Dua Prinsip Bagi Hasil Sesuai Syariah Berdasarkan Fatwa DSN MUI No. 15 Tahun 2000
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) No. 15 Tahun 2000 menetapkan prinsip distribusi hasil usaha dalam lembaga keuangan syariah (LKS). Fatwa ini penting karena memberikan pedoman mengenai dua prinsip utama bagi hasil yang sesuai dengan syariah, yaitu prinsip Bagi Untung (Profit Sharing) dan Bagi Hasil (Net Revenue Sharing). Kedua prinsip ini diadopsi untuk memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam usaha kerjasama mendapatkan hasil yang adil dan sesuai dengan ajaran Islam.
Prinsip-prinsip ini diambil berdasarkan pertimbangan bahwa pembagian hasil usaha di antara para pihak (mitra) dalam suatu bentuk usaha kerjasama dapat didasarkan pada prinsip Bagi Untung maupun Bagi Hasil. Masing-masing prinsip memiliki kelebihan dan kekurangan yang perlu dipahami dengan baik oleh para pihak yang terlibat.
Prinsip Bagi Untung (Profit Sharing)
Prinsip Bagi Untung adalah metode distribusi hasil usaha di mana keuntungan dibagi di antara para pihak setelah pendapatan dikurangi dengan modal dan biaya-biaya lainnya. Mekanisme ini menekankan pada pembagian keuntungan bersih yang diperoleh dari operasi usaha.
Keunggulan dari prinsip ini adalah memberikan insentif bagi para mitra untuk mengelola usaha dengan efisien, karena keuntungan yang dibagi adalah keuntungan bersih setelah semua biaya ditanggung. Hal ini mendorong para mitra untuk meminimalkan biaya dan mengoptimalkan pendapatan, sehingga usaha dapat berjalan lebih produktif.
Namun, kekurangannya adalah risiko yang lebih besar bagi para mitra jika usaha mengalami kerugian atau pendapatan tidak cukup menutup biaya. Dalam situasi seperti ini, pembagian hasil usaha dapat menjadi tidak adil karena pihak yang menyediakan modal harus menanggung beban biaya operasional yang besar.
Prinsip Bagi Hasil (Net Revenue Sharing)
Prinsip Bagi Hasil adalah metode distribusi hasil usaha di mana pendapatan dibagi di antara para pihak setelah dikurangi dengan modal (ra’su al-mal). Berbeda dengan prinsip Bagi Untung, prinsip ini tidak mempertimbangkan biaya operasional dalam perhitungan bagi hasil.
Keunggulan dari prinsip ini adalah kejelasan dan kemudahan dalam perhitungan bagi hasil, karena hanya memperhitungkan pendapatan dan modal. Dengan demikian, pembagian hasil usaha dapat dilakukan lebih cepat dan transparan, karena tidak perlu memperhitungkan biaya-biaya operasional yang mungkin sulit diidentifikasi secara akurat.
Namun, kekurangannya adalah potensi ketidakadilan jika biaya operasional sangat tinggi, sehingga keuntungan bersih yang didapat tidak signifikan. Dalam kondisi ini, pihak yang menyediakan modal atau menanggung biaya operasional yang lebih besar mungkin merasa dirugikan karena pendapatan yang dibagi tidak mencerminkan kinerja usaha yang sesungguhnya.
Ketentuan Umum dalam Fatwa
Fatwa DSN MUI No. 15 tahun 2000 memberikan ketentuan umum bahwa LKS boleh menggunakan prinsip Bagi Hasil maupun Bagi Untung dalam pembagian hasil usaha dengan nasabahnya. Dari segi kemaslahatan (al-ashlah), saat ini disarankan untuk menggunakan prinsip Bagi Hasil. Hal ini karena prinsip Bagi Hasil dianggap lebih sesuai dengan kondisi ekonomi dan kebutuhan nasabah saat ini.
Penetapan prinsip pembagian hasil usaha yang dipilih harus disepakati dalam akad. Ini berarti, sebelum kerjasama dimulai, para pihak harus duduk bersama untuk merumuskan dan menyepakati prinsip bagi hasil yang akan digunakan. Kesepakatan ini harus dituangkan dalam akad yang sah menurut syariah, sehingga menjadi landasan hukum yang mengikat bagi semua pihak.
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Badan Arbitrasi Syariah bertugas untuk menyelesaikan sengketa secara adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Fatwa DSN MUI No. 15 Tahun 2000 memberikan panduan yang jelas mengenai dua prinsip bagi hasil yang dapat digunakan dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS), yaitu Bagi Untung dan Bagi Hasil. Kedua prinsip ini memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing, namun keduanya dapat digunakan untuk memastikan distribusi hasil usaha yang adil sesuai dengan syariah. Dengan mengikuti panduan ini, Lembaga Keuangan Syariah dapat menjalankan operasinya dengan lebih transparan dan adil, sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
Fatwa ini relevan dalam praktek LKS saat ini, karena memberikan kepastian hukum dan membantu mengelola risiko usaha dengan lebih baik, sehingga meningkatkan kepercayaan nasabah dan stabilitas sistem keuangan syariah. Selain itu, fatwa ini juga mendorong LKS untuk terus berinovasi dalam menyediakan produk dan layanan yang sesuai dengan kebutuhan nasabah dan perkembangan ekonomi.
Dengan demikian, diharapkan prinsip-prinsip bagi hasil yang diatur dalam fatwa ini dapat menjadi dasar yang kuat bagi LKS dalam menjalankan operasinya, serta memberikan manfaat yang optimal bagi semua pihak yang terlibat.
Wallahu a’lam
Referensi:
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. (2000). Fatwa No. 15/DSN-MUI/IX/2000 tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syari’ah. Jakarta: DSN-MUI.