AqidahUncategorized

Sumber Hukum Hadist dalam Islam

1. Pengertian Sunah

Kata “sunah” berasal dari akar kata bahasa Arab, yaitu huruf sin (س) dan nun (ن), yang bermakna mengalir atau berlangsung dengan mudah. Secara etimologi, sunah berarti al-tariqah (jalan) atau as-sirah (sikap), yaitu jalan hidup yang lurus atau sikap yang baik. Hal ini digambarkan oleh Khalid bin Utbah al-Hadzali dalam sebuah syairnya:

فلا تجزعن من سنّة أنت سرتها … فأوّل راض سنّة من يسيرها

”Janganlah engkau berhenti dari suatu perjalanan (sirah) yang telah engkau lakukan. Orang yang pertama kali merasa senang adap suatu perjalanan (sunah) adalah orang yang melakukannya”.

Dalam hadis, Nabi Muhammad ﷺ. bersabda:

مَنْ سَنَّ سُنةً حَسَنَةً فَلهُ أجْرُهَا وَأجْرُ مَنْ عَمِل بها ومَن سَن سُنة سيئةً فلهُ وزرَها ووزرُ مَن عَمل بها

“Barangsiapa memulai suatu sunah (perbuatan, kebiasaan) yang baik, maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatannya itu, serta pahala dari orang-orang yang mengikutinya. Sebaliknya, barangsiapa memulai sunah yang buruk, maka ia akan menanggung dosa perbuatannya serta dosa orang-orang yang mengikutinya.” (H.R. Muslim)

Dalam hadis lain, dengan redaksi serupa, Nabi ﷺ. bersabda:

من سن فى الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء ومن سن فى الإسلام سنة سيئة فله وزرها ووزر من عمل بها

”Barangsiapa melakukan sunah yang baik dalam Islam, maka ia akan memperoleh pahala (perbuatannya)nya dan pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa menguranginya sedikit pun, dan barangsiapa melakukan sunah yang buruk dalam Islam, maka ia juga akan memperoleh dosa (perbuatannya) dan dosa orang-orang yang mengikutinya”. (H.R. Muslim).

Secara etimologis, sunah merujuk pada tindakan yang dimulai oleh seseorang, yang kemudian diikuti oleh orang lain setelahnya.

Pengertian Sunah Menurut Para Ahli

  • Ahli usul seperti al-Amidi mendefinisikan sunah sebagai segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah ﷺ. berupa dalil syariat yang bukan bagian dari Al-Qur’an atau mu’jizat.
  • Ulama fikih memandang sunah sebagai segala sesuatu yang berasal dari Nabi ﷺ., tetapi hukumnya tidak wajib atau fardu, melainkan dianjurkan.

Adapun menurut ulama hadis, sunah sering disamakan dengan hadis, yang mencakup:

أقوال النبي صلى اللّه عليه وسلم وأفعاله وتقريراته وصفاته الخلقية والخلقية سواء كانت قبل البعثة أم بعدها

”Ucapan, perbuatan, ketetapan, sifat (watak budi atau jasmani), atau tingkah laku Nabi ﷺ., baik sebelum menjadi Nabi maupun sesudahnya”.

2. Macam-macam Sunah

  • Sunah Qauliyah

Sunnah Qauliyah adalah salah satu dari tiga jenis sunnah dalam Islam yang merujuk pada ucapan atau sabda Nabi Muhammad ﷺ. Ucapan-ucapan ini menjadi pedoman hidup bagi umat Islam setelah Al-Qur’an. Sunnah Qauliyah ini mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari ibadah, muamalah, hingga akhlak. Lebih Lanjut sunah merupakan ucapan Nabi: Sunnah Qauliyah secara langsung berasal dari lisan Nabi Muhammad ﷺ. Ucapan ini bisa berupa perintah, larangan, anjuran, atau penjelasan mengenai suatu hal. Ucapan-ucapan Nabi ini menjadi rujukan bagi umat Islam dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Dengan mengikuti sunnah, umat Islam berharap mendapatkan ridha Allah ﷻ dan meraih keberkahan. Sunnah Qauliyah merupakan salah satu sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an. Ulama-ulama Islam mengkaji dan menghimpun hadis-hadis Nabi untuk kemudian dijadikan dasar dalam menetapkan hukum-hukum Islam.

