Tenang Dengan Keyakinan Total Allah Ar-Razzaq
Pernah mendengar ungkapan bahwa segala urusan yang kita kerjakan akan dinilai sesuai dengan niatnya? Dalam konteks berhijrah, hal ini benar adanya. Dalam sebuah hadist riwayat Bukhari, disebutkan bahwa:
عَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu’anhu, Beliau mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “setiap amalan tergantung niatnya, dan balasan bagi tiap-tiap orang tergantung apa yang diniatkan; barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul Nya. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa yang dia niatkan.” (Hadist Riwayat Bukhari No.54 dalam Fathul Bari, Shahih).
Apabila dipelajari lebih rinci makna hadist tersebut, secara umum menjelaskan bahwa sebagai seorang hamba sudah seharusnya kita melakukan pekerjaan dan amal ibadah dengan niat benar yaitu untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Berhijrah bukan saja berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Lebih luas lagi, hijrah mencakup pergerakan seseorang untuk meninggalkan larangan Tuhannya hingga kemudian secara kontinyu melakukan perintah-Nya.
Betapa kita dianjurkan untuk mensyukuri nikmat. Kenikmatan berupa kesehatan, waktu luang hingga harta dan materi. Allah ta’ala mengaruniakan harta kepada manusia agar karunia tersebut digunakan untuk meningkatkatkan ketakwaan, bukan untuk bermegah-megahan dengannya. Mencintai harta memang hal yang manusiawi. Kekayaan tersebut tak lain sebagai alat dalam pemenuhan kebutuhan. Allah ta’ala memberi nikmat kepada siapapun yang dikehendaki-Nya, baik orang kafir, muslim, bahkan kepada makhluk lain ciptaan-Nya.
Lalu kepada manusia, bagaimana sikap diri selama ini terhadap pemberian Allah?
Seperti yang sering diceritakan, sehingga kita tahu bahwa diantara para Nabi dan Rasul serta para sahabat ada diantara mereka yang hidup dalam kekayaan harta ada pula yang hidup nya miskin. Nabi Sulaiman ‘alaihissalam contohnya. Beliau seorang yang sangat kaya. Zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada Abu Bakr Ash Shiddiq, Abdurrahman bin Auf, dan Utsman bin Affan. Mereka tiga diantara sahabat Rasulullah yang terkaya. Jika kita bandingkan pada zaman ini, bisa jadi kekayaan mereka setara atau bahkan melebihi orang terkaya di dunia, seperti Steve Jobs, Mark Zuckerberg atau Hartono bersaudara di Indonesia. Namun dengan apa yang para nabi dan sahabat dapat itu, mereka secara terang menggunakan harta untuk berjuang di jalan Allah.
Kekayaan dan kemiskinan, sejatinya kedua hal ini adalah ujian. Menjadi seorang yang miskin berarti diuji dalam sebuah keburukan, sedangkan kaya akan materi, itulah ujian dalam kebaikan. Akan tetapi jangan sampai salah memaknai, setiap hal yang Allah ta’ala anugerahkan kepada makhluk-Nya adalah baik. Dan selalu ada hikmah di dalamnya.
Seringkali yang tampak di lingkungan kita adalah, orang kaya memang terlihat lebih mudah untuk melakukan kebaikan melalui hartanya. Mereka dapat lebih cepat untuk menolong saudaranya yang kesulitan. Akan tetapi, ada pula yang dengan hartanya, lebih mudah melakukan maksiat. Berfoya-foya, ingin menjadi yang nomor satu soal kemewahan, bahkan bermaksiat dengan mabuk-mabukan dan berjudi.
Jika perempuan, biasanya tidak mau ketinggalan kesempatan untuk membeli pakaian baru, aksesoris, sepatu, make up dan lainnya hanya untuk pamer dan berbangga dengan hartanya. Para laki-laki, juga tidak mau kalah. Bahkan ada yang rela memesan jauh hari demi mendapatkan koleksi jam tangan terbaru. Inilah sifat manusiawi dalam diri kita. Boleh saja hal ini terjadi, namun kita perlu berhati-hati dan memilah apakah hal tersebut akan membawa kita kepada ketakwaan atau justru sebaliknya. Kedudukan hamba yang bertakwa adalah predikat tertinggi di sisi Allah.
Bagaimana dengan mereka yang mungkin terlihat hidup dalam kekurangan? Sebagai muslim, akan lebih baik jika paham bahwa Allah adalah Al ‘adl, Allah Ar Razzaq. Ya, Allah maha adil dalam membagi nikmat-Nya. Allah lah sang Maha pemberi Rizki, sehingga kita tak seharusnya khawatir akan hal tersebut.
Maka sesuai janji Allah pada surat Ibrahim ayat 7 yang bunyinya:
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
“Jika kalian mau bersyukur, maka Aku sungguh akan menambah nikmat bagi kalian” QS. Ibrahim (7).
Dari sini, kita diajak untuk lebih fokus pada mensyukuri apapun yang ada di sekitar kita. Karena segala sesuatu yang kita nikmati akan dimintai pertanggungjawabannya kelak. Segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah.
Memperbanyak berlapang dada dan mengurangi rasa minder terhadap apa yang orang lain miliki.
Kita diberi anugerah sesuai porsi kita masing-masing, sesuai ketetapan terbaik dari Allah.
Selamat memanfaatkan karunia Allah, wahai Saudaraku. Barakallaah fiikum.
Referensi:
Syarah Al Arba’in An nawawiyyah, Imam ‘Ali bin Daud Ibnu ‘Aththor Asy Syafi’i, terbitan Dar al Basya-ir, cetakan kedua, tahun 1433 H.