Akad RIbawi

Perhatikan Ini Agar Bagi Hasil Tidak Jadi Riba atau Fasad

Istilah yang satu ini bisa berubah makna sekaligus hukumnya, jika fakta yang terjadi tidak sesuai dengan syarat yang syar’i. Bahkan jadi seolah-olah halal padahal bisa jadi riba yang sangat membahayakan dunia dan akhiratnya seseorang. Istilah itu adalah bagi hasil.

Pertama-tama kita mesti bisa membedakan antara Hutang dan Modal.

Simpelnya utang itu memberikan harta kepada orang lain untuk dikembalikan harta yang semisalnya dalam jumlah yang sama secara kualitas maupun kuantitas. Menurut istilah syariah adalah harta yang diberikan kepada orang lain dengan ketentuan dia akan mengembalikan harta yang semisalnya kepada peminjam. [1]

Sedangkan modal merupakan keikutsertaan berupa pernyataan harta untuk dikelola di dalam sebuah bisnis atau yang juga sering disebut investasi. Adapun menurut makna syariat, disebut dengan syirkah yang artinya suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan. [2]

Lalu bedanya modal dengan hutang yang membahayakan apa? Sebenarnya secara sepintas perbedaan cukup jelas. Hanya saja ternyata ada perbedaan yang samar dan bisa menjerumuskan ke dosa yang besar yaitu perbedaan syarat-syarat pengembaliannya. Pada hutang tidak boleh ada tambahan karena tambahan dari hutang itu riba. Sedangkan modal bisa terdapat tambahan berupa keuntungan yang sering disebut dengan Bagi Hasil.

Karena adanya bagi hasil berarti harta modal itu ikut bekerja di dalam bisnis sehingga ketika ada keuntungan bisa dibagi sesuai prosedur kesepakatan dan jika rugi juga harus dibagi sesuai dengan proporsi modal. Oleh karena itu bagi hasil dari modal atau investasi akan mengikuti pertumbuhan naik turunnya bisnis itu sendiri.

Nah yang jadi berbahaya adalah ketika bagi hasil dipatok jumlah kembalinya harus sama sejak awal. Karena mematok jumlah itu hukumnya fasad dalam akad permodalan. Fakta seperti itu bukan termasuk permodalan atau investasi tapi itu utang piutang yang menghasilkan keuntungan walaupun disebut bagi hasil. Sehingga itulah bahaya riba yang tersamarkan atas nama bagi hasil.

Secara hukum, tidak boleh keuntungan (laba) dalam permodalan ditetapkan dalam jumlah uang tertentu, seperti sepuluh dinar, sepuluh dirham, dan seterusnya. Keuntungan dalam permodalan wajib ditetapkan dalam bentuk nisbah (persentase) tertentu dari laba, misalnya 40 persen laba bagi shahibul mal (pemodal) dan 60 persen laba bagi mudharib (pengelola modal). [3]

Dalam kitab As Syarikat fi Dhau` Al Islam, Syaikh Abdul Aziz Al Khayyath ketika menjelaskan syarat-syarat keuntungan (ar ribh) dalam syirkah mudharabah dinyatakan:

ولا يجوز تحديده (أي الربح) بمبلغ معين كعشرة دنانيرلاحتمال أن لا يحصل من الربح إلا المبلغ الذي حدد لأحدهما فلا تتحقق الشركة

“Tidak boleh menetapkan keuntungan dengan jumlah uang tertentu misalnya sepuluh dinar, karena kemungkinan keuntungan yang diperoleh hanya sejumlah uang yang telah ditetapkan hanya bagi salah satu dari dua pihak, sehingga hakikatnya syirkah tidak terwujud.” [4]
Jika dalam permodalan disyaratkan bahwa keuntungan ditetapkan dalam jumlah uang tertentu, maka syarat ini tidak sah dan akadnya menjadi fasad (rusak). Dijelaskan oleh Syaikh Wahbah Zuhaili :

فإذا عين المتعاقدان مقدارا مقطوعا محددا بأن شرطا مثلا أن يكون لأحدهما مئة دينار أو أقل أو أكثر والباقي للآخر فلا يصح هذا الشرط والمضاربة فاسدة…

“Maka jika dua pihak yang berakad itu mensyaratkan jumlah keuntungan yang pasti dan tertentu, misalnya keduanya mensyaratkan salah satu pihak mendapat 100 dinar atau bisa saja kurang atau lebih dari itu, sedang keuntungan sisanya untuk pihak lainnya, maka syarat ini tidak sah dan akad mudharabahnya menjadi fasid (rusak).” [5]

Kesimpulannya, bagi hasil dengan fakta jumlahnya dipatok sama sejak awal tidak sah (fasad). Karena cara bagi hasilnya tidak sesuai dengan cara bagi hasil dalam akad permodalan yang syar’i. Bagi hasil yang syar’i wajib dinyatakan dalam bentuk nisbah (persentase) tertentu dari laba, tidak boleh dinyatakan dalam jumlah nominal uang yang tertentu.

Referensi:

[1] Mahmud Yunus, Al-Fiqh Al Wadhih; seperti yang dikutip oleh Shiddiq Al Jawi, “Hukum Utang dan Pinjaman”.
[2] An-Nabhani, 1990: 146 seperti yang dikutip oleh Shiddiq Al Jawi, “Hukum-Hukum Syirkah”.

[3]  Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, seperti yang dikutip oleh Shiddiq Al Jawi, “BAGI HASIL MUDHARABAH DITETAPKAN DALAM NOMINAL (SEJUMLAH UANG), BOLEHKAH?”.

[4] Abdul Aziz Al Khayyath, As Syarikat fi Dhau` Al Islam, seperti yang dikutip oleh Shiddiq Al Jawi, “BAGI HASIL MUDHARABAH DITETAPKAN DALAM NOMINAL (SEJUMLAH UANG), BOLEHKAH?”.
[5] Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, seperti yang dikutip oleh Shiddiq Al Jawi, “BAGI HASIL MUDHARABAH DITETAPKAN DALAM NOMINAL (SEJUMLAH UANG), BOLEHKAH?”.

Redha Sindarotama

Quranic Reciter living in Yogyakarta. Actively teaching and spreading the beauty of Islam

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button