Pada bagian sunah ini cakupan informasinya lebih cenderung pada persoalan yang berkaitan dengan pembinaan hukum agama atau bisa juga berupa penjelasan tentang makna-makna yang terkandung dalam ayat al-Qur’an.

Dilihat dari tingkatan, sunah qauliyah menempati urutan pertama yang berarti kualitasnya lebih tinggi daripada kualitas sunah fi’liyah maupun Taqririyah. Contoh sunah qauliyah adalah hadis tentang doa Nabi Muhammad ﷺ., kepada orang yang mendengar, menghafal, dan menyampaikan ilmu.

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ حَدَّثَنِي عُمَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ مِنْ وَلَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبَانَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ

Telah menceritakan kepada kami [Musaddad] telah menceritakan kepada kami [Yahya] dari [Syu’bah] telah menceritakan kepadaku [Umar bin Sulaiman] dari putera Umar bin Al Khathab, dari [Abdurrahman bin Aban] dari [Ayahnya] dari [Zaid bin Tsabit] ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Semoga Allah memperindah orang yang mendengar hadits dariku lalu menghafal dan menyampaikannya kepada orang lain, berapa banyak orang menyampaikan ilmu kepada orang yang lebih berilmu, dan berapa banyak pembawa ilmu yang tidak berilmu.” [Abu Daud3175]

Termasuk sunah qaualiyah juga adalah hadis yang beliau sabdakan dalam berbagai kesempatan dengan berbagai maksud. Dari hadis-hadis itu lahirlah hukum syarak. Misalnya, hadis-hadis beliau berikut ini.

لا ضرر ولا ضرا ر

”Tidak boleh menimpakan bahaya terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain”. (H.R. Ibnu Majah). Hadis Nabi ﷺ. yang lain.

هو الطَّهور ماؤه، الحِلُّ ميتته

”Laut itu airnya menyucikan dan halal bangkainya”. (H.R. Bukhari dan Muslim).

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari-Muslim)

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. At-Tirmidzi)

  • Sunah Fi’liyyah

Sunnah Fi’liyyah adalah salah satu dari tiga jenis sunnah dalam Islam yang merujuk pada perbuatan atau tindakan Nabi Muhammad . Perbuatan beliau ini menjadi contoh atau teladan bagi seluruh umat Islam untuk diikuti. Dengan kata lain, sunnah fi’liyyah adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ, baik dalam ibadah, muamalah, maupun kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut, Sunnah fi’liyyah secara langsung berasal dari tindakan fisik Nabi Muhammad ﷺ. Perbuatan ini bisa berupa cara beribadah, cara berpakaian, cara makan, cara bersosialisasi, dan sebagainya. Perbuatan Nabi Muhammad ﷺ dianggap sebagai teladan yang sempurna karena beliau adalah manusia yang paling mulia dan paling sempurna akhlaknya. Sunnah fi’liyyah juga merupakan salah satu sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an. Ulama-ulama Islam mengkaji dan menghimpun hadis-hadis yang berkaitan dengan perbuatan Nabi untuk kemudian dijadikan dasar dalam menetapkan hukum-hukum Islam.

Berikut beberapa contoh sunnah fi’liyyah:

  1. Cara Shalat:

صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam shalat dua rakaat sebelum shalat zuhur, dua raka’at sesudahnya. [HR. Bukhari]

  • cara salat di atas kendaraan, yaitu:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ

Dari [Jabir bin ‘Abdullah] berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat diatas tunggangannya menghadap kemana arah tunggangannya menghadap. Jika Beliau hendak melaksanakan shalat yang fardlu, maka beliau turun lalu shalat menghadap kiblat.” [HR. Bukhari]

  • Cara Berpuasa:

 صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرَ رَمَضَانَ

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berpuasa di bulan Ramadhan.”

