Ekonomi IslamHarta Haram KontemporerKeuanganUncategorized

Bagi Hasil atau Riba? Kenali Bedanya dari Awal

Pernah nggak sih kamu denger ada orang bilang, “Tenang, ini investasi syariah kok. Sistemnya bagi hasil, bukan bunga.” Kedengarannya manis banget ya kayak udah pasti halal, aman, dan berkah.

Tapi… tunggu dulu. Emangnya semua yang ngaku “bagi hasil” itu otomatis bebas dari riba? Belum tentu, lho. Karena faktanya, banyak banget praktik investasi yang katanya “bagi hasil”, tapi kalau dicek lebih dalam, ternyata cuma kamuflase dari sistem ribawi.

Bahayanya? Riba itu bukan dosa biasa. Dalam Al-Qur’an, Allah ﷻ sampai menyatakan perang terhadap pelaku riba! 

Allah ﷻ berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba yang belum dipungut jika kamu benar-benar beriman.”
(QS. Al-Baqarah: 278)

Makanya, penting banget buat kita bedah bareng-bareng:
– Apa sebenarnya sistem bagi hasil dalam Islam?
– Kenapa ada yang bilang sistemnya “syariah” tapi ternyata tetap mengandung riba?
– Dan gimana caranya supaya kita nggak kejebak dalam akad yang rusak secara syar’i?

Yuk, kita ulas bab ini, karena perkara muamalah bukan soal selera atau asal niat baik, tapi soal ketaatan pada aturan dari Rabb kita ﷻ.

Sistem Bagi Hasil Dalam Islam

Dalam Islam, sistem bagi hasil itu bukan cuma soal “nanti dibagi” terus udah beres. Ada aturan main yang jelas, ada akad yang harus syar’i, dan semuanya nggak bisa asal-asalan.

Ada dua jenis akad utama yang jadi pondasi sistem bagi hasil dalam syariah:

1. Mudharabah (مضاربة)

Ini adalah akad kerja sama antara pemilik modal (shahibul maal) dan pengelola usaha (mudharib). Satu pihak ngasih modal, pihak lain yang jalankan usaha.

➡ Modal: dari satu pihak
➡ Kerja/tenaga: dari pihak lain
➡ Keuntungan: dibagi berdasarkan nisbah (persentase), yang disepakati di awal
➡ Kerugian: ditanggung pemilik modal, selama bukan karena kelalaian pengelola

Misalnya:

Kamu kasih modal Rp10 juta, disepakati keuntungan dibagi 60:40 (60% buat kamu, 40% buat dia).
Kalau usaha untung Rp2 juta, kamu dapat Rp1,2 juta dan dia dapat Rp800 ribu.
Kalau usaha rugi, kamu yang nanggung kerugian modalnya (misal jadi tinggal Rp9 juta), selama nggak ada kelalaian dari dia.

Catatan penting:
– Tidak boleh menetapkan nominal keuntungan tertentu (misalnya: “Saya mau Rp500 ribu per bulan ya, fix.” → ini batal)
– Harus jelas jenis usaha dan cara kerja
– Tidak boleh ada jaminan dari mudharib untuk menanggung kerugian, kecuali karena kelalaiannya

2. Musyarakah (مشاركة)

Kalau ini, dua-duanya sama-sama nyetor modal dan bisa sama-sama aktif mengelola.

➡ Modal: dari dua pihak atau lebih
➡ Kerja: bisa salah satu, atau semua pihak
➡ Keuntungan: dibagi berdasarkan persentase dari laba
➡ Kerugian: ditanggung sesuai proporsi modal

Misalnya:

Kamu dan teman kamu masing-masing nyetor Rp5 juta buat usaha bareng.
Kalau usaha untung Rp4 juta dan kalian sepakat bagi 50:50, berarti masing-masing dapat Rp2 juta.
Kalau rugi Rp2 juta, maka masing-masing tanggung Rp1 juta.

Yang menarik, musyarakah ini lebih fleksibel karena dua-duanya bisa sama-sama aktif ambil keputusan dan kelola usaha. Tapi tetap harus ada akad yang jelas di awal: proporsi modal, nisbah keuntungan, pembagian kerja, dan juga cara penutupan akad kalau usaha bubar.

Baca juga: Belajar Investasi Syariah dari Awal untuk Pemula

Kenapa Harus Pakai Nisbah?

