Nabi Muhammad ﷺ memiliki pengalaman yang pahit sejak kecil.
Beliau terlahir sebagai anak yatim. Ayahnya, Abdullah bin Abdul Muthalib meninggal ketika Muhammad masih dalam kandungan ibunya. Muhammad kecil sempat diasuh oleh ibunya dan lalu oleh Halimah As Sa’diyah.
Lalu pada saat Muhammad kecil berumur 6 tahun, beliau menjadi yatim piatu karena ibunya, Siti Aminah meninggal.
Lalu, beliau diasuh oleh Ummu Aiman di bawah tanggungan kakeknya Abdul Muthalib. Saat Muhammad berumur 8 tahun, kakeknya meninggal. Setelah itu, Muhammad diasuh oleh Abu Thalib, pamannya.
Sayangnya, Abu Thalib merupakan salah satu anak Abdul Muthalib yang paling sederhana hidupnya, sehingga tidak jarang Muhammad kecil harus membantu ekonomi keluarga sang paman dengan bekerja serabutan pada penduduk Mekkah. Apapun dikerjakan.
Muhammad ﷺ pernah bersabda, “Semua nabi pernah menggembala ternak”. Para sahabat bertanya, “Bagaimana dengan anda, ya Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Allah tidak mengutus seorang nabi melainkan dia itu pernah menggembala ternak.” Sahabat kemudian bertanya lagi, “Anda sendiri bagaimana Rasulullah?”
beliau menjawab,”Aku dulu menggembalakan kambing penduduk Mekkah dengan upah beberapa qirath.” [1]
Pengalaman masa kecil seperti inilah yang menjadi modal psikologis Muhammad untuk menjadi wirausahawan dan pemimpin hebat di kemudian hari.
Kewirausahaan (enterpreneurship) tidak terjadi begitu saja tetapi hasil dari suatu proses yang panjang dan dimulai sejak beliau masih kecil.
Hal ini sesuai dengan hal penelitian yang dilakukan oleh Collin dan Moores (1964), dan Zaleznik (1976) yang mengatakan bahwa “The act of entrepreneurship is an act patterned after modes of coping with early childhood experience.”
Pendapat seperti ini diamini oleh kebanyakan guru leadership yang sepakat bahwa apa yang terjadi pada tahun-tahun pertama kehidupan akan membuat perbedaan yang berarti dalam periode kehidupan berikutnya. [3]
Sebuah penelitian terhadap beberapa pemimpin yang dilakukan oleh Manfred Kets de Vries (1995), berkesimpulan bahwa kerasnya kehidupan masa kecil menimbulkan dorongan untuk memimpin.
Karena kesulitan yang mereka temui di masa kecil, banyak di antara mereka yang kemudian memiliki suatu misi, mereka ingin membuktikan bahwa dunia salah; mereka ingin menunjukkan kepada setiap orang bahwa mereka dapat menghasilkan sesuatu.
Banyak di antara mereka yang mengalami apa yang disebut sebagai Count of Monte Cristo Complex. Lebih dari itu, mereka memiliki keinginan yang kuat untuk membalikkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan terhadap mereka pada masa-masa awal kehidupan [2][3].
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “YA RABB KAMI, TIDAKLAH ENGKAU MENCIPTAKAN SEMUA INI SIA-SIA; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.””
(QS 3:191)
Sepahit apapun masa lalu pribadi kita, mari mohon kepada Allah agar masa lalu tersebut tidak sia-sia. Pasti ada maksud Allah untuk menempa kita untuk menjadi pribadi yang kuat. Mari kita jadikan modal untuk bangkit dan maju.
Begitu pun kondisi umat Islam bangsa Indonesia yang terpuruk, tertinggal, terzalimi, miskin saat ini. Mari mohon kepada Allah agar ini semua tidak sia-sia. Mari kita jadikan modal untuk menjadi kaum yang bangkit.
Baca Juga: Modal Pertama Nabi Muhammad
Baca Juga: Strategi Anti Mainstream Abdurrahman Bin Auf