  • Cara Berpakaian:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلْبَسُ الْأَبْيَضَ وَيُحِبُّ الْأَبْيَضَ

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa memakai pakaian putih dan menyukai warna putih.

  • Sunah Taqririyah

Sunnah taqririyah adalah salah satu jenis sunnah dalam Islam yang merujuk pada suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat Nabi Muhammad ﷺ, di mana Nabi mengetahui perbuatan tersebut namun beliau diam saja, tidak melarang maupun menyuruh. Sikap diam dari Nabi ini dianggap sebagai bentuk persetujuan (taqriran) terhadap perbuatan tersebut. Contoh sunah Taqririyah:

  1. Hadis tentang daging dab (sejenis biawak)

Pada suatu hari Nabi Muhammad ﷺ. disuguhi makanan di antaranya daging dab. Beliau tidak memakannya, sehingga Khalid bin Walid bertanya, “Apakah daging itu haram ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tidak, akan tetapi daging itu tidak terdapat di negeri kaumku, karena itu aku tidak memakannya.” Khalid bin Walid berkata, lalu aku pun menarik dan memakannya sementara Rasulullah ﷺ., melihat ke arahku. (HR. Bukhari dan Muslim).

  • Hadis tentang Tayamum

Dari Abu Sa’id Al-Khudri ra. ia berkata: “Pernah ada dua orang bepergian dalam sebuah perjalanan jauh dan waktu salat telah tiba, sedang mereka tidak membawa air, lalu mereka berdua bertayamum dengan debu yang bersih dan melakukan salat. Kemudian keduanya mendapati air (dan waktu salat masih ada), lalu salah seorang dari keduanya mengulangi salatnya dengan air wudu dan yang satunya tidak mengulangi. Mereka menemui Rasulullah ﷺ. dan menceritakan hal itu. Maka beliau berkata kepada orang yang tidak mengulangi salatnya: ‘Kamu sesuai dengan sunah dan salatmu sudah cukup’. Beliau juga berkata kepada yang berwudu dan mengulangi salatnya: ‘Bagimu pahala dua kali’ (HR. al-Darimi).

3. Sunah Tasyri ‘iyyah dan Sunah Ghair Tasyri ‘iyyah

Pembagian sunah yang banyak diketahui oleh banyak umat Islam terutama yang belajar ilmu hadis ialah sunah dibagi menjadi sunah qauliyyah, sunah fi‘liyyah, dan sunah taqririyyah. Sementara pembagian sunah ke dalam sunah tasyri ‘iyyah dan ghair tasyriiyyah belum banyak diketahui oleh mayoritas umat Islam, padahal masalah ini tidak kalah penting dari jenis-jenis sunah yang lain. Ulama membagi ucapan dan perbuatan Nabi menjadi dua;

  1. Sunah Tasyri’iyyah adalah suatu istilah dalam Islam yang merujuk pada segala perkataan, perbuatan, atau ketetapan Nabi Muhammad ﷺ yang bersifat hukum dan mengikat bagi seluruh umat Islam sepanjang masa. Sederhananya, ini adalah hukum-hukum Islam yang bersumber langsung dari Nabi Muhammad ﷺ.
    1. Sunnah Ghairu Tasyri’iyyah adalah segala perkataan, perbuatan, atau ketetapan Nabi Muhammad ﷺ yang tidak bersifat hukum dan tidak mengikat secara langsung bagi seluruh umat Islam. Sederhananya, ini adalah contoh-contoh tindakan Nabi yang lebih bersifat pribadi, kebiasaan, atau tindakan yang menunjukkan kemanusiaan beliau.

