Apakah Ilmu Dunia Tidak Ada Manfaatnya?
Dimulai dari pertanyaan
Apakah menguasai ilmu dunia seperti matematika, bahasa Inggris, pemrograman, lingkungan, dan lainnya itu sia-sia dan tidak ada manfaatnya untuk akhirat dan kemuliaan Islam? Apakah yang berperan dalam dakwah hanya ustaz dan ulama saja?
Tidak.
Para Shahabat penggenggam dunia
Bukankah sebagian para shahabat yang berkontribusi besar dalam Islam dahulu juga adalah orang-orang hebat penggenggam urusan dunia? Khadijah ra. adalah pengusaha perempuan terkaya se-jazirah arab yang sangat terkenal karena kesuciannya dari berbagai pelanggaran. Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab, serta Abdurrahman bin Auf adalah pengusaha kaya yang menyumbang jor-joran sebagian besar hartanya untuk Islam. Salman al Farisi, pangeran dari Persia, sekaligus engineer yang menguasai dengan detail desain dan kontruksi parit dalam perang Khandaq. Zaid bin Haritsah, ditugaskan oleh Rasulullah untuk mempelajari dan menguasai Bahasa asing Yahudi agar tidak tertipu dalam berhubungan dengan orang Yahudi. Khalid bin Walid, panglima perang yang menguasai strategi militer. Bukankah untuk menjadi orang seperti itu butuh ketekunan, kedisiplinan, kerja keras, serta pengetahuan dan pengalaman yang memadai dalam urusan dunia?
Kondisi di Madinah disupport oleh berbagai ilmu-ilmu dunia
Madinah merupakan wilayah pertama yang dipimpin oleh Nabi Muhammad saw dalam kepemimpinan Islam. Jika kita baca buku “Ketika Nabi di Kota”, yang merupakan terjemah dari Fi Madinah al Rasul karya Dr. Nizar Abazhah, dapat kita lihat bahwa ternyata banyak sekali jenis profesi di zaman tersebut. Baik itu penjual minyak wangi, penjual emas dan perak, penjual makanan pokok, penjual obat, penjal kurma, penjual kayu, makelar, juru timbang, tukang samak, penjahit, tukang emas, penenun, juru taksir, bidan, tukang rias, petani, serta penggembala. Ada profesi lainnya yang tidak disebutkan.
Kalau kita ambil beberapa contoh saja dari profesi tersebut, misal penjual minyak wangi; maka akan kita dapati bahwa untuk memproduksi minyak wangi kita membutuhkan minimal ilmu pertanian, ilmu kimia dan ilmu desain produk. Untuk menjual minyak wangi, kita membutuhkan ilmu marketing, ilmu produksi, ilmu kepegawaian, administrasi, akuntansi dan manajemen keuangan. Berbeda dengan profesi tukang bangunan, untuk mendirikan bangunan, kita membutuhkan ilmu arsitektur, teknik sipil, lingkungan, sanitasi, dan ilmu planologi atau perencanaan kota.
Peradaban islam akan terwujud jika dunia dimanfaatkan utk meninggikan kalimat Allah
Dengan demikian, tidak mungkinlah kita menafikan dan mengabaikan ilmu dunia, seakan-akan ilmu dunia tersebut tidak akan bermanfaat dalam dakwah, pendidikan generasi dan kebangkitan Islam. Seakan-akan yang berkontribusi besar dalam dakwah hanya ulama dan ustaz saja. Dari paparan di atas saja kita sudah memiliki sedikit gambaran bahwa berbagai profesi yang memanfaatkan ilmu dunia tersebut telah menjadi saksi dan pelaku sejarah penegak tingginya Islam di Madinah al Munawaroh. Bahkan pada awalnya, dakwah Nabi Muhammad saw tidak akan berhasil tanpa sokongan dana dari istri dan shahabat Nabi serta sumbangsih ilmu dunia (militer, bahasa asing, engineering) dari shahabat Nabi lainnya.
Contoh lain yang membuat kita tercekat adalah, Muhammad Al Fatih yang menaklukan Konstantinopel. Apakah beliau hanya menguasai ilmu agama saja? Tidak. Beliau menguasai bahasa Arab, Persia, Turki, Yunani, dan 6 bahasa asing lainnya ketika berusia 21 tahun. Sultan Murad, ayah al Fatih, meminta para ulama dari berbagai disiplin ilmu untuk mengajari anaknya berbagai pelajaran, dari mulai matematika, fisika, astronomi, seni perang praktis, militer, dan ilmu-ilmu lainnya. Dan seperti disabdakan oleh Nabi Muhammad saw, tokoh Muhammad al Fatih inilah yang disebut pemimpin terbaik, yang memiliki ilmu akhirat, juga ilmu dunia, kuat ibadahnya, kuat dan shalih karakternya.
