Ekonomi IslamFiqih MuamalahHarta Haram KontemporerKeuanganUncategorized

Jual Beli Emas Tidak Tunai Berdasarkan Fatwa DSN-MUI dan Standar AAOIFI

Perdagangan emas telah menjadi subjek perdebatan di kalangan ulama Islam karena keterkaitannya dengan prinsip-prinsip Syariah yang ketat mengenai riba dan gharar. Dalam konteks ini, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) telah memberikan panduan dan fatwa mengenai jual beli emas secara tidak tunai. Artikel ini akan membahas dan membandingkan pandangan kedua lembaga tersebut. 

Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010 

Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010 menyatakan bahwa jual beli emas secara tidak tunai diperbolehkan (mubah, ja’iz) selama emas tersebut tidak berfungsi sebagai alat tukar resmi (uang). Fatwa ini memberikan kelonggaran dalam perdagangan emas, yang dianggap lebih sebagai barang (sil’ah) daripada mata uang. Pendapat ini disebutkan oleh beberapa ulama di antaranya syeikh Ali Jum’ah dan syeikh Wahbah Zuhaili. 

Jual beli emas secara tidak tunai boleh dilakukan dengan beberapa syarat berdasarkan fatwa ini. Pertama, harga jual emas tidak boleh meningkat selama jangka waktu perjanjian, bahkan jika ada perpanjangan waktu setelah jatuh tempo. Ini memastikan bahwa transaksi tersebut bebas dari riba, yaitu peningkatan nilai hutang karena penundaan pembayaran. Kedua, emas yang dibeli dengan pembayaran tidak tunai boleh dijadikan jaminan (rahn). Namun, emas yang dijadikan jaminan tidak boleh dijualbelikan atau dijadikan objek akad lain yang menyebabkan perpindahan kepemilikan. Ini untuk memastikan bahwa emas tetap dalam kepemilikan pihak yang berhak selama perjanjian berlangsung. 

Baca Juga: Mau Investasi Emas. Gimana Supaya Sesuai Syariat?

Dasar hukum dari fatwa ini mengacu pada QS. Al-Baqarah [2]: 275 yang menyatakan bahwa Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Hadis-hadis Nabi yang mensyaratkan transaksi emas harus dilakukan secara tunai juga menjadi acuan. Namun, DSN-MUI berdasarkan pendapat ulama seperti  syeikh Ali Jum’ah, syeikh Wahbah Zuhaili, Ibnul Qayyim dan Ibnu Taimiyah menafsirkan bahwa jika emas tidak lagi berfungsi sebagai uang, ketentuan ini tidak berlaku. Dengan kata lain, emas diperlakukan sebagai komoditas biasa yang bisa diperjualbelikan dengan pembayaran tertunda selama tidak ada unsur riba. 

Standar AAOIFI 

AAOIFI menegaskan bahwa jual beli emas harus dilakukan secara tunai (yadan bi yadin). AAOIFI sangat ketat dalam hal ini karena menganggap emas sebagai barang ribawi yang harus diperdagangkan tanpa ada unsur riba. Ini berarti bahwa transaksi emas harus diselesaikan secara langsung, artinya baik pembayaran maupun pengiriman emas harus terjadi secara bersamaan. Hal ini tentunya didasarkan pada pendapat jumhur ulama yang memiliki prinsip yang sama terkait transaksi emas. 

Penundaan dalam pembayaran atau pengiriman emas dianggap sebagai riba dan tidak diperbolehkan. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa emas, seperti halnya mata uang, harus diperdagangkan dengan cara yang menghindari segala bentuk riba. Hadis-hadis Nabi yang melarang penjualan emas dengan penangguhan pembayaran atau pengiriman menjadi dasar utama dari standar ini. 

Perbedaan utama antara standar DSN-MUI dan AAOIFI terletak pada perlakuan terhadap emas. DSN-MUI memberikan lebih banyak fleksibilitas dengan mengizinkan transaksi emas tidak tunai di bawah kondisi tertentu, sementara AAOIFI mempertahankan pendekatan yang lebih ketat dengan mengharuskan semua transaksi emas diselesaikan secara tunai untuk menghindari riba.  

DSN-MUI menyesuaikan hukum klasik dengan praktik kontemporer, mengakui kebutuhan praktis dan penggunaan emas sebagai komoditas. Ini terlihat dari kebijakan mereka yang memperbolehkan pembayaran tertunda asalkan harga tetap dan emas bisa dijadikan jaminan. Sebaliknya, AAOIFI sangat mematuhi hukum Islam tradisional, memastikan bahwa transaksi emas bebas dari riba dengan mengharuskan transaksi dilakukan secara tunai dan langsung. 

Jual Beli Emas Tidak Tunai Berdasarkan Fatwa DSN-MUI dan Standar AAOIFI
Jual Beli Emas Tidak Tunai Berdasarkan Fatwa DSN-MUI dan Standar AAOIFI

Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010 memberikan kelonggaran dalam jual beli emas secara tidak tunai dengan syarat emas tidak berfungsi sebagai alat tukar resmi. Sebaliknya, AAOIFI menekankan bahwa jual beli emas harus dilakukan secara tunai untuk menghindari riba. Perbedaan ini mencerminkan adaptasi yang berbeda terhadap prinsip-prinsip Islam dalam konteks modern. DSN-MUI lebih fleksibel dalam menghadapi kebutuhan praktis masyarakat, sementara AAOIFI tetap berpegang teguh pada ketentuan hukum klasik. 

Baca Juga: 4 Cara Melunasi Hutang Riba 

Baca Juga:

Wallahu a’lam

Referensi:

AAOIFI. (2017). Shari’ah Standards. Manama: Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions. 

Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia. (2010). Fatwa No. 77/DSN-MUI/V/2010: Jual-Beli Emas Secara Tidak Tunai. Retrieved from DSN-MUI 

Majelis Ulama Indonesia. (n.d.). Tentang Kami. Retrieved from MUI 

Qur’an, Al-Baqarah, 2:275. 

Devin Halim Wijaya

Master student in IIUM (Institute of Islamic Banking and Finance) | Noor-Ummatic Scholarship Awardee

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button