-sangka.”
(QS. At-Thalaq: 2–3)
Artinya, menjaga kejujuran dan menghindari tipu daya dalam pemasaran produk itu bukan menghambat rezeki—justru itulah kuncinya. Karena rezeki yang datang lewat kejujuran jauh lebih tenang dan penuh berkah.
Jadi, gimana sih cara melakukan pemasaran produk yang halal?
Berikut beberapa prinsip yang bisa kamu pegang:
- Transparansi
Sampaikan kondisi produk dengan jujur. Jangan ada yang ditutup-tutupi, terutama kalau kamu jual barang second. Nggak usah takut kehilangan pembeli—yang penting kamu menjaga ridha Allah ﷻ. - Hindari Hiperbola
Kalimat seperti “terlaris”, “terbaik di dunia”, “sudah dibeli 10.000 orang”—kalau nggak benar-benar ada datanya, mending jangan. Promosi boleh, tapi jangan lebay apalagi bohong. - Tepati Janji Promosi
Kalau kamu tulis “free ongkir”, ya harus benar-benar free ongkir. Kalau ada syarat dan ketentuan, cantumkan dengan jelas. Jangan bikin pembeli kecewa karena merasa dijebak. - Tolak Testimoni Bohong
Nggak apa-apa sepi dulu, asal review-nya real. Karena satu testimoni jujur dari pembeli asli jauh lebih kuat nilainya di sisi Allah ﷻ daripada seribu review palsu yang penuh dosa. - Niatkan Dagang untuk Mencari Ridha Allah
Rasulullah ﷺ bersabda:
“التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الأَمِينُ مَعَ النَّبِيِّينَ، وَالصِّدِّيقِينَ، وَالشُّهَدَاءِ”
“Pedagang yang jujur dan terpercaya akan bersama para nabi, orang-orang shiddiq, dan para syuhada.” (HR. Tirmidzi no. 1209, Hasan Shahih)
Masya Allah… dagang aja bisa jadi jalan menuju surga, asal jujur dan amanah!
Baca juga: Ciri-ciri Karakter Marketing Rabbaniyyah yang Harus Kamu Ketahui
Khatimah: Marketing Nggak Harus Licik
Jadi intinya, pemasaran produk dalam Islam itu bukan cuma soal gimana caranya barang laku, tapi juga soal gimana caranya tetap jujur, adil, dan berkah. Karena kita bukan cuma jualan ke manusia, tapi juga sedang menunjukkan siapa diri kita di hadapan Allah ﷻ.
Kalau kamu merasa pernah salah langkah, nggak usah minder. Justru ini saatnya memperbaiki niat dan strategi.
Karena saat kamu memilih untuk berdagang dengan cara yang halal, kamu bukan lagi sekadar pebisnis tapi penjemput rezeki dengan adab dan iman. Barokallah fiikum
Baca juga: Kisah Ayam Bakar Wong Solo: Jualan Simpel yang Scalable

Yuk Mulai Investasi Halal di Nabitu.
Referensi:
Al-Qur’an Al-Karim https://tafsirweb.com
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. Shahih al-Bukhari. Diakses dari https://www.hadits.id/hadits/bukhari
Muslim, Abu al-Husain. Shahih Muslim. Diakses dari https://www.hadits.id/hadits/muslim.
Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa. Sunan At-Tirmidzi. Diakses dari https://www.hadits.id/hadits/tirmidzi