Karena dalam Islam, keuntungan itu nggak bisa dijamin. Keuntungan adalah hasil dari usaha, dan karena usaha itu penuh risiko, maka nggak boleh ada satu pihak yang dijamin “selalu dapat segini”. 

Itulah kenapa akad syar’i harus pakai nisbah (persentase dari laba) bukan angka tetap dari modal.

Dengan kata lain, selama kamu:

– Punya akad tertulis yang jelas
– Bagi hasilnya pakai nisbah dari laba
– Siap menanggung risiko sesuai aturan syariah
– Nggak ngasih jaminan untung

…maka insyaAllah sistem bagi hasil kamu udah on track sesuai syariat. Dan itu bukan cuma soal legalitas halal-haram, tapi juga soal keberkahan. Karena Allah ﷻ nggak akan berkahi transaksi yang penuh riba, meskipun secara hukum dunia keliatannya “menguntungkan”.

Terus sekarang gimana caranya membedakan mana investasi yang syar’i dan mana yang cuma syariah “klaim doang”?

Baca juga: Cara Mengelola Keuangan Pribadi Sahabat Nabi Muhammad ﷺ

Sistem “Bagi Hasil” yang Ternyata Riba

Nah, ini bagian yang agak tricky. Banyak orang ngira kalau suatu sistem pakai istilah “bagi hasil”, maka otomatis bebas dari riba. Padahal, nggak semua yang pakai istilah syar’i itu beneran syar’i. Kadang cuma kemasan aja yang syariah, isinya? Masih ribawi.

Contohnya gini. Ada orang nawarin kamu investasi:

“Masukin modal Rp1 juta, nanti kamu dapat Rp600 ribu per tahun, fix, nggak peduli untung rugi.”

Sekilas terdengar kayak mudharabah atau syirkah, kan? Tapi kalau diperhatikan baik-baik, ini bukan bagi hasil. Ini bagi angka tetap.

Kenapa ini bermasalah? Karena dalam Islam, mudharabah itu artinya keuntungan dibagi berdasarkan nisbah (persentase dari laba), bukan angka pasti. Jadi misalnya, kamu setuju 20% untuk pemilik modal dan 80% buat pengelola. Nah, 20% dari berapa? Ya dari keuntungan usaha, bukan dari modal awal.

Kalau kamu dapet Rp600 ribu fix tiap tahun, itu artinya kamu seperti ngasih pinjaman yang ada imbal balik tetapnya. Dan itu definisi riba.

Dalam kitab Nizhamul Iqtishadi fil Islam, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan:

“Tidak boleh dalam akad mudharabah ditentukan nominal keuntungan, karena itu menjadikannya seperti utang berbunga.”

Senada dengan itu, KH. M. Shiddiq Al Jawi juga menegaskan:

“Kalau pembagian hasil ditetapkan dalam nominal tetap, bukan berdasarkan persentase dari laba, maka akadnya menjadi fasid (rusak). Ini bukan lagi mudharabah, tapi akal-akalan riba.”

Nggak cuma itu, standar internasional yang dikeluarkan oleh AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions) juga menyebutkan bahwa:

“Keuntungan dalam mudharabah harus dibagi berdasarkan nisbah tertentu dari laba bersih. Tidak boleh ditetapkan sebagai nominal tertentu dari modal.”

Jadi, udah paham ya kalau keuntungan udah ditentukan tetap di awal tanpa ngikutin untung rugi usaha, maka itu udah keluar dari koridor syariah. Alias: riba terselubung.

Baca juga: Bunga Bank Samakah dengan Riba? 

Tips Biar Gak Salah: Jangan Asal Investasi, Walau Katanya “Syariah”

Zaman sekarang, kata “syariah” udah kayak label marketing. Asal ada kata itu, orang langsung percaya. Padahal, nggak semua yang bawa embel-embel syariah itu beneran sesuai syariat.

Makanya, penting banget buat kita waspada dan jeli sebelum ikut-ikutan investasi atau kerjasama bisnis model bagi hasil.

Berikut beberapa tips biar gak salah langkah:

1. Pahami Akadnya, Jangan Asal Setuju

Sebelum masuk ke sebuah usaha atau investasi, tanya dulu:

  • Ini akadnya mudharabah atau musyarakah?
  • Pemodalnya siapa? yang kerjanya siapa?
  • Bagi hasilnya gimana? Pakai nisbah atau angka fix?

