Hukum memberi pinjaman adalah mandhub (sunnah) bagi pemberi pinjaman. Sesuai hadits Nabi ﷺ berikut:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً.
( Hasan: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1389)], Sunan Ibni Majah (II/812, no. 2430)
“Tidaklah seorang muslim memberi pinjaman kepada muslim yang lain dua kali kecuali, ia seperti menyedekahkannya sekali.”
Bagi peminjam (al-muqtaridh), sebagian ulama mengatakan hukumnya boleh (ja’iz).
Namun seorang ulama (Taqiyudin An Nabhani) mengatakan, bagi pihak peminjam, akad qardh hukumnya juga mandhub (sunnah).
Alasannya, karena Nabi ﷺ dahulu juga pernah meminjam (qardh) seekor unta, kemudian mengembalikannya dengan unta yang lebih besar
(An Nizham Al Iqtishadi, hlm. 189; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 33/91).
Beberapa Poin Penting dalam Akad Pinjaman
1. Setelah terjadinya akad qardh, maka kepemilikan barang berpindah menjadi milik peminjam, bukan lagi milik pemberi pinjaman. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 33/98-99).
2. Harta yang dikembalikan oleh peminjam, haruslah harta yang semisal (sejenis) dan sekadar (sama jumlah/kadarnya).
3. Tidak boleh ada syarat memberikan tambahan (ziyadah) bagi pihak peminjam. Karena tambahan itu adalah riba.
4. Tidak boleh pula pemberi pinjaman menerima hadiah atau manfaat apapun dari qardh yang diberikannya.
NB: Memang terdapat perbedaan pendapat mengenai kebolehan menerima hadiah dari peminjam, tapi amannya sih tidak menerima sedikitpun ya sahabat
Baca juga: Bedanya Utang dan Pinjaman
Baca juga: Apakah Kita Boleh Berutang?