Hindari Investasi yang Mengandung Syubhat!
Pernah nggak sih kamu mikir, kalau uang bisa ngomong?
Bayangin, nanti di hari kiamat, setiap harta yang pernah mampir ke tangan kita bisa bersaksi di hadapan Allah ﷻ. Ia akan berkata, “Saya datang dari jalan ini… lalu digunakan untuk hal itu…” Semua jadi terang. Nggak ada yang bisa disembunyikan.
Uang bukan sekadar alat tukar. Ia mencerminkan jalan hidup yang kita pilih. Ia menyimpan arah niat. Dan suatu hari nanti, ia bisa jadi saksi yang membela, atau sebaliknya, yang memberatkan.
Dalam pandangan Islam, harta bukan milik mutlak kita. Ia adalah amanah dari Allah ﷻ, dan amanah itu kelak akan ditanya. Sebagaimana firman-Nya:
وَآتُوهُمْ مِّنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ
“Berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang telah Dia berikan kepadamu.”
(QS. An-Nūr: 33)
Lihat bagaimana Allah ﷻ menyebut harta itu sebagai mālullāh harta milik-Nya. Kita hanya dititipi. Dan sebagai titipan, tentu ada adab dalam memperlakukan dan mengelolanya.
Itulah mengapa kita nggak bisa sembarang dalam urusan keuangan. Termasuk saat memutuskan untuk berinvestasi. Karena sejatinya, investasi halal bukan hanya soal strategi cuan, tapi juga bentuk ketaatan kepada aturan-Nya.
Nah, lalu seperti apa sebenarnya posisi investasi dalam Islam?
Investasi: Bukan Cuma Cuan, Tapi Ibadah
Hari ini, banyak orang ingin hartanya bertumbuh. Ingin punya penghasilan pasif, ingin “uang kerja sendiri.” Itu wajar, sah-sah saja. Tapi saat kita mulai bicara soal investasi, maka harusnya kita juga bicara soal nilai. Soal halal-haram. Soal berkah atau tidak.
Sayangnya, nggak semua tawaran yang terlihat islami benar-benar sesuai syariat. Banyak yang tampil dengan label “syariah”, tapi di dalamnya masih mengandung unsur riba, gharar (ketidakjelasan), atau bahkan skema tipu-tipu yang dibungkus rapi.
Padahal, investasi itu bisa jadi ladang pahala… atau malah jadi beban hisab. Maka dari itu, kita butuh yang benar-benar investasi halal yang bukan hanya menghindari haram, tapi juga selamat dari syubhat.
Rasulullah ﷺ sudah memberi peringatan lewat sabdanya:
الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَ ذَلِكَ أُمُورٌ مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَدْرِي كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ أَمِنْ الْحَلَالِ هِيَ أَمْ مِنْ الْحَرَامِ
“Halal itu jelas, haram juga jelas dan di antara itu terdapat perkara yang syubhat (samar-samar) yang kebanyakan manusia tidak mengerti apakah dari yang halal atau haram.” (HR. Jami’ At-Tirmidzi No. 1126)
Jelas bahwa menjaga diri dari yang samar adalah bentuk ketakwaan. Karena perkara syubhat itu sering jadi celah awal menuju haram. Dan kalau kita kurang hati-hati, bisa-bisa investasi yang niat awalnya baik malah menjerumuskan kita ke jalan yang dibenci oleh Allah ﷻ.
Jadi, investasi halal bukan cuma soal produk atau sistem, tapi soal akhlak keuangan. Soal kehati-hatian. Soal kesadaran bahwa kita sedang mengelola amanah, bukan sekadar mencari keuntungan.
Tapi masalahnya, bagaimana cara kita mengenali investasi yang syubhat? Apa saja ciri-cirinya? Dan kenapa masih banyak orang yang terjebak di dalamnya, padahal sudah tahu ilmunya?
Di sinilah pentingnya kita memahami fenomena syubhat secara lebih dalam.
Baca juga: Paham Harta Bukan Segalanya, Tapi Masih Berat Kehilangannya?
Kenali Syubhat: Antara Kilau Dunia dan Jalan yang Licin
Salah satu ujian terbesar dalam dunia keuangan hari ini adalah “kilau yang menipu”. Banyak penawaran investasi yang tampak meyakinkan: untung besar, waktu singkat, bonus berlipat, dan yang paling parah saat dilabeli “syariah”.
Makanya kita harus hati-hati. Karena kilau itu belum tentu cahaya.
Syubhat itu seperti kabut tipis di jalan gelap. Kalau kita nggak peka dan nggak ngerti rambu-rambunya, bisa-bisa kita tergelincir, bahkan sebelum sadar kita salah jalan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ، فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ
“Barangsiapa yang menjaga diri dari perkara syubhat, maka sungguh ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.” (HR. Jami’ At-Tirmidzi No. 1126)
Itu artinya, menjauh dari syubhat adalah langkah preventif. Bahkan sekalipun kita belum yakin itu haram, jika hati mulai was-was, maka meninggalkannya justru lebih selamat.
