Sistem Pajak Dalam Negara Islam
Kita tentunya sudah tidak asing lagi mendengar kata pajak, bahkan sudah menjadi hal yang sangat diketahui umum di kalangan masyarakat Indonesia sebab semua warga negara terkena pajak. Selain itu pajak juga memang sudah menjadi biasa di masyarakat dunia saat ini karena cara ini memang dipakai oleh negara-negara yang menggunakan sistem kapitalisme guna membiayai negara. Lalu yang menjadi pertanyaan, dalam islam ada nggak sih yang namanya pajak? kalo ada bagaimana ya sistemnya?
Sistem Pajak Dalam Islam
Rasulullah SAW bersabda:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salamah dari Ibnu Ishaq dari Yazid bin Abi Habib dari Abdurrahman bin Syimasah At Tujibi dari Uqbah bin Amir dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak akan masuk surga, yaitu pemungut pajak secara tidak benar.” [1]
Dari hadits di atas maka disimpulkan bahwa pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan syariat itu hukumnya haram. Dilain sisi sebenarnya sumber-sumber pendapatan yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk baitul mal itu sudah cukup untuk mengatur urusan rakyat dan melayani kepentingan mereka. Sehingga dalam hal ini sebenarnya tidak perlu lagi mewajibkan pajak. Akan tetapi, meskipun demikian, syara’ benar-benar telah memperhatikan kebutuhan negara yang wajib dipenuhi oleh seluruh kaum muslimin. Karena itu ketika terpaksa harus menarik pajak maka tata cara pemungutan pajaknya pun harus sesuai syariat.
Definisi Pajak Dalam Islam
Istilah pajak, dalam fikih Islam, dikenal dengan dharîbah. Al-‘Allamah Syaikh Rawwas Qal’ah Jie menyebutnya dengan, “Apa yang ditetapkan sebagai kewajiban atas harta maupun orang di luar kewajiban syara’.” [2]. Sedangkan al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, mendefinisikannya dengan, “harta yang diwajibkan Allah kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Mal kaum Muslim untuk membiayainya.” [3]
Sebelum mengadakan penarikan pajak kita mesti mengetahui bahwa dalam islam negara memiliki dua sumber pendapatan yaitu pendapatan tetap dan tidak tetap. Sumber pemasukan tetap negara adalah fai’, ghanimah, anfal, kharaj, jizyah, dan pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya, pemasukan dari hak milik negara, usyur, khumus, rikaz, tambang, serta harta zakat. Hanya saja, harta zakat diletakkan pada kas khusus baitul mal, serta tidak diberikan selain untuk delapan ashnaf yang telah disebutkan di dalam Al Qur’an, dan tidak sedikit pun dari harta zakat tersebut boleh diberikan kepada selainnya, baik untuk urusan negara, maupun urusan umat. [4] Inilah pendapatan tetap negara, baik ada atau tidak ada kebutuhan.
Berbeda dengan pendapatan tidak tetap. Pendapatan ini bersifat instrumental dan insidental. Bersifat instrumental, karena Islam menetapkan kepada kaum Muslim fardhu kifayah untuk memikul kewajiban pembiayaan, ketika dana tidak ada di Baitul Mal. Karena itu, ini menjadi instrumen untuk memecahkan masalah yang dihadapi negara, yang dibebankan hanya kepada umat Islam. Disebut insidental, karena tidak diambil secara tetap, bergantung kebutuhan yang dibenarkan oleh syara’ untuk mengambilnya.
Syara’ telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos, yang ada atau tidak adanya harta di Baitul Mal tetap harus berjalan. Jika di Baitul Mal ada harta, maka dibiayai oleh Baitul Mal. Jika tidak ada, maka kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum Muslim. Sebab, jika tidak, maka akan menyebabkan terjadinya dharar bagi seluruh kaum Muslim. Dalam rangka menghilangkan dharar di saat Baitul Mal tidak ada dana inilah, maka sistem islam membolehkan instrumen pajak. Namun, hanya bersifat insidental, sampai kewajiban dan pos tersebut bisa dibiayai, atau Baitul Mal mempunyai dana untuk mengcovernya.
Siapa yang Wajib Pajak Dalam Islam?
Meski beban dalam rangka menghilangkan dharar di saat Baitul Mal tidak ada dana ini menjadi kewajiban kaum Muslim, tetapi tidak semua kaum Muslim menjadi wajib pajak, apalagi non-Muslim. Pajak hanya diambil dari kaum Muslim yang mampu saja. Dari kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang proporsional (ma’ruf), sesuai dengan standar hidup mereka di wilayah tersebut. Karena itu, jika ada kaum Muslim yang mempunyai kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya, maka dia menjadi wajib pajak. Tetapi, jika tidak mempunyai kelebihan, maka dia tidak menjadi wajib pajak, dan pajak tidak akan diambil darinya.
Karena itu, pajak di dalam Islam bukan untuk menekan pertumbuhan, bukan menghalangi orang kaya, atau menambah pendapatan negara, kecuali diambil semata untuk membiayai kebutuhan yang telah ditetapkan oleh syara’.
Referensi:
[1] hadits-ahmad-nomor-16656[2] Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, hal. 256
[3] al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hal. 129[4] An Nizham Al Iqtishadiy Fil Islam, hal. 530