AkhlaqAqidah

Polemik Ucapan Selamat Natal

Beberapa tahun terakhir ini, setiap akhir tahun umat islam selalu disibukkan oleh polemik ucapan Selamat Natal. Karena masih saja ada diantara kaum muslimin yang berpendapat bahwa ucapan tersebut boleh-boleh saja.  Padahal, sudah sangat jelas, pendapat yang rajih (benar) menurut Al-Qur’an, as-Sunnah dan qaul para ulama adalah haram alias tidak boleh.

Perlu kita ketahuilah, bahwa ucapan selamat dalam bahasa Arab adalah tahniah. Berasal dari kata hanna’a. Lawan dari kata ta’ziyah. Hani’a bihi artinya senang/bahagia atau gembira. Hanna’a artinya as’ada (membahagiakan). Karena itu, ucapan selamat kepada seseorang maknanya adalah ikut serta dengan dia dalam kegembiraannya dan menampakkan kegembiraannya itu.

Maka, yang menjadi pertanyaan adalah, layakkah kita ikut bergembira? 

Hari Raya Natal menurut pesan Natal  Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tahun 2019 dinyatakan, “Dengan penuh sukacita, kita merayakan pesta kelahiran Tuhan kita Yesus Kristus, Raja Damai, yang datang untuk ‘merubuhkan tembok pemisah, yakni perseteruan (Efesus 2:14)’ yang memecah-belah umat manusia…”

Demikian juga di dalam Pesan Natal Bersama PGI dan KWI tahun 2020 dinyatakan, “Natal adalah berita sukacita dan pewartaan cinta karena Juruselamat, Sang Raja Damai, Allah beserta kita, lahir di dunia…”

Jadi makna Perayaan Natal adalah perayaan atas kelahiran Tuhan Yesus Kristus di dunia. Tidak ada makna lain dari Perayaan Natal selain ini.

Lalu pantaskah kita ikut senang dan bergembira kelahiran Tuhan Yesus Kristus; juga pengakuan dan keridhaan terhadap kelahiran Tuhan Yesus Kristus?

Allah subhanahu wa ta’ala telah mengingatkan kita dengan firman-Nya:

وَقَالُوا۟ ٱتَّخَذَ ٱلرَّحْمَٰنُ وَلَدًا لَّقَدْ جِئْتُمْ شَيْـًٔا إِدًّا

Mereka berkata, “Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai anak.” Sungguh kalian telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar (QS Maryam [19]: 88–89).

Karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan kekafiran kaum Nasrani:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ

Sungguh telah kafirlah orang-orang yang berkata, “Sungguh Allah itu adalah Al-Masih putra Maryam.” (TQS al-Maidah [5]: 72).

لَّقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ ۘ وَمَا مِنْ إِلَٰهٍ إِلَّا إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۚ وَإِن لَّمْ يَنتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

أَفَلَا يَتُوبُونَ إِلَى اللَّهِ وَيَسْتَغْفِرُونَهُ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Sungguh kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah adalah salah seorang dari yang tiga. Padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. Lalu mengapa mereka tidak bertobat kepada Allah dan memohon ampunan kepada-Nya? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (TQS al-Maidah [5]: 73-74).

Maka, pemberian ucapan Selamat Natal jelas bertentangan dengan ayat-ayat tersebut. Justru yang seharusnya diserukan kepada mereka, sebagaimana dalam QS al-Maidah ayat 73-74, adalah agar mereka bertobat dan meninggalkan kekufuran mereka serta Bukan malah memberikan ucapan selamat atas kekafiran mereka.

Ketahuilah pula bahwa ucapan Selamat Natal juga termasuk syiar agama mereka. Jika kita turut mengucapkannya, berarti kita menyerupai mereka. Padahal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tegas melarang yang demikian:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Siapa saja yang menyerupai suatu kaum maka dia bagian dari mereka (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Ketahuilah, keharaman mengucapkan Selamat Natal telah menjadi ijma (disepakati) para ulama. Bahkan para ulama menyatakan, orang yang mengucapkan selamat hari raya kepada orang kafir layak dijatuhi hukuman ta’zîr. Di antaranya Imam Kamaluddin ad-Damiri (w. 808 H) dalam kitab An-Najmu al-Wahhâb fî Syarhi al-Minhâj. Ia  mengatakan, “Dijatuhi sanksi ta’zîr orang yang menyamai kaum kafir dalam hari raya mereka…dan orang yang berkata kepada dzimmi, ‘Ya Hajj,’ juga orang yang memberikan selamat hari raya.”

Imam Syihab Ahmad ar-Ramli asy-Syafii (w. 957 H), di dalam Hasyihah ar-Ramli ‘ala Asna al-Mathâlib, mengatakan, “Dijatuhi sanksi ta’zîr orang yang menyamai kaum kafir dalam hari raya mereka…juga orang yang memberikan selamat hari raya kepada mereka.”

Kendati keharaman itu jelas, kita tetap diperintahkan berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang kafir dalam bermuamalah, bertetangga dan interaksi lainnya yang memang dibolehkan syariah. Sebagaimana dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuat baik kepada mereka. 

Tapi ingat, kita dilarang tasyabbuh bi al-kuffâr yakni menyerupai mereka. Sekali lagi, haram hukumnya memberikan ucapan Selamat Natal kepada mereka.

Sumber:

https://tafsirweb.com/37135-surat-maryam.html

Redha Sindarotama

Quranic Reciter living in Yogyakarta. Actively teaching and spreading the beauty of Islam

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button