Secara umum, Imam Al-Haramain membagi tindakan Nabi menjadi dua kategori utama:

  1. Tindakan yang mengandung nilai ibadah:

Sunnah tasyri’iyyah, masuk dalam kategori tindakan yang mengandung nilai ibadah, baik yang bersifat umum maupun khusus (yang dapat dijadikan pedoman oleh seluruh umat) dengan tindakan ibadah yang khusus dilakukan oleh Nabi (yang tidak dapat dijadikan pedoman secara mutlak).

  1. Tindakan ibadah yang bersifat umum: Perbuatan ibadah yang dapat dilakukan oleh seluruh umat Islam, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
    1. Tindakan ibadah yang khusus dilakukan oleh Nabi: Perbuatan ibadah yang hanya dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ dan tidak ditujukan untuk umatnya secara umum, misalnya puasa wisal atau menikahi lebih dari empat wanita.
  2. Sunnah Ghairu Tasyri’iyyah, masuk dalam tindakan yang tidak mengandung nilai ibadah: Tindakan ini lebih bersifat pribadi atau kebiasaan Nabi yang tidak memiliki konsekuensi hukum bagi umat Islam.

Pembagian tindakan Nabi ﷺ. menurut Imam al-Haramain tersebut menunjukkan bahwa tidak semua tindakan Nabi menjadi sumber hukum dan mengikat. Tindakan Nabi yang dimaksud adalah tindakan Nabi yang merupakan refleksi dari kemanusiaan Nabi. Tindakan inilah yang kemudian oleh al-Qardhawi dimasukkan sebagai sunah gairu tasyri’iyah menurut istilah ulama kontemporer, meskipun para ulama sebelumnya tidak menamakannya dengan istilah tersebut.

Tokoh yang termasuk memberikan perhatian terhadap penjelasan sunah tasyri’iyyah dan ghairu tasyri’iyyah dan memberikan istilah tersebut adalah Syaikh Mahmud Syaltut. Ia mengutip dari tulisan al-Dahlawi, Rasyid Ridha, dan al-Qarafi serta dari selain mereka.

Adapun yang termasuk sunah tasyriiyyah di antaranya adalah sesuatu yang merupakan bagian dari syariat, baik yang umum (‘amm) maupun yang khusus (khass). Syariat yang umum itu seperti hal-hal yang disampaikan Nabi ﷺ. dalam kapasitasnya sebagai nabi, seperti menjelaskan yang mujmal dari al-Qur’an, men-takhshis yang ‘aam, memberikan batasan (taqyid) terhadap yang muthlaq atau menjelaskan urusan ibadah, halal, haram, akidah, akhlak dan yang berkaitan dengannya. Ini adalah syariat umum yang harus dijalankan sampai hari kiamat. Jika syariat itu berupa hal yang dilarang, maka harus dijauhi oleh manusia, dan pelarangan tersebut hanya bergantung (tawaqquf) kepada ilmu dan kemampuan menjangkaunya. Sedangkan syariat yang khusus adalah syariat yang muncul dari Nabi dalam kapasitas menjadi pemimpin politik dan pemegang kekuasaan peradilan, maka hukumnya adalah syariat khusus yang tidak dapat dilakukan setiap orang melainkan orang itu memiliki kapasitas pemimpin politik maupun pemegang kekuasaan peradilan.

