AkhlaqMuslim LifestyleOpini

Hijrah dari TV dengan Tawakkal

Sejak mengandung anak pertama, di umur kehamilan yang baru sekitar 2-3 minggu, saya dan suami sudah menentukan nama anak kami, yaitu Faqih Fiddin Muhammad. Kami memang ingin anak-anak kami menjadi seorang yang faqih (sangat faham, mendalami sungguh-sungguh) fiddin (dalam agamanya). Alhamdulillah saya dan suami walaupun baru mengenal lebih dalam 3 bulan setelah menikah, memiliki visi dan misi yang sama dalam bagaimana anak-anak kami akan kami didik. Salah satu misi yang, kami sudah tau itu benar, namun cukup berat dilakukan adalah bagaimana meminimalisir paparan gadget dan TV kepada anak.

Setelah anak pertama lahir, saya tidak memiliki pembantu yang menginap. Saat itu cukup sulit mengerjakan beberapa pekerjaan rumah tangga dengan menggendongnya. Oleh karena itu saat anak berumur < 1 tahun, saya kadang menyerah memberikan anak gadget dengan tontonan islami. Setelah pekerjaan selesai, gadget diambil kembali. Selain itu, anak saya yang pertama ini (Faqih) sulit sekali makan sejak bayi. Maka sampai Faqih umur 3 tahun, saya masih memberikan TV dengan batasan hanya 2 jam saja (saat makan sore/malam), dengan tontonan Tayo dan Robocar Poli kesukaannya. Kalau dia tidak mau makan, cukup di-pause lalu memintanya makan. Cara ini cukup efektif untuk membuatnya makan, walaupun harus menyalakan TV.

Sampai akhirnya, dunia sosmed dihebohkan dengan berita Maudy Ayunda yang galau memilih antara mengambil kuliah master di Stanford atau Harvard. Prestasi akademis ini sangat mentereng di Indonesia, apalagi dia seorang artis. Berita ini sangat menginspirasi saya dan suami, ternyata sosok yang berhasil secara akademis ini sejak kecil dididik benar-benar tanpa TV di dalam rumahnya. Tentunya bukan hanya itu, pembiasaan untuk menyukai buku juga dibiasakan sejak kecil. Sebenarnya saya sudah tahu sejak lama sebelum melahirkan anak bahwa yang ideal itu memang tanpa TV. Saya sudah mempelajari bagaimana Bu Wirianingsih mendidik seluruh anaknya menghafal al Quran tanpa TV, dan juga kisah2 keberhasilan anak lain yang berhasil menghafal Al Quran, biasanya mereka benar-benar tanpa TV di dalam rumahnya. Tapi karena figur keberhasilan anaknya dalam jangka panjang (misal sampai umur 20 tahun) tidak dipublish, jadi sepertinya belum terlalu makes sense bagi saya. Sejak berita Maudy, yang kisah keberhasilannya dalam akademis dibahas oleh berbagai media, ada dorongan yang sangat kuat dalam diri saya dan suami untuk benar-benar stop TV demi masa depan anak-anak kami.

Akhirnya tepat satu hari setelah Faqih berumur tiga tahun, saya benar-benar mantap untuk stop memberikan TV dan tontonan youtube untuk anak. Benar-benar stop, tidak sedikit pun. Kalau ada pun, itu karena terdesak di rumah mertua atau orang tua kami yang belum memiliki visi dan misi yang sama untuk anak-anak. Ternyata proses hijrah dari TV ini lebih berat dari menyapih, hehe. Masih ada rasa sedikit sedih dalam hati saya tidak bisa memberikan apa yang membuatnya bahagia, yaitu tontonan Tayo dan Robocar Poli. Ada juga keraguan dalam hati saya apakah masa kecil anak saya akan menjadi bahagia… Tapi, perasaan sedih dan keraguan ini mengingatkan saya tentang beberapa proses hijrah yang dahulu pernah saya lakukan, seperti:

  • Saat SMA, saya berkomitmen hijrah menutup aurat dan memakai kerudung. Saya ragu apakah saya bisa terlihat cantik saat menikah, imajinasi tersebut kadang membuat sedih.
  • Saat SMA juga, saya pernah berkomitmen untuk tidak pacaran dan berusaha tidak memberikan rasa kepada lawan jenis sedikitpun, dan berusaha mengerahkan perasaan cinta hanya kepada Allah saja. Memang kadang sedih dan ragu bagaimana saya akan mendapat jodoh.
  • Saat menolak bbrp lamaran dari lawan jenis karena tidak sesuai kriteria Bapak dan murobbi.

Akhirnya saya ingat kembali bahwa dalam setiap proses hijrah untuk keputusan-keputusan besar selalu ada pengorbanan perasaan, dan rasa sedih dan ragu itu dapat disembuhkan dengan tawakkal kepada Allah. Jika kita sudah yakin proses yang kita lakukan ini benar, mengapa harus ragu?

Ya Allah, aku yakin yang kupilih ini sudah benar, aku tawakkalkan hasilnya kepadamu ya Allah.

Dan ketika sudah ada kemantapan hati, menepis semua kesedihan dan keraguan, hadirlah rasa manis di dalam hati, yang sepertinya hanya dirasakan oleh orang-orang yang telah memilih jalan kebenaran, jalan mendaki lagi sukar ini… Rasa manis itu seperti, rasa yakin, percaya bahwa Allah akan menjamin masa depan kita.

“Kemudian, jika engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakkal” (QS 3:159)

Beberapa perubahan yang mengejutkan saya lihat di Faqih setelah full hijrah dari TV dan gadget:

  • Minim tantrum, sudah tidak pernah lagi ngambek-ngambek minta TV/gadget
  • Lebih mudah diarahkan dan lebih mendengar perkataan orang tua
  • Masih bisa disuapi dengan metode “mengancam” yang lain, yaitu “Kalau Faqih nggak makan, Ummi pergi ya”.
  • Sedikit demi sedikit semakin menyukai buku
  • Progress toilet training semakin bagus, sudah bisa ke kamar mandi sendiri walau masih pup/pip di celana saking kebeletnya (sampai umur 3 tahun dia belum lulus toilet training, astagfirullah T_T)
  • Mudah diarahkan untuk mandi, biasanya sulit banget merayu dia mandi

Demikian kisah hijrah keluarga kami dari TV. Masih ada progres-progres yang ingin kami lakukan untuk pendidikan kami dan anak kami di rumah, seperti lebih intens dan konsisten mengaji di waktu yang tetap, menggunakan bahasa inggris di rumah, dan lainnya.

Semoga kisah ini bermanfaat ya!

Tangerang,

2019

Anbarsanti

Founder nabitu.id | Mahasiswa Ph.D., Nanyang Technological University, Singapura.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button