Kalau ternyata untungnya dijamin fix, misal “investasi Rp10 juta, dijamin dapat Rp500 ribu per bulan”, nah… hati-hati, itu udah masuk ranah riba, bukan bagi hasil.

Imam Malik pernah berkata:

“Setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat maka itu adalah riba.” (al-Muwaththa’, Malik bin Anas)

2. Jangan Mau Dijamin Untung

Salah satu ciri sistem syariah adalah tidak ada jaminan keuntungan. Kalau ada pihak yang ngasih jaminan pasti untung padahal usaha belum jalan itu udah nggak sesuai.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tidak boleh ada keuntungan tanpa tanggungan risiko.”
(HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Artinya, keuntungan itu hanya halal kalau ada risiko. Kalau semua aman-aman aja dan kamu tinggal duduk manis nunggu cuan, patut dicurigai itu bukan bagi hasil, tapi kamuflase riba.

3. Lihat Jenis Usahanya

Investasi halal bukan cuma soal akad, tapi juga objek usahanya. Misalnya:

  • Usaha halal: perdagangan barang kebutuhan, kuliner, jasa pendidikan
  • Usaha haram: minuman keras, judi, riba (misalnya koperasi simpan pinjam bunga tinggi), atau apapun yang ada unsur maksiat

Kalau model usaha “bagi hasil” tapi dipakai buat jualan minuman keras, tetep aja haram walaupun akadnya bener.

4. Harus Ada Transparansi Keuangan

Bagi hasil cuma bisa adil kalau keuangannya terbuka. Kalau kamu invest tapi gak pernah dikasih tahu laporan keuntungan dan cuma dikasih transferan “segitu aja”, itu mencurigakan. Bisa jadi itu bukan laba, tapi bunga berkedok.

Transparansi itu bagian dari amanah. Dan amanah adalah bagian dari akhlak Islam.

Baca juga: Pentingnya Risk Management dalam Investasi

Khatimah: Investasi Itu Bukan Cuma Cuan, Tapi Ibadah

Akhirnya, balik lagi ke mindset kita soal harta dan usaha: buat apa sih kita cari untung?

Kalau cuma buat kaya, semua orang juga bisa kejar itu. Tapi kalau kita niatnya pengen usaha yang halal, berkah, dan diridhai Allah ﷻ, maka harus mau taat sama syariat, walaupun kadang hasilnya gak instan.

Karena dalam Islam, keberkahan itu lebih utama dari sekadar keuntungan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik.”
(HR. Muslim)

Artinya, harta yang kita hasilkan harus dari jalan yang baik juga. Jangan sampai kita nyangka udah “hijrah finansial”, padahal ternyata cuma ganti label aja—dari “bunga” ke “bagi hasil”, tapi isinya sama aja: riba yang dibungkus syariah.

Semoga kita semua termasuk orang-orang yang Allah ﷻ beri taufik untuk menjaga harta, menjaga usaha, dan menjaga hati agar selalu lurus di atas jalan-Nya.

“Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.”
(QS. At-Talaq: 2–3)

Aamiin ya Rabbal ‘alamin.

Bagi Hasil atau Riba? Kenali Bedanya dari Awal
Bagi Hasil atau Riba? Kenali Bedanya dari Awal

Yuk Mulai Investasi Halal di Nabitu.

Referensi:

Al-Qur’an Al-Karim https://tafsirweb.com
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. Shahih al-Bukhari. Diakses dari https://www.hadits.id/hadits/bukhari
Muslim, Abu al-Husain. Shahih Muslim. Diakses dari https://www.hadits.id/hadits/muslim.
Malik bin Anas. Al-Muwaththa’
Ahmad bin Hanbal. Musnad Ahmad. Beirut: Al-Resalah, 1999.
Siddiq Al jawi. Artikel Fissilmi Kaffah. “Mengenal Bagi Hasil yang Ternyata Riba.” Diakses dari: https://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/370
An-Nabhani, Taqiyuddin. Nizhamul Islam. Beirut: Darul Ummah.
An-Nabhani, Taqiyuddin. Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah. Bairut: Darul Ummah

Redha Sindarotama

Quranic Reciter living in Yogyakarta. Actively teaching and spreading the beauty of Islam

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button