Sedangkan yang termasuk sunah gairu tasyriiyah diantaranya adalah:

  1. Sesuatu yang merupakan cara memenuhi kebutuhan manusiawi seperti makan, minum, tidur, berjalan, saling mengunjungi, mendamaikan di antara dua pihak dengan cara-cara yang umum, memberikan pertolongan, dan tawar-menawar dalam jual beli.
  2. Sesuatu yang merupakan hasil pengalaman dan kebiasaan pribadi atau sosial, seperti yang ada dalam urusan-urusan pertanian, medis dan ukuran memanjangkan, dan memendekkan pakaian.
  3. Sesuatu yang merupakan aturan di dalam urusan manusia dengan memperkirakan situasi dan kondisi tertentu, seperti pembagian tentara-tentara sesuai medan peperangan, cara mengatur pasukan, persembunyian, penyerangan, pelarian, memilih tempat singgah, dan lain-lain dari hal-hal yang disandarkan kepada petunjuk situasi dan kondisi serta pengalaman tertentu. Setiap sesuatu yang diambil dari tiga hal pertama tersebut, bukanlah syariat yang berkaitan dengan tuntutan melakukan atau meninggalkan. Itu hanyalah sebagian dari urusan-urusan manusia yang dilakukan Rasul sebagai manusia, bukan syariat dan bukan pula sumber syariat.

Terkait dengan sunah gairu tasyriiyyah ini, al-Qardhawi tidak menjelaskan secara definitif. Ia hanya memberikan uraian bahwa sunah ghairu tasyri’iyah menurut ulama terdahulu dikenal dengan istilah laisa bi sunah. Artinya, ketika ulama kontemporer menyebut sunah ghairu tasyri’iyah, hal ini sama halnya istilah laisa bi sunah yang digunakan oleh ulama sebelumnya. Sedangkan laisa bi sunah berarti sunah yang tidak ditujukan sebagai penetapan hukum dan tidak harus diikuti. Oleh karena itu, sunah ghairu tasyri’iyah juga diartikan sebagai sunah yang tidak menjadi sumber hukum dan tidak wajib diikuti.

  • Kedudukan Sunah sebagai Sumber Hukum Islam

4. Kedudukan Sunah sebagai Sumber Hukum Islam

Sunnah adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad ﷺ yang dijadikan dasar hukum dalam agama Islam. Nabi Muhammad ﷺ adalah contoh teladan yang sempurna bagi seluruh umat manusia.

Sunnah Nabi Muhammad ﷺ memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Islam setelah Al-Qur’an. Para ahli agama sepakat bahwa sunnah bisa digunakan sebagai dasar dalam menentukan hukum-hukum agama dan memiliki kekuatan yang sama dengan Al-Qur’an.

Alasan utama mengapa sunnah atau hadis ditempatkan sebagai sumber hukum setelah Al-Qur’an adalah karena terdapat perbedaan yang jelas antara keduanya dalam hal redaksi, cara penyampaian, dan metode penerimaan wahyu.

  1. Dari Segi Redaksi

Al-Qur’an itu langsung dari Allah, kata-katanya sudah sempurna sejak awal. Malaikat Jibril hanya menyampaikannya kepada Nabi Muhammad ﷺ. Setelah itu, Nabi Muhammad ﷺ memerintahkan para sahabat untuk menulis dan menghafal Al-Qur’an. Karena banyak sekali sahabat yang menghafalnya, kita yakin bahwa Al-Qur’an yang kita baca sekarang ini sama persis dengan yang diturunkan pertama kali.

  • Dari Segi Penyampaian dan Penerimaan

Tingkat kepastian terhadap keotentikan Al-Qur’an dan hadis berbeda. Al-Qur’an memiliki tingkat kepastian yang sangat tinggi, atau dalam istilah Arab disebut qath’i, karena proses penurunan, penulisan, dan penghafalannya yang terjamin. Kita dapat yakin bahwa Al-Qur’an yang kita baca saat ini adalah sama persis dengan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Sebaliknya, keotentikan hadis bersifat zhanni (dugaan), meskipun para ulama hadis telah mengembangkan ilmu khusus untuk menilai kesahihannya. Sifat zhanni ini disebabkan oleh proses penyampaiannya yang bersifat tawatur (berantai), yaitu ditransmisikan dari satu orang ke orang lain. Al-Qur’an, sebaliknya, memiliki sifat tawatur yang lebih kuat dan terjamin karena melibatkan banyak orang dalam proses penulisan dan penghafalannya. Akibatnya, hadis lebih rentan terhadap perubahan kata atau makna seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu, dalam memahami dan menerapkan hukum Islam, kita harus selalu mengutamakan Al-Qur’an dan mencocokkan hadis dengannya.