Meninggalkan akhirat dan memilih dunia adalah sekuler, namun jika kita hanya memilih akhirat dan meninggalkan dunia bukankah itu juga sekuler?
Banyak saya lihat beberapa teman-teman yang menganggap bahwa seakan-akan dunia itu tidak dibutuhkan. Beberapa dari mereka tidak ingin menjadi kaya, tidak ingin anaknya memiliki pintar dalam pelajaran dunia, serta hanya ingin mendalami ilmu agama saja. Selain agama, tidak penting dan tidak perlu dikuasai. Di sisi lain dengan sangat kontras, teman-teman kuliah saya sangat ahli dan sukses dalam urusan dunia namun belum ada keinginan untuk mempelajari agama sedikit saja pun. Menurut saya, kedua persepsi kontras itu sama saja namanya sekular, yaitu pemisahan urusan dunia dengan urusan akhirat. Mungkin istilahnya berbeda sedikit – yang hanya memilih dunia disebut sekuler, yang hanya memilih akhirat disebut sufi. Saya memaklumi kedua persepsi seperti itu, namun saya memilih memiliki persepsi berbeda, yaitu keseimbangan antara keduanya, tidak terpisah dan saling mendukung. Bukankah itu yang diajarkan oleh al Quran? Bukankah dunia tetap harus kita kuasai tanpa harus menaruhnya di hati?
Allah SWT berfirman:
وَمِنْهُمْ مَّنْ يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الْأَاخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Dan di antara mereka ada yang berdoa, Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.” (QS. 2:201)
Apapun profesimu, manfaatkan dan arahkan untuk Islam
Saya pernah berada di kedua kondisi kontras tersebut. Saya pernah sangat duniawi, mengukir berbagai prestasi cemerlang dunia namun cenderung mengabaikan akhirat. Saya pernah juga pernah berkomitmen ingin full menjadi da’i serta malah mengabaikan dan menyia-nyiakan pendidikan tinggi teknik yang sangat baik yang pernah dibiayai oleh kerja keras orang tua saya dahulu.
Seiring berjalannya waktu, ternyata Allah tidak memberikan saya banyak kesempatan untuk berkiprah dalam dakwah. Orangtua malah mensyaratkan untuk lulus S2 di bidang engineering dan kerja sebelum menikah. Organisasi dakwah yang saya ikuti bermasalah dan tidak bisa diandalkan sebagai wasilah saya untuk berjuang.
Di sisi lain, hidup saya di jalan profesi sebagai dosen malah sangat dipermudah. Beberapa tahun setelahnya, akhirnya saya menyadari mungkin memang bukan jalannya saya ini menjadi semacam ustazah yang mendalami dan mengajarkan ilmu agama… Sangat terlambat bagi saya untuk menjadi da’i, saya tidak menguasai bahasa Arab, tidak hafal seluruh Al Quran serta ribuan hadits, tidak menguasai fiqih. Hanya beberapa hal saja dari permukaan pengetahuan Islam yang benar-benar saya fahami, namun sangat saya yakini dan mampu saya sebarkan selama ini. Namun saya bersyukur beberapa hal tersebut menuntun saya untuk memiliki pengalaman da’wah kepada keluarga dan teman dan merasakan setitik kehidupan Nabi SAW.
Di sisi lain, jika kita renungi kehidupan para shahabat Nabi… Bukankah para shahabat juga bukanlah ustadz atau ulama? Kebanyakan para shahabat tidak hafal al Quran, tidak hafal al Hadits, tidak seluruhnya memahami masalah fiqih. Para shahabat memiliki profesi berbeda-beda. Namun apapun profesi mereka, mereka arahkan dan niatkan untuk mendukung Nabi Muhammad saw untuk meninggikan kalimat Allah dalam berbagai lini kehidupan. Manfaat berbagai profesi dan penguasaan ilmu dunia akan lebih konkrit lagi saat Islam sudah tegak dalam bentuk peradaban dengan kekuasaan tertinggi.
Ada orang yang beramal dengan amal akhirat namun diniatkan untuk memperoleh dunia. Adapula orang yang beramal dengan amal dunia namun diniatkan untuk memperoleh akhirat. Amal itu tergantung niatnya, bukan bentuk atau bidang (field)nya. Jadi, tidak masalah apapun profesimu dan keahlianmu, kerahkanlah di jalan Allah. Usahakanlah setiap amal, apapun bentuknya, harus memiliki impact dan kontribusi untuk ibadah mahdhoh maupun untuk da’wah.
Tangerang
2019-2020