Bagaimana Hukum Uang Muka atau Down Payment (DP)?
Saat bertransaksi ada yang mengharuskan pembayaran uang muka atau DP?
Nah, biasanya kita akan menemui syarat uang muka (DP) pada transaksi yang sifatnya tidak tunai. Seperti pada akad-akad murabahah, istishna’, dan jual beli angsuran baik melalui leasing syariah, bank syariah, ataupun jual beli dengan personal.
Sebelum membahas lebih jauh. Mari kita pahami dulu apa makna dari uang muka atau down payment (DP). Uang muka (Down of Payment) dalam istilah fiqih adalah urbun atau urban. Adapun arti dasar kata urbun dalam bahasa Arab adalah meminjamkan atau memajukan. Secara etimologis urbun berarti sesuatu yang digunakan sebagai pengikat dalam jual beli.
Sedangkan, secara definisi menurut Bank Indonesia uang muka adalah pembayaran di muka sebesar persentase tertentu dari nilai pembelian properti atau harga kendaraan bermotor yang sumber dananya berasal dari debitur atau nasabah. Hal ini juga diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 18/16/PBI/2016.
Tapi apakah uang muka atau down payment ini diperbolehkan?
Jika dilihat dari pandangan syariah, adanya syarat uang muka adalah sah dan mubah. Maka dari itu, pihak-pihak yang terlibat seperti penjual di dalam transaksi jual beli ataupun pihak yang menyewakan dalam sewa manfaat diperbolehkan mensyaratkan kepada pembeli atau penyewa untuk menyerahkan uang muka. Setelahnya jika sudah disepakati oleh kedua pihak yang bertransaksi maka uang muka tersebut menjadi mengikat dan wajib ditunaikan oleh pembeli dan penyewa. Begitu pula sebaliknya, jika tidak disyaratkan di awal maka pembeli atau penyewa tidak berkewajiban untuk menyerahkan uang muka.
Jadi bisa kita pahami bahwa uang muka adalah sebuah tanda keseriusan dalam melakukan sebuah transaksi. Uang muka akan menjadi bagian dari harga beli jika sebuah transaksi jadi untuk dilanjutkan. Lalu, bagaimana jika transaksi tersebut gagal oleh pembeli dan pembeli tersebut sudah memberikan uang muka?
Maka uang muka tersebut tidak hangus tetapi jika yang membatalkan transaksi adalah pembeli maka akan adanya potongan uang sebesar kerugian rill penjual.
Dari pandangan maqashid syariah, dipandang sebagai pengikat (lil istisyaq). Pengikat transaksi antara nasabah dengan LKS maupun pihak lainnya. Bai’ al-‘urbun atau uang muka menurut ulama Hanabilah termasuk jenis jual beli yang mengandung kepercayaan dalam bermuamalah, yang diperbolehkan atas dasar kebutuhan hajat menurut pertimbangan ‘urf (adat kebiasaan)
Jika kita telaah mengenai hukum uang muka baik dari fatwa DSN MUI terkait pembiayaan murabahah yang dilaksanakan oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dibolehkannya memperoleh uang muka dari nasabah. Lalu, berapakah nominal yang diperbolehkan untuk menentukan uang muka? Hal ini dikembalikan kepada kesepakatan kedua belah pihak yang terlibat akad transaksi.
Ketika terjadi pembatalan akad murabahah oleh nasabah maka uang muka akan dijadikan ganti rugi oleh pihak LKS. Jika saja jumlah uang muka lebih kecil dari nilai kerugian maka LKS diperbolehkan meminta uang tambahan kepada nasabah. Sebaliknya ketika uang muka lebih besar atau terdapat selisih dari nilai kerugian yang ditanggung oleh LKS maka selisih uang muak tersebut harus dikembalikan kepada nasabah (Fatwa DSN MUI Nomor 13/DSN- MUI/IX/2000 tentang uang muka dalam murabahah).
Hal tersebut selaras dengan standar syariah internasional yang ditetapkan oleh AAOIFI terkait dengan uang muka. Para LKS diperbolehkan menentukan syarat uang muka untuk melihat kemampuan finansial nasabah yang akan bertransaksi dan melihat kemampuan nasabah untuk mengganti kerugian riil ketika terjadi pelanggaran janji saat melakukan akad.
Jadi dengan adanya uang muka dimaksudkan agar terjalinya komitemen yang lebih kuat antara kedua belah pihak yang melakuakan akad. Uang muka (Down Payment) di masukkan kedalam kategori sebuah tanda keseriusan nasabah (hamisy jiddiyah) (Standar syariah internasional AAOIFI No 8 tentang Al-Murabahah lil Amir Bisy-syira).
Dari penjelasan mengenai definisi, hukum dan manfaat uang muka maka bisa kita simpulkan uang muka boleh dipersyaratkan pada sebuah transaksi. Sedangkan jika uang muka di sebutkan dan disepakati dalam akad di awal maka wajib dipenuhi pembayarannya. Sedangkan jika terjadi pembatalan oleh pihak pembeli atau nasabah maka akan dipotong sesuai nilai kerugian riil yang diperoleh oleh penjual.
Referensi:
Hidayat, Enang. (2015). Fiqih Jual Beli. Bandung : Remaja Rosda Karya.
Sahroni, Oni. (2021). Fiqih Muamalah Kontemporer Jilid 2. Jakarta: Penerbit Republika.