5. Fungsi Sunah sebagai Sumber Hukum Islam

Secara umum fungsi sunah sebagai bayan atau tabyin seperti firman Allah ﷻ. dalam QS. al-Nahl/16: 44:

وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Kami telah menurunkan kepadamu al-Qur’an agar kamu menjelaskannya kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan supaya kamu memikirkannya”.

Adapun beberapa fungsi sunah terhadap al-Qur’an dalam penetapan hukum antara lain adalah:

  1. Menguatkan (Mu’akkid) Hukum Suatu Peristiwa yang Telah Ditetapkan Hukumnya dalam al-Qur’an

Suatu perbuatan yang sudah ditetapkan hukumnya berdasarkan al-Qur’an kemudian dikuatkan penetapannya oleh sunah. Dengan demikian, hukum peristiwa tersebut ditetapkan oleh dua sumber yakni al-Qur’an sebagai sumber pertama dan sunah sebagai sumber kedua (penguat). Misalnya salat, zakat, puasa, dan haji telah ditetapkan hukumnya di dalam al-Qur’an. Salat dan zakat ditetapkan pada QS. al-Nisa/4: 77, puasa pada QS. al-Baqarah/2: 183, dan haji pada QS. Ali Imran/3: 97).

  • Kemudian perbuatan-perbuatan tersebut dikuatkan kewajibannya oleh Rasulullah ﷺ. dalam sabda beliau ketika berwawancara dengan Malaikat Jibril.

يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِسْلاَمِ, فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : اَلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَإِ لَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ, وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ, وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ, وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً. رَوَاهُ مُسْلِمٌ

”Malaikat Jibril bertanya: “Hai Muhammad, terangkan padaku tentang Islam!” Jawab Muhammad: Islam itu ialah persaksianmu bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah, tindakanmu mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasamu di bulan Ramadhan dan pergi hajimu ke baitullah bila kamu mampu melaksanakan perjalanan ke tempat itu”. (H.R. Muslim)

  • Memberikan Keterangan (Bayan) terhadap Ayat-ayat al-Qur’an

Penjelasan sunah terhadap al-Qur’an ada 3 macam, yakni:

  1. Memberikan perincian ayat-ayat yang masih mujmal (تفصيل المجمل ). Misalnya perintah salat di dalam QS. al-Nisa/4: 103:

فَإِذَا قَضَيْتُمُ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ قِيَـٰمًۭا وَقُعُودًۭا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ فَإِذَا ٱطْمَأْنَنتُمْ فَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ ۚ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَـٰبًۭا مَّوْقُوتًۭا

“Maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya salat itu adalah fardu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. (QS. al-Nisa/4: 103)

Ayat tersebut masih mujmal. Kemudian Rasulullah ﷺ. memberikan keterangan lebih detail terkait waktu-waktu salat, jumlah rakaatnya, syarat-syarat dan rukun-rukunnya, dengan cara mempraktikkan salat lalu setelah itu bersabda kepada para sahabat:

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

”Dirikanlah shalat seperti yang kamu lihat bagaimana aku mengerjakan salat”.(HR. Bukhari).

Demikian juga dalam kewajiban berzakat dan pergi haji, Allah berfirman secara mujmal kemudian Rasulullah ﷺ. menjelaskan macam-macam dan besarnya harta yang dizakatkan dan menjelaskan cara-cara menjalanlkan ibadah haji.