Sayangnya, banyak yang mengabaikan rasa was-was itu. Mereka lebih tergiur narasi “asal untung, halal belakangan”. Atau merasa aman hanya karena ikut teman yang “katanya” paham. Padahal, standar investasi halal bukan apa kata orang, tapi apa kata Allah ﷻ dan Rasul-Nya.
Syubhat bisa muncul dalam berbagai bentuk: Imbal hasil tetap tapi tidak transparan dari mana sumbernya, Sistem titip dana tapi tidak ada akad jelas, Skema bonus dari perekrutan orang lain (mirip money game), Dan bahkan investasi yang mengatasnamakan syirkah, tapi praktiknya lebih mirip utang berbunga
Makanya, kita nggak bisa asal percaya hanya karena ada embel-embel syariah. Kita butuh ilmu, butuh rambu, dan butuh keberanian untuk mengatakan tidak kalau ada yang meragukan.
Kalau begitu, gimana cara kita memastikan bahwa yang kita ikuti benar-benar investasi halal?
Baca juga: Harta Kekayaan Ada, Tapi Kenapa Masih Gelisah?
Menjaga Harta, Menjaga Diri: Prinsip Investasi Halal
Kalau kita serius pengin menjaga harta agar tetap halal dan berkah, maka kita harus paham prinsip-prinsip investasi halal secara utuh. Bukan sekadar ikut-ikutan tren, tapi mengerti batasannya secara fikih.
Setidaknya ada beberapa prinsip penting:
Transparansi akad dan risiko
Islam mengajarkan akad yang jelas dan saling ridha. Nggak boleh ada unsur tipu-tipu, gharar (ketidakjelasan), atau manipulasi. Investasi halal harus berbasis pada keterbukaan risiko dan keuntungan.
Bebas riba dan skema utang berbunga
Riba bukan hanya haram, tapi ancamannya sangat berat. Allah ﷻ berfirman:
فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
“Maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya…”
(QS. Al-Baqarah: 279)
Maka segala bentuk investasi yang mengandung bunga, jaminan keuntungan tetap, atau utang berbunga harus ditinggalkan.
Tidak menzalimi dan tidak dizalimi
Islam menekankan prinsip keadilan. Dalam investasi, semua pihak harus sama-sama tahu hak dan risikonya. Nggak ada yang disembunyikan. Nggak ada yang dirugikan secara sepihak.
Memilih sektor yang halal dan produktif
Uang yang kita tanamkan harus masuk ke sektor yang halal. Nggak boleh ke bisnis yang bertentangan dengan syariat seperti alkohol, riba, judi, atau spekulasi ekstrem.
Dengan mengikuti prinsip-prinsip ini, kita bisa lebih tenang. Nggak cuma secara finansial, tapi juga secara spiritual. Karena kita tahu bahwa harta yang kita kelola bukan hanya aman, tapi juga insyaAllah diridhai oleh Allah ﷻ.
Dan di situlah letak keindahan investasi halal: ia bukan cuma tentang untung dunia, tapi juga bagian dari taqarrub kepada Rabb semesta alam.
Baca juga: Kekayaan Bukan Life Goals dalam Islam
Khatimah: Harta Bisa Jadi Jalan Surga, atau Neraka
Uang memang bukan segala-galanya. Tapi ia bisa jadi ujian yang besar. Bisa jadi penyelamat… atau sebaliknya, pemberat di hari hisab.
Makanya, kita nggak bisa asal kelola, apalagi asal investasi.
Investasi halal bukan sekadar pilihan aman, tapi jalan ibadah. Jalan syukur atas rezeki yang dititipkan, dan bentuk tanggung jawab kita sebagai hamba yang takut pada hisab.
Mari kita ingat pesan Rasulullah ﷺ:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari No. 2232)
Jadi, saat kamu pegang uang hari ini, tanyakan dalam hati: “Apakah ini akan jadi saksi yang membela… atau yang memberatkan aku nanti?”
Semoga Allah ﷻ menjaga hati, harta, dan langkah kita di jalan yang diridhai-Nya.
Baca juga: Cara Melindungi Diri dari Inflasi dengan Investasi Syariah

Yuk Mulai Investasi Halal di Nabitu.
Referensi:
Al-Qur’an al-Karim.
Al-Bukhārī, Muḥammad ibn Ismāʿīl. Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Hadits no. 2232. Diakses dari: https://www.hadits.id/hadits/bukhari/2232
At-Tirmiżī, Muḥammad ibn ʿĪsā. Sunan at-Tirmiżī, Hadits no. 1126. Diakses dari: https://www.hadits.id/hadits/tirmidzi/1126
Tafsir Ibnu Katsir, tafsir QS. An-Nūr: 33 dan QS. Al-Baqarah: 279. Diakses dari: https://tafsirweb.com/