  • Membatasi Kemutlakannya (تَقْيِيْدُ قِ المطْل )

Misalnya al-Qur’an membolehkan kepada orang yang akan meninggal berwasiat atas harta peninggalannya berapa saja dengan tidak dibatasi maksimalnya, dalam firman-Nya dalam QS. al-Nisa/4: 12:

مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصٰى بِهَآ اَوْ دَيْنٍۙ غَيْرَ مُضَاۤرٍّ ۚ وَصِيَّةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَلِيْمٌۗ

“Setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun”. (QS. al-Nisa/4: 12)

Kemudian Rasulullah ﷺ. memberikan batasan maksimal wasiat yang diperkenankan dalam salah satu wawancaranya dengan Sa’ad bin Abi Waqqash yang meminta agar diperkenankan berwasiat 2/3 harta peninggalannya. Setelah permintaan wasiat sebesar itu ditolak oleh beliau, minta diperkenankan wasiat ½ harta peninggalannya dan setelah permintaan yang akhir ini ditolak pula, lalu minta diperkenankan 1/3 hartanya. Rasulullah ﷺ. mengizinkan 1/3 ini, katanya:

وَالثُّلُثُ كَبِيرٌ أَوْ كَثِيرٌ إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ

“Sepertiga itu banyak dan besar. Sebab jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kecukupan adalah lebih baik daripada jika kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak”. (HR. Bukhari dan Muslim).

  • Mengkhususkan Keumuman ( تَخْصِيْ ص الْعَام )

Misalnya Allah berfirman secara umum tentang keharaman makan bangkai (binatang yang tidak disembelih dengan nama Allah) dan darah dalam firman-Nya pada QS. al-Maidah/5: 3:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi” QS. al-Maidah/5: 3:

Kemudian Rasulullah ﷺ. mengkhususkannya dengan memberikan pengecualian kepada bangkai ikan laut, belalang, hati dan limpa dalam sabdanya:

أ حِلَّتْ لَكمْ مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحوت وَالْجَرَاد وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِد وَالطحَال

Artinya:”Dihalalkan bagi kalian dua macam bangkai dan dua macam darah. Dua macam bangkai itu ialah bangkai ikan air dan belalang. Sedangkan dua macam darah itu ialah hati dan limpa” (HR. Ibnu Majah dan al-Hakim).

  • Menciptakan Hukum Baru yang Tidak Terdapat di dalam al-Qur’an

Misalnya beliau menetapkan hukum haramnya binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku kuat seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَال نَهَى رَسُول الَّلِّهِ صَىل الَّلُّهِ عَليْهِ وَسَلمَ عَنْ كل ذِي نَابٍ مِنْ السِبَاعِ وَعَنْ كل ذِي مِخلبٍ مِنْ الطَّيْر

“Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah ﷺ. melarang memakan setiap binatang yang bertaring dari golongan binatang buas dan setiap binatang yang berkuku kuat dari golongan burung”. (HR. Muslim).

Rasulullah ﷺ. juga mengharamkan seorang laki-laki mengawini wanita yang sepersusuan, karena mengawini wanita yang sesusuan itu adalah sama dengan mengawini wanita yang satu nasab.

و حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرِيدَ عَلَى ابْنَةِ حَمْزَةَ فَقَالَ إِنَّهَا لَا تَحِلُّ لِي إِنَّهَا ابْنَةُ أَخِي مِنْ الرَّضَاعَةِ وَيَحْرُمُ مِنْ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنْ الرَّحِمِ و حَدَّثَنَاه زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى وَهُوَ الْقَطَّانُ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ مِهْرَانَ الْقُطَعِيُّ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ عُمَرَ جَمِيعًا عَنْ شُعْبَةَ ح و حَدَّثَنَاه أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ كِلَاهُمَا عَنْ قَتَادَةَ بِإِسْنَادِ هَمَّامٍ سَوَاءً غَيْرَ أَنَّ حَدِيثَ شُعْبَةَ انْتَهَى عِنْدَ قَوْلِهِ ابْنَةُ أَخِي مِنْ الرَّضَاعَةِ وَفِي حَدِيثِ سَعِيدٍ وَإِنَّهُ يَحْرُمُ مِنْ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنْ النَّسَبِ وَفِي رِوَايَةِ بِشْرِ بْنِ عُمَرَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ زَيْدٍ

Dan telah menceritakan kepada kami [Haddab bin Khalid] telah menceritakan kepada kami [Hammam] telah menceritakan kepada kami [Qatadah] dari [Jabir bin Zaid] dari [Ibnu Abbas] bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditawari dengan putrinya Hamzah, maka beliau bersabda: “Sesungguhnya dia tidak halal untukku, kerena dia adalah putri saudara sesusuanku, dan menjadi mahram (saudara) dari sesusuan sebagaimana menjadi mahram (saudara) dari keturunan.” Dan telah menceritakan kepada kami [Zuhair bin Harb] telah menceritakan kepada kami [Yahya yaitu Al Qatthan]. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Yahya bin Mihran Al Qutha’i] telah menceritakan kepada kami [Bisyr bin Umar] semuanya dari [Syu’bah]. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami [Abu Bakar bin Abu Syaibah] telah menceritakan kepada kami [Ali bin Mushir] dari [Sa’id bin Abu ‘Arubah] keduanya dari [Qatadah] dengan isnadnya Hammam, keduanya sama, hanya saja hadits riwayat Syu’bah selesai pada perkataanya; “Putri saudara sesusuanku.” Dan dalam hadits Sa’id; “Menjadi mahram (saudara) dari sesusuan sebagaimana menjadi mahram (saudara) dari keturunan.” Dan dalam riwayat Bisyr bin umar, saya mendengar Jabir bin Zaid.

Hukum-hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah ﷺ. itu adakalanya atas ilham dari Allah dan adakalanya hasil ijtihad beliau sendiri. Biarpun dari hasil ijtihad sendiri, tetapi karena dasar yang dipergunakan berijtihad itu adalah jiwa dan dasar perundang-undangan yang umum dalam al-Qur’an, maka mustahillah ia bertentangan dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an.

6. Kontekstustualisasi Nilai-Nilai Moderasi Beragama dalam Materi Sunah sebagai Sumber Hukum

Sunah Nabi sebagai penjelas al-Qur’an menempati posisi sentral dalam Islam. Penjelasan Nabi ini terwujud dalam bentuk ucapan (perkataan) dan perbuatan. Dalam menjalankan tugasnya, Nabi tidak selalu bergantung pada wahyu semata. Beliau juga aktif menggunakan ijtihad untuk memberikan solusi terhadap permasalahan umat, namun selalu berpegang teguh pada nash yang telah ada.

Keunikan pendekatan Nabi dalam menjelaskan hukum syarak terletak pada beberapa hal:

  • Orientasi pada realitas: Nabi selalu mengaitkan hukum dengan kondisi sosial masyarakat.
  • Kemudahan: Beliau senantiasa memilih cara yang paling mudah bagi umat dalam menjalankan agama.
  • Toleransi: Nabi mencontohkan sikap toleran yang tinggi, terutama kepada non-muslim. Piagam Madinah menjadi bukti konkret dari nilai-nilai toleransi ini.

Semua aspek ini menunjukkan bahwa Nabi telah menerapkan prinsip-prinsip moderasi beragama dalam kehidupan sehari-hari. Beliau tidak hanya mengajarkan konsep moderasi, tetapi juga menjadi contoh yang nyata dalam mempraktikkannya.

Sumber Hukum Hadist dalam Islam
Sumber Hukum Hadist dalam Islam

Yuk Mulai Investasi Halal di Nabitu.

Dwi Tjahjo Purnomo

Meraih Gelar Doktor Manajemen Keuangan dari Universitas Diponegoro | Ahli Keuangan | Dosen di Salah Satu Universitas di Semarang | Ketua Dewan Pengawas Syariah di Beberapa Lembaga Keuangan

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button